Lembaga yang berwenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc adalah

Jakarta -

Komisi Yudisial (KY) berwenang menyeleksi hakim ad hoc di tingkat kasasi/peninjauan kembali (PK) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2011. Namun kewenangan itu digugat oleh calon hakim ad hoc yang gagal, Burhanuddin ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu, apa kata KY?

Kewenangan yang digugat adalah Pasal 13 huruf a UU Komisi Yudisial yang berbunyi:

Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Burhanudin menilai hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Namun KY memiliki pandangan yang berbeda dengan Burhanudin. Sebab, KY di berbagai negara adalah untuk melakukan seleksi hakim. Fungsi utama ini juga ditangkap oleh pembentuk UUD 1945 (amandemen) maupun undang-undang terkait.

"Ciri utama KY di berbagai negara adalah untuk melakukan seleksi hakim. Beberapa standar internasional, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary, angka 2 dan angka 10 menyatakan bahwa terhadap seleksi hakim harus dibuat suatu perisai untuk menghindarkannya dari tujuan-tujuan yang tidak patut, pengaruh yang tidak layak, maupun tekanan terhadap hakim itu sendiri. Kesemua ini berdampak pada independensi dan imparsialitas hakim," kata anggota KY, Binziad Kadafi, dalam keterangan pers kepada wartawan, Minggu (12/9/2021).

"Prinsip ini juga ditegaskan oleh The Universal Charter of the Judge yang diadopsi oleh International Association of Judges (IAJ) dan telah diperbarui pada 2017. Pada angka 2.3 dan 4.1. Charter itu dinyatakan bahwa seleksi hakim harus didasarkan hanya pada kriteria objektif dan profesionalisme, dan dijalankan oleh Komisi Yudisial yang memang harus dibentuk guna menjaga independensi peradilan," sambung Binziad.

Semangat ini juga ditangkap oleh pembentuk UUD 1945 pada saat amandemen ketiga. Di mana frasa 'hakim agung' dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 seharusnya dimaknai sebagai semua hakim yang bertugas memeriksa dan memutus perkara di MA.

"Selain itu, kewenangan KY dalam melakukan seleksi calon hakim ad hoc di MA dapat juga diperoleh dari pemaknaan terhadap '...dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim' dalam Pasal yang sama. Dengan demikian, hal ini bukan sekadar perdebatan mengenai kewenangan, melainkan lebih jauh dari itu, yaitu menjalankan kepentingan konstitusional (constitutional importance) secara konsisten," papar Binziad.

Kewenangan KY menyeleksi hakim ad hoc pada tingkat kasasi/PK tidak tiba-tiba jatuh dari langit. Tapi merupakan turunan dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Selain itu, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA, maupun UU Pengadilan Tiikor, hakim agung dan hakim ad hoc diposisikan secara setara dalam tugas dan fungsi teknis yudisial, yaitu membentuk majelis, memeriksa dan memutus perkara Tipikor, serta menandatangani dan bertanggung jawab terhadap penetapan atau putusan MA baik di tingkat kasasi maupun PK yang dibuatnya.

"Artinya, apabila permohonan pemohon dipenuhi, maka hakim ad hoc Tipikor di MA akan diseleksi atau direkrut oleh MA yang diisi dan dipimpin oleh para hakim agung sendiri. Padahal, secara status dan fungsi para hakim agung yang mengisi dan memimpin MA ini akan duduk di dalam majelis yang sama dengan hakim ad hoc tipikor di MA, dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas putusan yang dihasilkan. Hal ini akan berpengaruh pada independensi dan imparsialitas dari hakim ad hoc yang direkrut," pungkas Binziad.

Dalam persidangan di MK beberapa waktu lalu, pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyatakan frasa '.. dan wewenang lain' dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dimaknai limitatif. Selain itu, norma konstitusi terkait pengangkatan hakim tidak hanya terbatas pada Pasal itu, melainkan juga Pasal 25 UUD 1945.

"Frasa '..wewenang lain' tidak bermakna limitatif karena frasa itu mencakup semua usulan-usulan terkait urgensi pembentukan KY melalui UUD 1945. Urgensi keberadaan KY yang paling mencolok adalah dalam hal seleksi hakim sebagai ciri utama judicial council di berbagai negara, yaitu untuk menyelenggarakan seleksi hakim (appointment of judges) sebagai sebuah organ yang terpisah dan mandiri dari badan peradilan," kata Zainal Arifin Mochtar.

Sidang judicial review ini masih berlangsung di MK. Persidangan berikutnya rencananya akan dilaksanakan lagi pada 21 September 2021. Burhanudin saat ini juga terdaftar mengikuti seleksi hakim ad hoc tipikor tingkat banding.

(asp/mae)

Oleh :
Ridho Afrianedi, S.H.I., Lc., M.H.

SEJARAH KOMISI YUDISIAL

Oleh: Ridho Afrianedy

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam teori pembagian kekuasaan dikenal sebuah istilah trias politika yaitu kekuasaan itu dibagi 3 ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dalam sistim negara kita lembaga legislatif adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), lembaga eksekutif adalah pemerintah dan lembaga yudikatif adalah lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.

Lembaga yudikatif dalam hal ini lembaga kekuasaan kehakiman merupakan ujung tombak dalam penegakkan hukum dinegara kita, oleh karena itu lembaga ini punya posisi strategis dalam tegaknya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga sering kita dengar negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum, maka pengadilan merupakan pilar utama dalam penegakkan hukum itu sendiri terutama posisi hakim.

Harapan dan keinginan besar semua pihak adalah supaya hakim bisa mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya tanpa adanya intervensi dari pihak lain baik internal maupun eksternal. Sehingga keadilan yang diharapkan bisa terwujud dan tegak dalam negara kita.

Seorang hakim itu harus mandiri, merdeka, profesional, akuntabel dan menjaga keluhuran, martabat dan wibawa hakim itu sendiri. Walaupun demikian masih saja ada oknum hakim yang tertangkap basah apakah karena kasus suap, narkoba dan lain sebagainya, sehingga dibutuhkan lembaga independen yang bertugas untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat serta prilaku hakim agar hukum dan keadilan bisa tegak.

Maka lahirlah lembaga Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari Amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 24 B dan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

  1. Apa latar belakang lahirnya Komisi Yudisial?
  2. Apa tugas dan wewenang Komisi Yudisial?
  3. Apakah Komisi Yudisial telah maksimal dalam melaksanakan tugasnya?
  1. Menjelaskan mengenai sejarah latar belakang terbentuknya Komisi Yudisial.
  2. Menjelaskan tentang wewenang dan tugas Komisi Yudisial.
  3. Menjelaskan tentang peran kerjasama Komisi Yudisial dengan lembaga lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN

          Rendahnya kepercayaan publik terhadap integritas peradilan semakin tinggi, hal ini menimbulkan rasa apatis dan tidak percaya terhadap dunia peradilan di Indonesia, sering kita mendengar bahkan dalam obrolan santai bahwa hakim itu bisa disuap, pihak itu menang karena dekat dengan hakim atau telah menyuap hakim, dan yang lebih parah kalau sudah masuk ranah peradilan maka siapkanlah uang sebanyak mungkin untuk menyuap hakim, jaksa, polisi dan lain-lain.

          Oleh karena itu, kebutuhan atas lembaga pengawas terhadap lembaga kekuasaan kehakiman sangat mendesak. Banyaknya suara miring tentang dunia peradilan di Indonesia tambah mencoreng dunia penegakkan hukum di Indonesia. Walaupun hakim sebagai wakil tuhan bebas dan merdeka dalam memutus perkara akan tetapi bau adanya permainan dalam sebuah perkara semakin kuat tercium.

          Maka dengan semangat penegakkan hukum pada tanggal 13 Agustus 2004 telah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari Amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 B yang ayat 1 (satu) berbunyi Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

          Termaktubnya lembaga Komisi Yudisial dalam amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 ini lahir berdasarkan rapat-rapat yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dan beberapa alasan dibentuknya Komisi Yudisial karena adanya kebutuhan sebagai berikut[1]:

  1. Melakukan pengawasan dan kontrol terhadap Mahkamah Agung terhadap para hakimnya khususnya terkait dengan pelaksanaan tugas yudisial.
  2. Menghindari campur tangan politik dalam penentuan hakim agung (atau dalam proses rekrutmen hakim secara keseluruhan).
  3. Melaksanakan fungsi pengawasan eksternal atas prilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan sebagai bentuk check and balances.

Dengan masuknya lembaga Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar 1945 menandakan begitu kuatnya posisi dan peran lembaga ini dalam mengawas lembaga kekuasaan kehakiman.

Dan perlu diketahui, lembaga Komisi Yudisial dalam dunia peradilan diseluruh negara didunia telah diakui keberadaannya, bahkan 43 negara dari 197 negara yang menjadi anggota PBB telah memiliki lembaga Komisi Yudisial.

Seiring berjalannya waktu, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial maka Undang-undang ini telah direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang telah disahkan pada tanggal 9 Nopember 2011.

Adapun perbedaan antara Undang-Undang yang lama dengan yang baru terletak pada wewenang dan tugas Komisi Yudisial. Sebagai perbandingannya Undang-Undang yang lama sebagai berikut[2]:

  1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR.
  2. Menegakkan Kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
  3. Melakukan pendaftaran calon hakim agung.
  4. Melakukan seleksi terhadap terhadap calon hakim agung.
  5. Menetapkan calon hakim agung.
  6. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
  7. Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Adapun wewenang dan tugas Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang yang baru sebagai berikut:

  1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
  2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
  3. Menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung
  4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH.
  5. Mengusulkan pengangkatan hakim agung ke DPR.
  6. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
  7. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran KEPPH.
  8. Melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup.
  9. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH.
  10. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
  11. Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
  12. Meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dal hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH.
  13. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial.

Dari penjelasan diatas dapat kita lihat perbandingan Undang-Undang yang lama dan Undang-Undang yang baru begitu mencolok. Ada beberapa kewenangan dan tugas yang ditambah serta diperluas ruang lingkup kerjanya, sehingga diharapkan Komisi Yudisial lebih maksimal dalam melakukan pengawasan serta seleksi calon hakim agung.

Akan tetapi, pada tanggal 9 Januari tahun 2013, telah dibacakan putusan uji materi Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Komisi Yudisial oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 yang mana Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan makna “dipilih” dan “pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “disetujui” dan “persetujuan” dan frasa “ tiga nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) calon[3].

Putusan Mahkamah Konstitusi ini memangkas wewenang DPR yang selama ini memilih hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan diganti dengan menyetujui atau menolak. Hal ini tidak lepas dari rumor-rumor yang beredar bahwa selama ini calon hakim agung harus mendapat restu atau punya posisi tawar menawar dengan komisi III di DPR.

Apalagi banyak calon hakim agung yang punya integritas yang baik, profesional dan punya kompetensi yang tidak diragukan lagi malah tidak lulus fit and proper test di DPR, sehingga diharapkan dengan putusan ini calon hakim agung yang telah melalui proses seleksi yang ketat di Komisi Yudisial tidak lagi trauma dengan fit and proper test di Komisi III DPR karena sekarang DPR hanya menyetujui atau menolak calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial.

Kemudian dalam hal pengawasan terhadap hakim-hakim, Komisi Yudisial telah bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan LSM-LSM, kampus-kampus maupun organisasi kemasyarakatan untuk bisa menjadi perpanjangan tangan Komisi Yudisal dalam mengawasi kinerja para hakim di daerah-daerah, karena Komisi Yudisial belum memiliki kantor penghubung diseluruh provinsi, hanya beberapa saja dikota-kota besar. Sehingga Komisi Yudisial sangat mengharapkan peran serta unsur masyarakat untuk dalam penegakkan hukum terutama pengawasan terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Selain itu Komisi Yudisial telah bekerjasama dengan Mahkamah Agung dalam menyusun kode etik dan pedoman perilaku hakim dan lahirlah SKB (Surat Keputusan Bersama) yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial dengan nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 pada tanggal 8 April 2009 di Jakarta.

Dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama ini bisa menimalisir terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh hakim itu sendiri. Dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional.

BAB III

PENUTUP

          Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:

  1. Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas terhadap kekuasaan kehakiman.
  2. Komisi Yudisial terbentuk dari kondisi dunia peradilan yang tidak lagi dipercayai publik.
  3. Komisi Yudisial diharapkan bisa menjaga keluhuran martabat dan perilaku hakim.
  1. Komisi Yudisial diharapkan bisa memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak.
  2. Komisi Yudisial diharapkan bukan sekedar mencari kesalahan-kesalahan hakim saja tapi juga masuk dalam bidang pencegahan dan lebih sering melakukan pembinaan kedaerah-daerah.
  3. Komisi Yudisial diharapkan bisa melakukan pelatihan dan mengirim hakim-hakim yang kompeten untuk studi banding keluar negeri atau menyekolahkan hakim keluar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, Edisi Oktober-Nopember 2011, Vol. VI No. 2

[1] Buletin Komisi Yudisial, Edisi Oktober-Nopember 2011, Vol. VI No. 2, halaman 49.
[2] Ibid, hlm. 19.
[3] //www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cebf177b95d/mk--dpr-hanya-menyetujui-calon-hakim-agung

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA