Kodok kodok apa yang masuk masjid

NYAYIAN KATAK DI MUSIM HUJANOleh: Supiati#tantangangurusiana#harike_9Alkisah sepasang pengantin baru. Tinggal di PMI (pondok mertua indah). Di belakang rumah jika musim hujan seperti sekarang ini, ada genangan, genjer dan kangkung pun bersemi.

Suara tembang, ‘pap ‘pop, ‘pap ‘po riuh rendah juga sangat membuat pasangan yang kelelahan tidak bisa memejamkan mata.

Musim hujan, suara katak lebih nyaring. hingga kadang kita berpikir, ke mana perginya katak saat hari tak hujan? Kenapa suara katak hanya terdengar usai hujan?

Alasannya sebenarnya sederhana. Suara katak dan hujan, ada hubungannya dengan waktu kawin yang tepat.

Katak jantan mengeluarkan suara nyaring usai hujan karena mereka tengah menarik perhatian betina.

Hujan menciptakan kondisi optimal bagi betina untuk bertelur di kolam.

Selain itu, ini juga karena katak suka dengan cuaca yang lembab dan dingin.

Setelah hujan, kelembaban lingkungan akan meningkat, awan mendung membuat menjadi gelap dan dingin. Dan inilah yang disukai para amfibi.jantan bernyanyi dengan suara nyaring untuk menarik perhatian betina.

Katak memiliki sistem kawin yang aneh. Perkawinan mereka dipicu oleh kenaikan suhu, lingkungan dengan lebih banyak air dan lebih banyak makanan.

Banyak yang memandang remeh katak hanya sebagai hewan yg berisik akan suaranya dan jijik melihat bentuk tubuhnya. Tetapi dibalik itu katak adalah hewan yang dilindungi oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda " berilah keamanan bagi kodok (jangan dibunuh) karna sesungguhnya suara yang kalian dengar adalah tasbih, taqdis dan takbir.

Dari sabda nabi dapat dijabarkan sebagai berikut, karya Abdullah Al-Qurthubi didalam kitab Az-Zahir bahwa Nabi Daud as berkata: "Sungguh aku akan bertasbih kepada Allah dengan bacaan tasbih yang tidak diucapkan oleh satupun makhluk Allah".

Ada seekor katak didekat saluran air rumah Nabi Daud as dan katak berkata: "Wahai Daud! Engkau berbangga di hadapan Allah dengan tasbihmu. Sesungguhnya selama 70 tahun, lidahku tidak pernah kering dari dzikir kepada Allah. Dan sesungguhnya selama 10 malam aku tidak menginginkan makan dan minum, karena sibuk dengan dua kalimah".

Ramadan ini karena kita melalui masa covid maka kegiatan tadarusan bersama dilarang, sehingga orang masing- masing tadarusan sendiri.

Namun katak tidak mengenal sosial digendong, dan tetap berzikir secara berjamaah, sungguh indah dan nyaman kalau kita mampu menikmati

Kita mesti beradaptasi dengan apa pun, juga suara kodok, menikmati syairnya, bukan malah dia yang kita paksa agar menyesuaikan diri dengan jam istirahat kita. Sebab dia asyik berzikir menurut bahasanya, mensyukuri nikmat curahan langit.

Dalam mengawali beberapa surat, dalam juz ke 27-28 Alquran, Allah banyak nyatakan, bahwa semua bertasbih pada Allah.

“Sabbaha lillahi ma fis-samawati wal-ardh…” (QS Al-Hadid), atau “Yusabbihu lillahi ma fis-samawati wa ma fil-ardh…” (QS Al-Jumu’ah), di antara awal ayat-Nya.

Dalam QS Ar-Ra’du 15, Allah isyaratkan, baik rela maupun terpaksa, semua sujud pada Allah yang di langit dan bumi, juga bayang, pagi dan petang.

Hujan juga, banjir juga, corona dan kodok juga, dengan bahasanya.

Akan datang suatu zaman, pada suatu negeri, hujan jatuh dari langit tak lagi ditujukan untuk manusia. Tetapi air dari awan itu, Allah Swt curahkan semata-mata untuk binatang yang melata (ad-dâbbah). Sekilas, memang manusia juga termasuk bagian dari “binatang yang melata” itu.

Sebab, terbaca dalam kaidah ilmu mantiq (logika), bahwa manusia adalah hewan yang bisa bercakap-cakap. Atau insan itu hewan yang mampu berpikir. Namun makhluk yang melata yang dimaksudkan di sini, sebagai sasaran pelimpahan hujan ialah, asal bukan manusia, semua yang merangkak: seribu kaki, empat kaki, dua kaki, atau cuma lari dengan perutnya; berbulu, bersayap, bersisik, bertaring, bercula, atau bertanduk. Hujan hanya untuk mereka, kita hanya kebetulan saja butuh air seperti mereka.

Jadi, sedikit pun tak boleh kita sombong atau takabbur: menolak kebenaran dan meremehkan orang, juga hewan. Padahal kita lahir dari air hina, berjalan ke mana-mana membawa najis, dan kelak mati menjadi santapan ulat dan cacing tanah.

Padahal penduduk kampung atau kota ini, kini sedang antrian untuk masuk satu per satu atau ramai-ramai ke dalam perut bumi yang dangkal. Bumi mesti membersihkan diri dari kesesakan dan keriuhan manusia yang ajalnya telah duluan datang, menuju alam kubur.

Sebab di belakang satu generasi itu, sedang antri generasi lain.Untuk menempati kursi dan wilayah yang sama sebagimana kakek dan buyutnya dulu. Harus ada kematian, agar benua dan bumi nan kecil ini tidak sesak. Dan mesti ada kelahiran, supaya bola bumi yang tua ini tidak sepi.

Kalau bukan karena ada katak yang haus, cacing yang kepanasan, dan lintah yang terdampar ke daratan yang butuh segera air, sungguh tak akan jatuh lagi cairan dari langit setetes pun. Kalau bukan karena pucuk rumput tak bisa lagi bergoyang atau kuncup bunga tak bakal mekar tanpa siraman hujan, sungguh air tak akan turun ke bumi.

Andai bukan karena ada bayi mungil yang masih suci –walaupun di rumah-rumah orang durhaka– yang meraung meminta susu ibu, sungguh tak bakal turun lagi hujan di kampung itu.

Dan jika bukan karena pintaan orang tua renta yang dzuafa serta yang miskin papa dan teraniaya sungguh tak akan lagi turun hujan sekali pun. Lalu hujan pun, karena kebutuhan seperti itu, Allah curahkan juga. Sebab Allah Maha Pengasih.

Ingat pada Yang Maha Rahman, di antara sunnah Nabi SAW mengajarkan kita –jika kita masih percaya kepadanya– bahwa jika hujan deras, beliau masuk masjid beribadah dengan tawadhu’.

Juga dia memintal penggalan-penggalan doa. Sebab di antara waktu yang mustajabah (maqbūl) doa adalah tatkala hujan turun.

Mari terus tingkatkan amalan di akhir ramadhan, walau dalam keadaan bagaimanapun. Termohon ampun karena sesungguhnya kita belum tahu akankah kita berjumpa dengan ramadhan yang akan datang.

Banda Aceh, 20 Mei 2020