Mengapa Indonesia menerapkan demokrasi Liberal

Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia telah mengalami banyak perubahan baik secara konstitusi maupun sistem pemerintahan. Dimana, pasca kemerdekaan tahun 1945, Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang dirasa sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu sistem pemerintahan yang pernah diterapkan di Indonesia adalah sistem Demokrasi Liberal. Demokrasi Liberal sendiri merupakan sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.

Berawal dari pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mulai mengadakan penataan kehidupan politik dan ekonomi. Masa demokrasi liberal adalah masa dimana sistem parlementer Indonesia masih mencontoh sistem parlementer barat yang dibentuk setelah dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950.

Masa demokrasi liberal ini ditandai dengan tumbuh suburnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Dimana, pada masa itu Indonesia sebagai “negara baru” harus banyak belajar dalam berbagai hal, sehingga negara semakin kuat. Salah satunya dalam bidang ekonomi, yang akibat sering terjadinya perubahan kabinet berdampak negatif terhadap kehidupan ekonomi Indonesia.

(Baca juga: Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin)

Demi memperbaiki kondisi tersebut, beberapa kebijakan ekonomi pun dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun program-program di masa demokrasi liberal itu meliputi Gunting Starifudi, Program Banteng, Nasionalisasi De Javasche Bank dan Kebijakan Ekonomi Ali-Baba.,

Gunting Syarifudin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau senering yang diambil Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara. Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai Rp.2,50 keatas dipotong nilainya hingga setengahnya. Hal ini bertujuan guna menanggulangi deficit anggaran sebesar Rp.5,1 miliar dan bisa mengurangi jumlah uang yang beredar.

Program Benteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional, dengan menumbuhkan pengusaha Indonesia lewat kredit. Sayangnya, program ini gagal karena pengusaha tak mampu bersaing dan malah berdampak negative terhadap deficit anggaran yang membengkak menjadi 3 miliar pada tahun 1952.

  • Nasionalisasi De Javasche Bank

Pada tahun 1951, pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menaikan pendapatan, menurunkan biaya ekspor, dan menghemat secara drastis. Dengan nasionalisasi bank yang semula milik Belanda ini maka pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

  • Kebijakan Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali Baba ini melibatkan pengusaha pribumi (Ali) dan pengusaha keturunan Tionghoa (Baba). Lewat program ini, pengusaha keturuanan Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi, dan imbalannya mereka akan mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah.

Pemilihan Umum Pertama

Pada masa demokrasi liberal ini tahun 1955, pemerintah untuk pertama kalinya melakukan pemilihan umum nasional. Pada bulan September rakyat memilih wakil untuk DPR dan pada bulan Desember pemilih kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi yang akan bekerja di sebuah institusi yang dikenal dengan konstituante.

Disamping itu, terjadi beberapa krisis politik dimana banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa itu yaitu, kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951), Kabinet Sukiman-Suwirjo (26 April 1951-3 April 1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953-12 Agustus 1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957), Kabinet Djuanda (9 April 1957-5 Juli 1959).

Masa Demokrasi Terpimpin

Berdasarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, bangsa Indonesia kembali pada UUD 1945 dan Indonesia memasuki fase baru yang disebut fase demokrasi terpimpin. Ada beberapa perkembangan politik pada masa demokrasi terpimpin serta perkembangan ekonomi.

Adapun perkembangan ekonomi pada masa demokrasi terpimpin antara lain, pembentukan badan perancang pembangunan nasional, penurunan nilai uang (devaluasi), deklarasi ekonomi, dan pencetakan uang baru.

tirto.id - Indonesia sempat menganut sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer. Namun, penerapan sistem demokrasi ini tidak bertahan lama. Berikut ini sejarah masa Demokrasi Parlementer di Indonesia

Sejarah sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer atau Liberal diterapkan di Indonesia pada 1950-1959. Ketika menganut sistem ini, pemerintahan Indonesia dipimpin oleh perdana menteri bersama presiden sebagai kepala negara.

Demokrasi Parlementer adalah sistem pemerintahan di mana parlemen negara punya peran penting. Pada sistem ini, rakyat memiliki keleluasaan untuk ikut campur urusan politik dan boleh membuat partai.

Tokoh-tokoh Indonesia yang memercayai dibutuhkannya Demokrasi Parlementer atau dikenal juga sebagai Demokrasi Liberal di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Menurut keduanya, sistem pemerintahan tersebut mampu menciptakan partai politik yang bisa beradu pendapat dalam parlemen serta dapat menciptakan wujud demokrasi sesungguhnya, yakni dari rakyat, bagi rakyat, dan untuk rakyat.

Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (2008:122) menambahkan, Indonesia berbentuk republik berlandaskan kedaulatan rakyat.

Penerapan Demokrasi Parlementer

Tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan bentuk negara hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan pengakuan kedaulatan dengan Belanda, resmi dibubarkan.

Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2015:48) menyebutkan bahwa RIS kemudian diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seiring dengan itu, sistem pemerintahannya pun berubah menjadi Demokrasi Parlementer dan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Menurut tulisan Ahmad Muslih dan kawan-kawan dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (2015:96), pada masa Demokrasi Parlementer, muncul partai-partai politik baru yang bebas berpendapat serta mengkritisi pemerintahan.

Kendati awal kelahiran semua partai ini merupakan semangat revolusi, namun akhirnya mengakibatkan persaingan tidak sehat. Bahkan, bisa dikatakan ketika masa itu Indonesia mengalami ketidakstabilan pemerintahan.

Baca juga:

  • Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
  • Sejarah Sistem Presidensial: Arti, Ciri-ciri, Kelebihan, Kekurangan
  • Sejarah Sistem Demokrasi Terpimpin di Indonesia 1959-1965

Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)

Secara garis besar, kabinet-kabinet di Indonesia terbagi menjadi tujuh era di bawah pimpinan perdana menteri.

Setiap periodenya pasti memiliki permasalahannya masing-masing. Berikut ini ketujuh masa tersebut:

1. Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun, Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik yang berseberangan.

Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas.

Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan, PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi.

PNI bahkan melakukan tuntutan terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.

Baca juga:

  • Tugas TNI: Sejarah, Peran, & Fungsinya sebagai Alat Pertahanan RI
  • Beda Isi Piagam Jakarta dengan Pancasila dan Sejarah Perubahannya
  • Karakteristik Partisipasi Politik: Ciri-ciri, Penerapan, & Contoh

2. Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.

Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen.

Tugas pokok Wilopo ketika itu menjalankan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan konstituante. Akan tetapi, sebelum Pemilu dilaksanakan, Kabinet Wilopo gulung tikar.

Baca juga:

  • Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu
  • Pengamalan Pancasila Sila ke-1 di Lingkungan Tempat Bermain
  • Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)

Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei 1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955.

Akan tetapi, lagi-lagi seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis.

Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin Harahap bubar pada Maret 1956.

Baca juga:

  • Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh
  • Sejarah Konferensi Meja Bundar (KMB): Latar Belakang, Tokoh, Hasil
  • Sejarah Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda

6. Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)

Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian Barat , otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya.

Ali Sastroamidjojo pada periode yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

7. Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan, normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan melaksanakan pembangunan.

Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Baca juga:

  • Penyebab Sejarah Pemberontakan DI-TII Daud Beureueh di Aceh
  • Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya
  • Sejarah Pemberontakan Nambi vs Majapahit: Mati karena Fitnah Keji

Akhir Demokrasi Parlementer

Singkatnya waktu periode pemerintahan kabinet-kabinet membuat keadaan politik Indonesia tidak stabil, bahkan hal ini ditakutkan berimbas pada segala aspek lain negara.

Hal tersebut akhirnya terselesaikan setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Di dalamnya, termuat bahwa Dewan Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945 alias meninggalkan UUDS 1950. Selain itu, dibentuk juga Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Demokrasi Liberal yang sebelumnya sudah membawa kekacauan terhadap stabilitas pemerintahan akhirnya digantikan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang berlaku sejak 1959 hingga 1965.

Baca juga:

  • Fosil Homo Soloensis: Sejarah, Penemu, Lokasi, dan Ciri-ciri
  • Kerajaan Kutai Martapura: Penyebab Runtuhnya & Daftar Raja
  • Fakta Sejarah Misteri Hotel Niagara Malang: Viral & Disebut Angker

Baca juga artikel terkait DEMOKRASI PARLEMENTER atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA