Konsumsi obat antiretroviral (arv) dapat mencegah penularan hiv/aids dari ibu ke anak

Minggu, 05 Mar 2017 08:05 WIB

Puti Aini Yasmin - detikHealth

Jakarta - Wanita dengan HIV-AIDS tak perlu khawatir jika hendak memiliki momongan. Sebab penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak pada prinsipnya bisa dicegah.Menurut dr Abraham Simatupang dari Universitas Kristen Indonesia (UKI), pasangan dengan HIV dapat memiliki anak yang sehat dengan mengikuti program prevention of mother to child transmission of HIV (PMTCT)."Program ini dilakukan dengan menurunkan jumlah virus dalam tubuh. Karena anak kan dapat makanan dari plasenta ibu, lalu saat kelahiran risiko penularan lebih besar dari darah," ucap dokter yang akrab disapa dr Bram ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Jadi jumlah virus di dalam tubuh ibu dibuat rendah dulu dengan konsumsi obat ARV (antiretroviral). Nah ketika jumlah virus rendah, probabilitas penularan saat mengandung dan melahirkan normal dapat menurun," sambung dr Bram.

Baca juga: Ini Sebab Bayi dengan Ibu Pasien HIV Tak Dianjurkan Diberi Asi Kombinasi Sufor

Hal itu ia sampaikan di sela-sela acara Pameran Foto HIV: One Child One Life Project di Kunstkring Art Galery, Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, Sabtu (4/3/2017). Nah, mengenai penularan HIV dari ibu ke anak melalui air susu ibu (ASI), menurut dr Bram itu masih menjadi perdebatan."Jadi ASI bisa menularkan sebanyak 5 persen. Tapi kalau virus dalam tubuh rendah, penularan itu bisa lebih kecil dari 5 persen," sambung dokter yang juga aktif dalam program Lentera Anak Pelangi.dr Bram menjelaskan, ketika ibu hamil pada trimester pertama, obat ARV harus diganti atau disesuaikan. Sebab, kehamilan trimester pertama dianggap masih dalam keadaan yang rentan.

Baca juga: Sesuai Anjuran WHO, Ibu dengan HIV-AIDS Tetap Dianjurkan Menyusui Bayinya

(rdn/vit)

Baca Juga

KBRN, Jakarta: Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengingatkan para ibu hamil dengan HIV untuk rutin mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV).

Pasalnya, menurut Nadia, obat tersebut efektif dalam mencegah penularan virus dari ibu ke anak hingga 98 persen.

“Dari banyak kasus yang saya tangani, obat ARV tidak menimbulkan keguguran pada janin atau kemandulan. Jadi jangan ragu konsumsi ARV,” kata kata Nadia dalam webinar Hari AIDS Sedunia 2021, seperti ditayangkan Youtube Kementerian Kesehatan RI, Senin (29/11/2021).

Nadia menambahkan, pemerintah telah melakukan tes skrining HIV kepada sekitar 2,3 juta ibu hamil. Dari jumlah tersebut, ada sekitar 6.094 yang terdeteksi HIV yang ditularkan kebanyakan dari suaminya.

“Skrining pada ibu hamil menjadi penting untuk mencegah penularan virus dari ibu ke anak. Sehingga tak ada lagi anak-anak yang lahir dengan HIV. Prevalensi anak dengan HIV mencapai 0,25 persen dari populasi anak yang dilahirkan dari ibu dengan HIV,” ujar Nadia.

Sementara itu, untuk layanan kesehatan bagi anak dengan HIV, menurut Nadia, baru akan tersedia di rumah sakit. Tercatat ada 1.705 rumah sakit, baik milik pemerintah atau swasta yang memiliki layanan bagi anak dengan HIV.

“Layanan itu hingga saat belum tersedia di Puskesmas. Karena layanan memerlukan dokter spesialis anak, sehingga baru tersedia di rumah sakit,” ungkap Nadia.

Ia pun mengungkapkan persentase anak dibawah usia 19 tahun yang tertular HIV ada sekitar 0,7 persen dibawah usia 4 tahun. Kebanyakan dari mereka tertular dari hubungan ibu ke anak.

“Pada usia 5-14 tahun ada sekitar 1,3 persen, sedangkan usia 14-19 tahun sebanyak 7,2 persen. Seluruh pasien anak ini sudah mendapat layanan yang sesuai di rumah sakit,” jelas Nadia.

Nadia memperkirakan ada 543.100 orang di Indonesia hidup dengan HIV. Dari jumlah itu, 30.100 orang diantaranya meninggal, tetapi hanya 10.103 kasus kematiannya yang dilaporkan. Ada 149.883 orang yang tersebar di 502 kabupaten/kota telah dapat mengakses pengobatan ARV.

“Upaya kita memutuskan rantai penularan HIV harus lebih dipercepat. Kita harus belajar dari Thailand yang secara cepat bisa menurunkan insiden HIV-nya,” katanya.

Pemerintah Indonesia sendiri, lanjut Nadia, menargetkan tidak ada lagi infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada diskriminasi pada ODHA. Kondisi itu dapat dicapai jika 95 persen ODHA mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHA dalam pengobatan ARV, dan 95 persen ODHA viral load-nya tersupresi.

Dan yang menggembirakan, infeksi baru HIV tahun 2020 lebih rendah 47 persen dibandingkan dengan 2010. Nadia berharap, dampak pandemi covid-19 tidak meluas, sehingga dapat menekan kesakitan ataupun infeksi baru HIV, bahkan kematian akibat HIV.

“Kita harus memperkuat penanganan HIV di masa pandemi ini. Karena covid-19 akan memanfaatkan kondisi tubuh dari penyandang HIV/AIDS yang lemah, sehingga terjadi perburukkan,” tandasnya.

07 Oktober 2021 Referensi

jpnn.com - Sebanyak 90 persen penularan pada anak usia di bawah 13 tahun terjadi pada saat perinatal. Seorang ibu dengan HIV positif dapat menularkan HIV ke bayinya saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun, kabar baiknya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah HIV menular ke bayi.

Penularan dari seorang ibu dengan HIV terhadap bayinya tidaklah mutlak. Data dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV dan AIDS (UNAIDS) dari 2009-2015 menunjukkan angka HIV berkurang hingga 50 persen. Ini karena penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan lebih awal.

Apabila seorang ibu positif HIV, beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah HIV menular ke bayi. Ini dia cara-caranya.

1. Deteksi dini HIV

Semakin awal penyakit HIV dideteksi, maka keberhasilan pengobatan akan makin meningkat. Tidak hanya itu, deteksi dini HIV dapat meningkatkan angka harapan hidup pengidap HIV positif serta sekaligus kualitas hidupnya.

Pengidap HIV yang mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara rutin dapat mengurangi risiko terjadinya acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Apabila sudah terjangkit AIDS, kualitas dan harapan hidup penderita HIV dapat berkurang secara drastis.

2. Menerima pengobatan antiretroviral

Menerima pengobatan ARV secara dini dan rutin adalah kunci penting untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Pengobatan ARV dapat diberikan sebelum kehamilan, saat hamil, dan selama menyusui. 

Dengan mengonsumsi ARV, maka jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuh sang ibu akan berkurang. Minimnya jumlah virus akan membuat daya tahan tubuh makin kuat dan menurunkan risiko penularan kepada bayi, terutama bila melahirkan secara normal.
Tak perlu takut dengan pengobatan HIV selama kehamilan. Ini karena secara umum tidak ada efek samping berbahaya yang dapat mengganggu keselamatan janin beserta perkembangannya.

3. Melahirkan melalui operasi caesar

Metode persalinan yang dianjurkan untuk ibu dengan HIV positif adalah operasi caesar. Mengapa? Jika melakukan persalinan secara normal, bayi akan langsung berkontak dengan darah ibu dan cairan lainnya di jalan lahir. Kondisi tersebut dapat membuat bayi terpapar virus HIV secara langsung.

Perlu diingat, meski sang ibu sudah mengonsumsi obat ARV selama kehamilan, risiko penularan tetap ada. Proses melahirkan melalui operasi caesar dapat menghindari kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh ibu. Cara ini dapat mengurangi risiko penularan HIV.

Meski memiliki risiko penularan HIV dari ibu ke bayi paling rendah, yaitu sekitar 2 persen, tetapi risiko komplikasi saat dan setelah operasi caesar pada ibu dengan HIV lebih tinggi. Selain itu, kemungkinan dibutuhkan pula perawatan intensif lebih lama di rumah sakit.

Sebagai catatan, bayi yang baru lahir tetap akan mendapatkan pengobatan HIV selama kurang lebih sekitar 4-6 minggu untuk mengurangi risiko.

4. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada masa menyusui

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan ibu menyusui mengonsumsi ARV untuk mengurangi penularan HIV melalui ASI. Namun, pedoman untuk menyusui atau menghindari pemberian ASI sebaiknya ditetapkan pihak berwenang dalam bidang kesehatan masing-masing.

Jika menyusui disarankan, maka sebaiknya memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Selanjutnya, ibu positif HIV sebaiknya menyusui selama setidaknya 12 bulan dan dapat dilanjutkan hingga 24 bulan atau lebih sembari tetap mengonsumsi ARV.

Menyusui dapat dihentikan apabila pola makan yang aman dan bergizi selain ASI dapat diberikan kepada bayi.

IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) menyarankan langkah-langkah untuk membuat menyusui lebih aman. Pertama adalah pemberian ASI eksklusif—pemberian ASI saja tanpa tambahan apa pun (termasuk air). 

Studi menemukan, risiko penularan HIV pada bayi yang diberi ASI eksklusif hanya 4 persen. Di sisi lain, risiko ini bisa naik 10 kali lipat bila bayi mulai diberikan makanan padat, dan 1,8 kali apabila juga diberikan susu formula.

Di Amerika Serikat (AS), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan American Academy of Pediatrics (AAP) tidak menganjurkan pemberian ASI oleh ibu yang positif HIV.

Menurut organisasi tersebut, ibu-ibu di AS memiliki akses ke air bersih serta nutrisi pengganti yang terjangkau. Bila ibu memilih tidak memberikan ASI, maka ibu harus diajarkan tentang pemberian makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar. Bila ibu tetap memilih memberikan ASI, dianjurkan untuk memberikannya ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan saja.

Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka, karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan memberikan ASI bersama susu formula karena akan menyebabkan luka di dinding usus, yang bisa menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk. 

Selain itu, saat bayi sudah mulai bisa mengonsumsi makanan lunak, sebaiknya ibu tidak mengunyah makanan lalu memberikannya ke bayi. Lebih amannya bayi diberikan makanan yang dilumatkan dengan alat seperti blender atau metode lainnya.

Demikian cara mencegah HIV menular ke bayi bagi ibu positif virus tersebut. Apabila HIV dideteksi dan diobati sedini mungkin, risiko penularan terhadap bayi dapat berkurang secara signifikan hingga 1 persen.

Lakukan langkah-langkah pencegahan tersebut untuk menekan kemungkinan penularan seminimal mungkin.(RN/AYU/klikdokter)