Kenapa brand luar negeri lebih banyak dipilih pembeli?

Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu pemandangan yang akrab terlihat ketika masuk ke dalam departement store di Jakarta adalah deretan baju-baju yang indah dan mewah dari lini busana desainer internasional. Yang kerap jadi pertanyaan, dimanakah kreasi busana desainer-desainer Indonesia?

Minimnya kreasi desainer Indonesia yang masuk ke pasar ritel dalam negeri ini tentu memprihatikan. Hanya saja hal ini lantas membuat pertanyaan lain. Apakah kreasi busana desainer Indonesia yang tidak memenuhi standar kebutuhan ritel alias buruk? Ataukah ini semua karena konsumen yang masih branded oriented, dalam artian mereka hanya ingin membeli karya-karya busana dari desainer luar negeri?

"Tidak juga, konsumen Indonesia sekarang ini sudah lebih open. Bisa dikatakan kalau konsumen sekarang itu suka coba-coba. Kalau bagus dan cocok ya beli," kata Arnolda R. Tondobala, Corporate PR & Sales Director PT. Panen Lestari Internusa yang menaungi Sogo Departemen Store kepada CNNIndonesia.com usai konferensi pers IFF-Sogo di Plaza Senayan, Selasa (15/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Arnolda juga mengungkapkan bahwa sebenarnya memang sulit untuk bisa masuk ke dalam ritel. "Ada standar tertentu yang harus dipenuhi oleh desainernya. Bukan cuma dari segi desainnya saja tapi juga" ucap dia."Desainer Indonesia khususnya yang muda-muda ini sebenarnya semakin hari semakin kreatif dan bagus-bagus desainnya."

Koleksi Lulu Lutfi Labibi di Dewi Fashion Knight, Jakarta Fashion Week 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jika benar demikian, lantas apa yang jadi kendala, sehingga sampai saat ini ritel Indonesia masih didominasi produk busana internasional? Ternyata titik pokok masalah "dari" desainer yang akhirnya membuat retailer enggan untuk membantu memasarkan produk mereka adalah, belum terpenuhinya beberapa syarat dan standar yang diinginkan oleh retailer."Terkadang masih ada desainer-desainer yang jahitannya kurang berkualitas dan kurang rapi untuk standar harga yang segitu," ucapnya.Selain masalah kualitas jahitan, masalah utama yang jadi penghambat adalah tak adanya standar fitting internasional yang dimiliki. Yang lebih parah ternyata masih ada desainer yang belum mengerti segmen pasar dan konsumen real yang ada. Svida Alisjahbana, Ketua Umum Jakarta Fashion Week memberi contoh, bahwa desainer terkadang masih kesulitan dalam memberi ukuran tubuh pada busananya."Di dunia ritel, desainer tidak bisa hanya membuat busananya di size XS. Itu hanya untuk model. Di dunia nyata, desainer juga harus paham kalau ukuran tubuh "nyata" pelanggannya bukan itu," kata Svida.Diakui Svida dan Arnolda, ukuran tubuh nyata konsumen berada di ukuran medium (M) dan large (L). Namun sayangnya, kebanyakan desainer hanya membuat desainnya dalam ukuran XS dan S.

"Desainer itu maunya perfect, bajunya harus terlihat cantik di tubuh pemakai dengan ukuran xs. Tapi ukuran tubuh pelanggan di dunia ritel itu berbeda-beda, jadi begitu sizenya beda, bentuknya juga jadi beda. Pelanggan enggak puas dan jadinya tidak mau beli," kata Arnolda menjelaskan.

Selain itu, ada juga desainer yang membuat baju ukuran medium tapi ternyata kekecilan untuk standar tubuh orang Indonesia.Ukuran-ukuran busana desainer Indonesia ini bukan cuma harus memenuhi semua tingkat ukuran, dari XS, S, M, L, sampai XL. Mereka juga harus perhatikan soal jumlah stok busana di berbagai ukuran ini. Arnolda mengungkapkan, retailer membutuhkan setidaknya 2-3 buah per satu ukuran baju. Desainer pun juga harus memenuhi kebutuhan dan kelangsungan stok (kontinuitas produk).

Koleksi Haryono Setiadi di acara Dewi Fashion Knigh, Jakarta Fashion Week 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Tersandung IdealismeBukan cuma soal ukuran dan kualitas, Arnolda mengungkapkan ada beberapa hal lain yang menghambat jalan masuknya desainer lokal ke pasar ritel di mal. Salah satunya adalah masalah pemilihan warna busana dan jenis busana apa yang laku di pasaran. Dia mengungkapkan bahwa saat berkarya, desainer juga harus menyesuaikan dengan warna sesuai musim dan tren. Misalnya saat musim panas, warna yang harus dipilih adalah warna yang lebih cerah dan warna-warni.Terkadang, favorit item desainer dengan konsumen sangat berbeda. Dalam dunia bisnis, terkadang "idealisme" desainer dan keinginan konsumen berada di dua kutub yang berbeda. Desainer juga harus lebih paham soal target konsumen, keinginan konsumen namun juga harus bisa mempertahankan ciri khasnya. Mereka harus tahu, item mana yang banyak dicari pelanggan dan mana yang tak laris.Mereka tidak bisa "suka-suka sendiri" untuk menjual item yang mereka suka, apalagi jika memang sudah jelas konsumen tak berminat.

"Ada desainer yang sudah diberi tahu bahwa separate item (atasan dan bawahan) lebih laku dibandingkan dress. Tapi ternyata stok yang diberikan dia ternyata dress lagi, dress lagi. Ya percuma, tidak akan laku," ujar Svida.

Arnolda berharap, hal ini tak justru membuat desainer Indonesia jadi mundur dan menyerah untuk bisa masuk ke dunia retail. Pada dasarnya, adanya koleksi desainer yang ada di mal akan sama-sama menguntungkan kedua belah pihak.

"Mal (retail) sangat butuh desainer muda Indonesia. Karena pada akhirnya hal inilah yang akan membantu perkembangan perekonomian secara keseluruhan, dan juga menciptakan lapangan pekerjaan," kata Arnolda. (les/les)

Kenapa Masyarakat Lebih Suka Pakai Produk Luar Negeri? Illustration Web Bisnis Muda - Canva


Globalisasi memang membuat kita lebih mudah mengenal dan mengakses segala sesuatu tentang dunia baru, terutama dari negara-negara berbeda. Hal tersebut juga terjadi dalam aspek ekonomi dan perdagangan lho, Be-emers. Saat ini, pasar internasional yang terbuka membuat kesempatan kerja lebih banyak yang diikuti dengan meningkatknya devisa negara. Tak bisa dipungkiri, globalisasi juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama konsumen masa kini. Di tengah menjamurnya produk lokal di Indonesia, terutama di bidang fesyen dan kecantikan, sayangnya mayoritas konsumen masih lebih memilih untuk tetap membeli dan menggunakan produk dari luar negeri, Be-emers. Ada beberapa alasan yang mendasari preferensi konsumen antara produk lokal dengan produk asing, beberapa di antaranya adalah:

Kualitas Produk

Banyak konsumen yang mengatakan bahwa walaupun kini ada beberapa produk lokal yang sudah memiliki kualitas yang baik, harga yang ditawarkan masih berada di angka yang cukup tinggi. Kondisi tersebut akhirnya membuat konsumen memilih produk luar dengan harga yang sedikit lebih tinggi namun memiliki kualitas yang telah terbukti dan prestige-nya sendiri.
 

Kemasan

Nggak bisa diabaikan, kemasan juga menjadi salah satu aspek daya tarik konsumen dalam membeli suatu produk, lho. Belum banyak produk lokal Indonesia yang melek akan hal ini, sedangkan produk asing lebih memperhatikan kemasan dari setiap produknya agar bisa menjadi value added bagi produk yang ditawarkan kepada konsumen. Banyak produk lokal yang menggunakan kemasan dengan tampilan dan kualitas yang biasa agar bisa menekan biaya produksi, Be-emers. Namun, terkadang hal tersebut membuat produk lokal kurang bisa bersaing dengan produk luar negeri. Sedih untuk dinyatakan, namun banyak brand lokal kurang menggali potensi mereka untuk menciptakan inovasi yang bisa meningkatkan value dari brand mereka sendiri. Brand lokal seringkali menggunakan teknik ATM, yaitu amati, tiru, dan modifikasi dari brand luar negeri yang telah berinovasi.

Hal tersebut kadang membuat produk lokal dianggap sebelah mata dan hanya dianggap “dupe” yang berarti tiruan tanpa memiliki value added lainnya selain harga yang lebih murah.


  Walau kita berada di era serba digital, mayoritas konsumen masih lebih menyukai belanja secara langsung atau offline ketimbang online pada produk-produk tertentu.

Keberadaan toko ritel produk lokal yang masih kalah banyak jika dibandingkan dengan produk asing membuat konsumen bertanya-tanya tentang kualitas yang sebenarnya ditawarkan oleh brand lokal tersebut. Lokasi yang strategis pun menjadi nilai tambah bagi ritel produk luar negeri.

Ditambah lagi, konsumen akan lebih percaya untuk membeli ketika telah melihat secara langsung produk yang ditawarkan, yang akhirnya bisa menciptakan customer retention pada produk tersebut.

Kalo kamu, tim produk lokal atau tim produk asing nih, Be-emers?

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak orang Indonesia yang lebih suka membeli busana hingga aksesori dari brand asing. Bahkan menurut desainer kondang Ali Charisma, merek lokal masih kalah saing dengan brand luar internasional di negeri sendiri.Ali pun menuturkan kalau 60% konsumen Indonesia lebih suka membeli berbagai produk luar negeri daripada buatan Indonesia. Ketua Indonesia Fashion Chamber (IFC) itu mengakui kalau produk asing memiliki kualitas yang baik."60% konsumen masih mengejar merek luar karena saya akui kualitas mereka bagus dan harga terjangkau. Perusahaan garmen di Indonesia juga masih mengerjakan produk luar karena lebih laku di pasaran, ini yang menjadi kesulitan kita untuk menjadi pusat mode dunia," jelas Ali saat berbincang dengan CNBC Indonesia di The Ice Palace, Lotte Shopping Avenue, Kuningan, Jakarta, Senin (26/3/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Desainer asal Bali itu turut mengungkap kalau perkembangan industri fashion Indonesia masih ketinggalan dengan negara lain. Bukan dari segi tren atau keunikan yang dimiliki Indonesia melainkan sisi industrinya. Contohnya saja Thailand, negara tetangga yang bisnis fashion lokalnya lebih maju dari Indonesia."Menurut saya pribadi Thailand secara industri masih lebih baik dari kita. Dari segi malny, bisnisnya, merek lokal mereka sudah banyak melakukan wholesale. Banyak juga produsen Indonesia yang membeli di Thailand untuk jual lagi di sini," tambahnya.Sementara Indonesia masih belum kuat bersaing terutama dari segi kualitas dan harga. Banyak produk lokal berkualitas bagus tapi harganya kurang terjangkau. Belum lagi kebiasaan orang Indonesia masa kini yang lebih senang menjadi 'followers'.Perkembangan dunia digital memudahkan para desainer dalam berbisnis dan mencari inspirasi. Namun dikatakan Ali kalau era yang serba digital juga membuat sejumlah desainer milenial hanya menjadi pedagang bukan desainer sehingga tak memiliki ciri khas.

"Banyak yang masih menjadi followers. Mereka dapat inspirasi dari internet lalu diubah-ubah dikit dan dijual, nggak bisa jadi trendsetter. Saranku sih coba tetap berinovasi dan berkolaborasi untuk menjadi desainer yang sustainable," kata Ali lagi.


(roy/roy)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA