No ratings yet.
Lafal, Intonasi, dan Ekspresi dalam Puisi – Siswa memahami lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat dalam puisi.
Lafal, Intonasi, dan Ekspresi dalam Puisi
Perhatikan gambar berikut ini!
Ilustrasi di atas adalah gambar pembacaan puisi. Dalam gambar, pembaca puisi tampak menghayati puisi yang dibacakannya dengan mimik muka yang menunjukkan rasa sedih dan sakit. Melihat ilustrasi tersebut, kamu tentu dapat membayangkan puisi apa yang sedang dia baca, bukan?
Demikian pula saat kita hendak membacakan puisi di depan khalayak. Ada beberapa teknik yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah raut muka seperti pada pembaca puisi di atas. Selain itu, masih ada beberapa teknik yang perlu diperhatikan, yaitu lafal dan intonasi. Semua teknik itu akan dijelaskan pada pembahasan materi berikut ini!
Puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang tersusun dari bahasa yang indah dan padat makna. Puisi terdiri atas beberapa baris yang disebut dengan bait. Perbedaan puisi dengan karya sastra lainnya, seperti prosa atau drama, adalah bahasa yang digunakan di dalam puisi cenderung berirama dan berbunyi indah, misalnya memiliki persamaan bunyi di setiap akhir baris. Persamaan bunyi di akhir baris tersebut disebut dengan rima.
Puisi ditulis untuk dibacakan. Pembacaan puisi disebut dengan deklamasi puisi. Saat mendeklamasikan puisi, seseorang harus memperhatikan teknik pembacaan puisi yang benar dan tepat. Di antara teknik yang harus diperhatikan itu adalah lafal, intonasi, dan ekspresi. Ketiga aspek tersebut adalah hal penting dalam pembacaan puisi karena menyangkut cara pembaca puisi menyampaikan makna puisi yang dibacanya kepada pendengar atau penonton.
Lafal atau pelafalan adalah cara mengucapkan kata-kata dalam puisi. Pelafalan disebut juga artikulasi. Pelafalan menyangkut seberapa jelas seseorang mengucapkan setiap kata dalam baris-baris puisi yang dibacanya. Pembaca puisi yang baik harus memperhatikan kejelasan setiap kata yang diucapkan. Jangan sampai, setiap kata yang diucapkan terdengar seperti orang yang berkumur-kumur atau terdengar secara samar-samar.
Untuk dapat melafalkan setiap kata dalam puisi dengan baik, kita harus berlatih mengucapkan setiap kata dengan benar. Hal tersebut dapat diawali dengan melafalkan semua bunyi vokal seperti a-i-u-e-o secara jelas dan bulat. Perhatikanlah cara kita melafalkan vokal tersebut di depan cermin. Kemudian, lanjutkan berlatih melafalkan semua bunyi konsonan. Setelah itu, berlatihlah mengucapkan kata-kata pendek dengan jelas, misalnya: meja, buku, kiri, foto, dan sate.
Penting untuk diketahui!
- Perhatikan pelafalan bunyi konsonan yang hampir sama, seperti p dan f, j dan z, serta f dan v.
- Perhatikan pelafalan bunyi akhir k yang jelas dan samar, seperti riak dan bapak.
- Perhatikan perbedaan bunyi vokal e pada kata lele dan emas.
Sebagai contoh, bacalah puisi berjudul “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono berikut dengan pelafalan yang jelas dan tepat!
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Keindahan sebuah puisi baru dapat dinikmati setelah diperdengarkan atau
dibacakan dengan irama yang baik, penafsiran dan pemahaman makna secara tepat,
dan dengan pengekspresian yang proporsional.
Untuk dapat membacakan puisi dengan menarik dan mampu menampilkan
keindahan puisi, pembaca harus melewati beberapa tahapan. Secara umum ada dua
tahapan, yaitu tahapan ke dalam dan ke luar.
Pada tahapan ke dalam, calon pembaca puisi melakukan proses interpretasi
dan internalisasi (peresapan). Sebelum membacakan, pembaca harus benar-benar
memahami isi puisi yang dibawakan. Untuk itu, pembaca harus menginterpretasikan
atau menafsirkan maksud setiap kata, larik, dan bait puisi sehingga dapat
dipahami makna puisi secara totalitas atau keseluruhan. Interpretasi dapat
ditempuh dengan cara memparafrasekan puisi.
Setelah isi puisi dipahami dan dihafal secara benar, selanjutnya pembaca
meresapkan isi puisi ini ke dalam hati sehingga seakan-akan puisi itu karyanya
sendiri. Kepiluan, kepedihan, kegalauan, kebahagiaan, keberbunga-bungaan, yang
dirasakan penyair diempati dan dirasakan juga oleh pembacanya. Pembaca harus
bisa menjadi perantara yang hidup antara penyair dan penikmat puisinya.
Pada tahapan ke luar, pembaca mengekpresikan hasil pemahaman dan
peresapannya kepada pendengar. Pembaca menghidangkan puisi dengan membacakannya
sebaik mungkin. Untuk dapat menghidangkan sebuah puisi dengan baik sehingga bisa
dinikmati keindahannya secara optimal, pembaca harus membacakan puisi dengan
artikulasi, intonasi, mimik, dan kinesik atau gerakan tubuh yang tepat dan
proporsional.
Intonasi atau lagu kalimat berkaitan dengan ketepatan dalam menentukan
keras-lemahnya pengucapan suatu kata. Intonasi dan artikulasi sangat berkaitan
dengan irama. Irama merupakan unsur sangat penting dan jiwa dari sebuah puisi.
Irama adalah totalitas dari tinggi rendah, keras lembut, dan panjang pendek
suara. Irama puisi tercipta dengan melakukan intonasi. Ada 3 jenis intonasi
dalam pembacaan puisi, yaitu sebagai berikut.
a) Intonasi
dinamik, yaitu tekanan pada kata-kata yang dianggap penting.
b) Intonasi
nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. Suara tinggi menggambarkan
keriangan, marah, takjub, dan lain sebagainya. sementara, suara rendah
mengungkapkan kesedihan, pasrah, ragu, putus asa dan lain sebagainya.
c). intonasi
tempo, yaitu cepat lambat pengucapan suku kata.
Bab I ~ Pendidikan Nasional
9
Latihan
Pandangnya dilayangkan arah ke barat Terlihat surya hampir terbenam
Sebab pun kelana, jadi melarat Menurutkan hati yang remuk redam
Melihat surya, hampir beradu, Cahayanya laksana emas perada
Hati kelana bertambah rindu Terkenanglah ayah beserta bunda
Kelana duduk, hati bercinta Suara hati rasa terdengar
Wahai kelana muda juita Hendaklah engkau berhati sabar
Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan, 1977:25-26
Sebelum menjawab pertanyaan berikut, bacalah sekali lagi syair di atas dengan penuh penghayatan
1. Perasaan apa yang sedang diungkapkan dalam syair “Bergundah Hati”?
2. Pada bait pertama, kerinduan kepada siapa yang diungkapkan?
3. Dan pada bait keempat, kepada siapa penyair merasa rindu?
4. Saat-saat bagaimana yang membuat perasaan manusia menjadi sedih,
menurut syair tersebut? 5.
Bagaimana persajakan yang ditampilkan pada syair tersebut?
1. Pembacaan Puisi dengan Lafal, Intonasi, dan Ekspresi yang Tepat
Pembacaan puisi dapat dikatakan berhasil bila pendengar terhanyut dalam suasana pembacaan. Untuk mencapai tujuan itu, pembaca hendaknya berlatih
dan melalui beberapa tahapan sebagai berikut. a.
tahap pertama, pembaca harus mempelajari dan memahami puisi yang akan dibaca.
b. tahap kedua, pembaca memahami pemenggalan jeda baik pada kata, frase,
atau kalimat. c.
tahap ketiga, pembaca memahami siapa yang menjadi pendengarnya. d.
tahap keempat, pembaca harus senang terhadap puisi yang akan dibaca.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS
1 0
Tugas Mandiri
atau pengucapan secara jelas, misalnya: a.
fonem diucapkan secara jelas, misalnya huruf a dengan mulut terbuka lebar
b. pemberian tekanan atau aksentuasi
c. penekanan terhadap intonasi nada naik, turun atau datar secara tepat
Syair yang ditampilkan di atas merupakan ungkapan perasaan rindu penyair, kesedihan yang amat sangat karena didera perasaan tersebut. Dalam
pembacaannya pun hendaknya memperhatikan turun naiknya kalimat yang diselaraskan dengan turun naiknya irama jiwa yang bergetar. Kesedihan yang
amat sangat pun diwujudkan dengan ekspresi pilu yang mendalam. Cara pembacaan kalimat demi kalimat pun pelan dan bersahaja.
2. Menanggapi Pembacaan Puisi Lama
Menanggapi berarti memberikan komentar, khususnya terhadap hasil karya orang lain. Akan memberikan perbaikan, semangat atau motivasi bila
komentar yang diungkapkan bersifat membangunpositifkonstruktif. Hal-hal yang dapat dijadikan bahan komentar adalah dari segi intonasi
saat membacakan puisi tersebut karena sangat berbeda dengan puisi baru. Dari segi pelafalannya tidak jauh berbeda dengan puisi baru, karena lafal yang jelas
akan jauh lebih bermakna dibandingkan hanya dengan bergumam, sedangkan dari segi penghayatan atau ekspresi, bila tidak dilakukan dengan maksimal akan
mengaburkan makna puisi tersebut.
Membacakan puisi dengan baik akan membuat pendengar ikut hanyut di dalamnya seperti saat Anda membacakan cerpen, novel atau karya lain. Anda
pun dapat melakukannya dengan baik di depan kelas. Cobalah dengan puisi lama pilihan Anda yang dapat Anda cari di perpustakaan sekolah Anda..
D. Meresensi Cerpen
Cerpen merupakan salah satu prosa fiksi yang penyajiannya singkat dan habis dibaca dalam sekali duduk. Cerpen yang bagus dan bermutu sangat digemari
oleh pembaca. Untuk mendapatkan cerpen yang demikian, tidaklah mungkin Anda membaca semua setiap kali berhadapan dengan cerpen. Ada cara yang efisien untuk
mengetahui kualitas cerpen yang akan Anda baca yaitu dengan membaca resensi cerpen tersebut.
Bab I ~ Pendidikan Nasional
1 1
AIR MATA TUA
Motinggo Boesje
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya:”Kenapa Nenek menangis?”
Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama, dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata:”Kalaulah
cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini?” tanyanya kemudian.
“Ya”. “Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”.
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan nenek itu berkata: “Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau nanti saya dikuburkan
di sini, kau bersihkanlah kuburanku itu baik-baik, Nak.” “Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup,” kata penjaga
kuburan itu. “Benar, saya masih akan lama hidup?”
“Benar, Nek” dan penjaga kuburan itu sambil mempermainkan lidi sapunya dan berkata lagi: “Nenek masih kuat. Nenek saya lihat berjalan ke
sini tidak pakai tongkat dan masih kuat.” “Kalaulah cucuku bisa menghibur saya macam kamu,” kata
perempuan tua itu sambil menghapus air matanya yang pelan-pelan berjalan dari pinggir matanya menuju pipi.
“Cucuku ada lima orang, Nak. Tak seorang pun yang menanyakan kesehatanku, apalagi kesedihanku. Kalau mereka memberiku makan, bukan
mereka yang mengatakan, “Makanlah, Nek, tapi si babu, cuma si babu yang mengatakan itu. Si babu mengaji kalau saya sudah mengantuk,” perempuan
tua itu menangis lagi. “Pagi ini si babu membersihkan ladang. Ladang itu sebenarnya adalah ladangku, tapi cucu-cucuku menganggap ladang itu
ladang mereka. Pada waktu musim memetik jeruk, saya cuma bisa makan tiga buah jeruknya saja. Itu pun bukan yang manis-manis.”
“Di mana Nenek tinggal?” “Di dapur, bersama si babu.”
“Di dapur?” “Ya, di dapur, bersama-sama si babu. Kalau pagi saya kedinginan.”
Tangan tua nenek yang tua itu menepuk-nepuk semen kuburan itu. “Ini kuburan Adam. Adam adalah suamiku,” katanya.
“Sudah lama suami nenek meninggal dunia?” “Baru sepuluh tahun ini. Waktu Adam masih hidup, sama-sama kami
mandi di sumur. Adam yang menimbakan air untukku. Saya ingin lekas- lekas mati saja. Sepuluh tahun lamanya saya disiksa oleh cucu-cucuku itu.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS
1 2
Mula-mula saya tidur di kamar depan. Lalu, ketika cucuku yang tertua kawin, saya dipindahkan ke kamar tengah. Ia kawin dan beranak, dan saya
dipindahkan lagi ke kamar belakang. Dan sekarang, saya menempati dapur bersama-sama si babu. Kalau pagi saya merasa dingin. Si babu juga mengaji
kalau subuh,” dan dibetulkannya kerudungnya, lalu berkata: “Si babu pintar sekali mengaji.”
Lalu nenek tua itu berkata lagi:”Musim memetik jeruk yang lalu, saya cuma dapat tiga jeruk, itu pun yang masam-masam.”
“Yang masam-masam? Yang manis-manis untuk mereka?” Kini pandangannya dengan matanya yang tua itu berputar ke arah
kuburan-kuburan sekeliling. “He” gemetar ia tiba-tiba. “Tanah pekuburan ini sudah penuh semuanya. Di mana nanti saya akan dikuburkan?”
“Masih ada sedikit, di sana,” kata penjaga kuburan itu. “Sedikit?”
“Ya, sedikit.” “Masih banyak lagikah yang akan mati, Nak?” tanyanya dengan
gelisah, dan kemudian bertanya lagi: Di mana nanti saya akan dikuburkan?” “Kenapa nenek sampai berkata begitu?” tanya penjaga kuburan itu dengan
cemas pula. “Saya sudah tua dan bukankah sebentar lagi mati? Di mana saya akan
dikuburkan? Saya tidak bisa mengumpulkan uang lagi sejak cucu-ucuku tidak membagikan hasil penjualan buah-buahan ladangku. Ladang buah-
buahan itu sayalah yang punya. Padahal Adam yang membeli semua itu, ketika kami baru kawin dan ketika itu saya tidak tua berkerinyut seperti ini.
Pohon-pohon jeruk itu Adam yang nanam. Tapi cucu-cucuku cuma memberiku tiga buah jeruk saja, itu pun bukan yang manis-manis.”
Dia menangis tersedu-sedu dan berkata: “cuma ini uang simpananku. Kamu hitunglah, Nak. Cukupkah buat beli tanah kuburan?”
Tangan tuanya meraba-raba stagennya dan memberikan uang yang terlipat baik-baik itu kepada penjaga kuburan itu. Penjaga kuburan itu
menghitung-hitung dan kemudian tertawa. “Kenapa kamu tertawa, Nak? Apa tidak cukup? tanyanya.
“Yang tiga lembar ini sudah tidak laku lagi,” jawab penjaga kuburan. “Tidak laku? Itu adalah uang pensiun Adam yang kusimpan baik-
baik. Kenapa tidak laku lagi? Apa uang palsu? Tidak mungkin” “Uang ini sudah lama dinyatakan tidak berlaku lagi, Nek,” sahut
penjaga kuburan. “Kenapa?”
Penjaga kuburan itu tak bisa menjawab. “Tidak cukupkah membeli tanah kuburan dengan uang yang laku saja
itu?” tanya nenek tua itu tiba-tiba. Lalu dipandangnya tanah kuburan sekeliling, dan dia berkata lagi: “Sudah penuh semua. Saya, musti membeli
yang sedikit itu. Saya tidak punya harta dan uang lagi selain itu. Tidak cukupkah uang itu, Nak?”
Bab I ~ Pendidikan Nasional
1 3
“Belum cukup, Nek.” “Belum cukup? Bagaimana akalku? Saya takkan minta pada cucu-
cucuku itu, karena mereka pun pasti tak mau memberi. Mereka cuma mau mengambil kepunyaanku, sampai jeruk-jerukku pun diambilnya.”
Kini penjaga kuburan itu melihat perempuan tua itu merundukkan kepalanya dan tiba-tiba dilihatnya seuntai kalung emas berayun-ayun di leher
perempuan tua itu.
“Nenek masih punya harta. Jangan kuatir Semua itu bisa dibelikan tanah kosong yang enam meter persegi,” kata penjaga kubur.
“Saya tidak punya apa-apa lagi kecuali uang itu dan yang tiga lembar yang tidak laku itu.”
“Nenek masih punya kalung ringgitan emas.” Perempuan tua itu terkejut dan tangan tua meraba ringgit yang tergantung
di lehernya. “Ini? Oh, ini pemberian Adam waktu kami kawin dulu.” “Kalau nenek mau benar-benar membeli tanah pekuburan, jual sajalah,
Nek, kalung emas itu.” “Dijual?” suaranya gemetar lebih hebat. “Apa saya mau dikutuk oleh
almarhum suamiku?” Penjaga itu terdiam, tapi tetap dipandangnya nenek tua itu dengan
pandangan yang bersungguh-sungguh. Perempuan tua itu memandang ke sekeliling lagi. Tanah-tanah pekuburan di sekitarnya ditangkapnya dengan
pandangan matanya yang tua, dengan linu. “Emas tidak dibawa mati, ya, ya, emas tidak tidak dibawa mati. Saya
ingin dikubur di kuburan Adam. Ya, ya saya harus membeli tanah itu. Emas memang tidak dibawa mati, Nak.”
Sejak dia keluar dari gerbang pekuburan, air matanya semakin kering. Dan, sejak itu pula, setiap akan tidur sambil mendengar si babu mengaji
terbayang dalam angan-angannya yang tua sebuah pekuburan yang bersih di mana ia tidur baik-baik di bawah permukaannya, di mana rohnya akan
bertemu dengan roh Adam, suaminya yang tercinta.
Dia telah membeli tanah itu Dia seakan-akan telah membeli harga yang terakhir dari masa hidupnya. Setiap malam dia berdoa dan mohon
kepada Tuhan agar saat itu pun tiba baginya. Suatu malam ketika dia penuh dengan angan-angan, terdengar pintu
dapur diketuk orang. Siapa yang mengetuk pintu, malam-malam begini? Apa si babu sudah tidur?
“Babu, bangunlah. Ada orang mengetuk pintu kita.” Si babu tersentak. Ketika itu kepalanya di atas kitab suci. Matanya
sama menatap pintu itu dengan segala kecemasan dan sekali-kali ia melihat kepada nenek tua yang sedang terbujur tidur
“Kaukira itu maling? Jangan takut, Babu. Kalau itu maling, apa yang akan mereka ambil di dapur ini?”
“Bukan maling, Nek,” kata si babu, lalu berdiri dan kemudian membukakan pintu. Seorang lelaki berdiri di pintu.
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS
1 4
“Siapa itu, Babu?” “Rakhman, Nek.”
“Rakhman, cucuku? Kenapa kau datang malam-malam begini, ke sini? Biasanya tidak pernah”.
“Nenek harus pindah, malam ini juga, Nek,” kata lelaki itu. Nenek itu mencoba sekuat tenaga membangunkan dirinya.
“Pindah? Kemana lagi kalian akan lemparkan diriku sekarang?” Lelaki itu berjongkok. “Dokter menyuruh pindah,” katanya.
“Dokter” “Ya, dokter”
“Apa hak dokter, makanya ia mau lemparkan diriku Bukankah rumah ini pembelian Adam?”
“Ada wabah kolera. anak-anak diserang kolera.” Kemudian masuk lagi seorang lelaki. Dialah dokter itu. Dan dokter
kemudian menjelaskan kepada nenek tua itu agar pindah ke rumah sakit untuk menghindarkan penularan penyakit kolera.
“Baiklah, baiklah anak muda. Tapi biar pun di mana saja kalian lemparkan saya, saya kan akan mati juga,” katanya. “Tapi jangan pisahkan
saya dari si babu,” katanya lagi. Namun, dia tetap dipisahkan dari si babu. Kalau malam dia merasa
sunyi sekali, tidak didengarnya suara orang mengaji. Yang didengarnya adalah suara orang-orang-orang yang merintih-rintih, bermimpi, mengigau,
dan bau-bau yang tidak enak bagi hidungnya yang telah tua dan keriput itu. Setiap juru rawat masuk ke kamarnya nenek itu selalu bertanya, kapan dia
boleh keluar?
Suatu saat seorang juru rawat membisikkan di telinganya dengan suara hati-hati bahwa semua cucunya dan si babu telah meninggal dunia
“Si babu juga?” tanyanya cemas. “Ya. Dia juga meninggal dunia.”
“Oh, dengan siapa lagi saya akan tinggal?” tanyanya sedih. “Dengan kami.”
Sore itu seorang juru rawat mengantarnya ke pekuburan, di mana
cucu-cucunya seluruhnya dikuburkan dan juga di mana si babu ikut tertimbun dengan tanah-tanah itu. Perempuan tua itu menangis tersedu-sedu hingga
juru rawat itu payah sekali membujuknya untuk pulang. Kini, perempuan tua itu dengan matanya yang tua itu mencoba
melihat ke sekeliling, dan dengan pandangan tuanya ia tidak melihat setumpak pun tanah yang kosong.
“Sudahlah, Nek. Jangan menangis lagi. Mari pulang,” ajak perempuan muda itu.
Perempuan tua itu menjawab: “Saya sedih sekali, Nak.” “Kenapa? Bukankah mereka sudah selamat dikuburkan?”
Bab I ~ Pendidikan Nasional
1 5
Latihan
“Bukan itu. Bukan itu. Saya sedih di mana saya akan dikuburkan nanti? Semua tanah itu sudah penuh. Saya sudah menjual ringgit emas
pemberian suamiku, dan telah kubeli tanah ini untuk kuburan saya, tapi sekarang mereka yang memakai tanah ini buat kuburan mereka.”
“Di mana lagi, coba, tanah untuk saya?” sambung si nenek itu. “Semua sudah terisi. Waktu hidupnya, mereka cuma memberiku tiga buah jeruk, itu
pun jeruk-jerukku, dan waktu mati.” “Sudahlah, Nek, mari kita pulang.”
“Saya tidak akan pulang.” Dan perempuan tua itu dengan tersedu-sedu berkatalah lagi:”Cobalah
kaupikir, Nak, di mana saya akan dikuburkan. Tanah-tanah di sini semua sudah terisi”
Dan perempuan muda itu tidak dapat menjawabnya. Dan perempuan tua itu melihat dengan mata tuanya lagi, ke sekeliling.
Dan pandang tuanya yang sudah layu itu tidak menangkap lagi setumpak pun tanah yang kosong.
Ketika itulah air matanya berjalan pelan-pelan, dari pinggir pelupuk matanya ke daging-daging pipinya, seperti seorang tua berjalan pelan-pelan
di pinggir tebing menuruni sebuah lembah.
Sastra No. 7, Th. I. November 1961
Cerpen Indonesia III, 1986:88-94
Untuk lebih memahami cerpen di atas, ada baiknya Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut dengan baik
1. Siapakah tokoh utama dalam cerpen “Air Mata Tua”?
2. Adakah tokoh pendamping cerita, sebutkanlah
3. Apa yang dilakukan nenek saat berada di pekuburan pagi itu?
4. Semenjak Adam meninggal dunia, dengan siapa si nenek tinggal?
5. Mengapa nenek merasa ingin mati saja?
6. Sikap apa saja yang telah dilakukan cucu-cucunya hingga membuat si nenek
sedih? 7.
Pada malam itu, si nenek diungsikan ke rumah sakit. Apa yang terjadi? 8.
Dengan apa nenek membeli tanah pekuburan untuk kuburannya nanti? 9.
Mengapa semua cucu dan si babu meninggal dunia? 10. Saat melihat kuburan cucu dan si babu nenek tetap menangis. Apa yang
ditangisinya?
Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Kelas XII IPA-IPS
1 6 1. Pengertian Resensi
Sebelum membahas cerpen yang menjadi objek bahasan pada subbab ini, Anda perlu mengingat kembali pengertian resensi itu sendiri. Resensi atau
disebut juga timbangan buku adalah suatu penilaian serta pembicaraan tentang sebuah buku, baik fiksi maupun nonfiksi mengenai segala kelebihan dan
kelemahan yang terdapat dalam buku itu dengan tujuan memberikan wacana gambaran bagaimana kualitas buku tersebut. Resensi buku baik fiksi maupun
nonfiksi dapat Anda jumpai di surat kabar-surat kabar atau majalah yang terbit di kota Anda.
Untuk membahas kelebihan dan kelemahan cerpen, Anda dapat menganalisis temanya, apakah tema cerpen itu dan sudahkah disesuaikan dengan
kebenaran umum. Plot merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, bagaimana plotalur yang disajikan pengarang, apakah membuat
cerpen itu lebih menarik atau bahkan menjemukan, sedangkan karakter tokoh- tokoh baik antagonis maupun protagonis, mampukah diangkat menjadi karakter
yang wajar dan hidup ketika bermain. Kemudian apakah pengarang menghubungkan karakter satu dengan yang lain dalam sebuah tema cerita.
Pengarang mungkin bisa masuk ke dalam cerita tersebut atau hanya sebagai orang yang berada di luar cerita. Anda dapat mencermatinya, apakah pengarang
cerita konsekuen dengan keberadaannya hingga akhir cerita. Sedangkan gaya bahasa adalah unsur yang memberikan warna pada cerita. Bagaimanakah
kemenarikan cerpen juga sangat tergantung pada penggunaan gaya bahasa dan pilihan kata-katanya. Seting latar adalah tempat, kondisi yang menjadi latar
belakang cerita, apakah disajikan secara jelas atau tidak dan sesuai atau tidakkah dengan rangkaian ceritanya.
2. Meresensi Cerpen
Video yang berhubungan