Jual /Beli Barang Bekas klithikan Solo

Salah satu bentuk muamalah itu adalah transaksi jual beli, sedangkan dalam Islam dasar hukum jual beli itu adalah boleh (halal) jika tidak ada suatu sebab yang melarangnya. Jual beli mempuyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. 6

Rukun jual beli yang tiga harus ada yaitu Shighat Aqd, Āqid (penjual dan pembeli) Dan yang terakhir jual beli harus ada Ma’qud Alaihi (barang yang menjadi objek jual beli)7. Dari apa yang peneliti teliti, rukun jual beli di Pasar Klithikan Notoharjo ini sudah memenuhi rukunnya, ada penjual dan pembeli, ada barang yang dijualbelikan, dan juga ada aqad, atau tawar-menawar yang dilakukan pihak penjual dan pembeli.

Sedangkan syarat jual beli menurut hukum Islam yaitu :

1. Terkait dengan orang yang melakukan akad (Āqid) yaitu : Baligh, berakal, kehendak sendiri. Dalam hal ini orang yang membeli barang bekas di Pasar Klithikan Notoharjo ini adalah semua orang yang dewasa (baligh) dan mempunyai kehendak sendiri untuk membeli barang bekas. Dalam hal ini sudah jelas terjadi, karena kenyataan dilapangan, masyarakat datang di Pasar Klithikan ini merupakan para pembeli yang lansung datang ke pasar.

6

Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hlm. 76

7

2. Terkait dengan Ṣigāt : dalam hal ini sudah memenuhi adanya ijab dan qabulnya. Mereka melakukan tawar-menawar dalam transaksi jual beli tersebut.

3. Terkait dengan Ma’qud alaihi yaitu syaratnya

a. Suci, barang-barang tersebut suci karena barang-barang yang dijual disana kebanyakan barang-barang elektronik dan beberapa kebutuhan lainnya.

b. Barang tersebut berguna dan bermanfaat bagi manusia, yaitu dalam hal ini barang yang diperjual belikan berguna jika pembeli tidak menemukan cacat pada barang tersebut. Tetapi jika pembeli menemuan cacat tentu barang itu tidak dipakai dan tidak berguna. c. Barang yang diperjual belikan berada di tempat, sesuai kenyataan

dilapangan bahwa barang yang dijual dipajang dan dilapak oleh penjual.

d. Barang yang dimiliki, barang yang boleh diperjualbelikan adalah barang milik sendiri. Bahwa orang yang melakukan jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Kebanyakan barang yang dijual di Pasar ini adalah barang milik penjual sendiri, dan ia biasa mengambil dari tukang pengepul. Namun sebagian ada juga barang titipan dari orang lain yang menitip untuk di jualkan.

e. Syarat terakhir yaitu mengetahui atau barang yang dijual ini diketahui oleh pihak penjual maupun pembeli.

Dalam hal ini obyek barang yang dijual di Pasar Klithikan belum memenuhi syarat jual beli yang terkait dengan obyek barangnya, terutama untuk barang bekas. Kebanyakan barang bekas yang dijual oleh pedagang, kebanyakan mereka kurang mengetahui kondisi barang yang mereka jual. Jadi transaksi jual beli disini termasuk dalam transaksi gharar.

ُللها َيِضَر َةَرْ يَرُى ِْبَِا ْنَع َو

ِعْيَ ب ْنَع َو ِةاَصَْلْا ِعْيَ ب ْنَع َمَّلَس َو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ُلْوُسَر ىَهَ ن َلاَق ُوْنَع

ْملْسُم ُهاَوَر .ِرَرَغْلا

Artinya: Dari Hurairah RA ia berkata :”Rasulullah SAW telah melarang jual beli melempar kerikil dan jual beli Gharar (HR. Muslim)8

Transaksi Gharar yaitu, jual beli yang yang samar sehingga ada kemungkinan penipuan, seperti penjualan ikan yang masih di kolam yang atasnya kelihatan bagus tetapi di bawahnya jelek.9

Gharar bermakna sesuatu yang wujudnya belum bisa dipastikan,

diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitas dan kuantitasnya atau sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan.10

8

Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemahan Bulughul Maram, terj. Mahrus Ali, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 334-335.

9

Masjupri, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, hlm.113

10

Gharar secara sederhana dapat diakatakan sebagai suatu keadaan di mana salah satu pihak mempunyai informasi memdai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah semua jual beli yang mengandung tidak jelasan atau keraguan tentang adanya komoditas yang menjadi objek akad, tidak jelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi.11

Hasil penelitian ini menunjukkan , beberapa hal terkait dengan barang yang dijual pembeli yaitu :

1. Barang bekas tersebut ada dan milik penjual sendiri namun, penjual tidak mengetahui kondisi barang tersebut. Apakah masih bisa diberfungsi atau tidak

2. Barang bekas tersebut ada dan milik penjual sendiri, penjual juga sebenarnya tahu kondisi dari barang tersebut, namun tidak mau menjelaskan secara lengkap kepada pembeli.

3. Barang bekas tersebut ada, namun terkadang hanya titipan dari orang lain, jadi penjual tidak mengetahui seluruhnya tentang kondisi barang tersebut, hanya menjelaskan beberapa dari yang disampaikan temannya tadi.

Berdasarkan pernyataan di atas, syarat jual beli di Pasar Klithikan Notoharjo tidak memenuhi salah satu syarat tentang jual beli, terutama barang bekas yang dijual oleh pedagang oprokan. Karena kedua pihak

11

M. Nur Rianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Solo: PT Era Adicitra Intermedia 2011), hlm.105

yaitu penjual dan pembeli tidak mengetahui kualitas dan sifat dari barang bekas.

Seperti yang sudah dipaparkan pada Bab 2, Rukun jual beli terkait dengan obyek barang adalah barang yang dijual ini diketahui oleh pihak penjual maupun pembeli. Barang yang diperjuabelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukurannya, mengetahui dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Maka tidaklah sah suatu jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak12.

Sabda Rasulullah SAW:

َصَْلْا ِعْيَ ب ْنَع َمَّلَس َو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ُلْوُسَر ىَهَ ن َلاَق ُوْنَع ُللها َيِضَر َةَرْ يَرُى ِْبَِا ْنَع َو

ِعْيَ ب ْنَع َو ِةا

ْملْسُم ُهاَوَر .ِرَرَغْلا

Artinya: Dari Hurairah RA ia berkata :”Rasulullah SAW telah melarang jual beli melempar kerikil dan jual beli Gharar13 (HR. Muslim)14

Dalam melakukan jual beli hal yang terpenting diperhatikan adalah mencari barang yang halal dan dengan jalan yang halal pula. Artinya carilah barang yang halal untuk diperjualbelikan dengan cara yang sejujurnya. Bersih dari segala sifat yang dapat merusakkan jual beli,

12

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 72.

13

Gharar adalah tidak pastian. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah adalah terdapat sesuatu yang ingin di sembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh menimbulkan rasa tidak adil serta penganiyaan kepada pihak yang lain.

14 Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemahan Bulughul Maram, terj. Mahrus Ali, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 334-335.

seperti penipuan, pencuriam, perampasan, riba, dsb, Jika barang yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan barang tersebut, artinya tidak mengindahkan peraturan jual beli, perbuatan dan barang hasil jual beli yang dilakukannya haram hukumnya, haram dipakai dan haram dimakan sebab tergolong perbuatan bathil (tidak sah). Yang termasuk perbuatan bathil adalah penipuan, perampasan, makan riba, penghianatan, perjudian, suapan, berdusta, pencurian15.

Kaidah fikhiyyah yang berkaitan dengan jual beli/transaksi yaitu;

ا

َّلَِّإ ُةَحاَبِلإا ِةَلَماَعُلما ِفِ ُلْصَلأ

اَهِْيِْرَْتَ ىَلَع ٌلْيِلَد َّلُدَي ْنَأ

Artinya: Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.16

Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama, perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas di haramkan seperti mengakibatkan kemudharatan, gharar, judi, dan riba.

ِدُقاَعَّ تلاِب ُهاَمَزَ تلِإ اَم ُوُتَجْيِتَن َو ِنْيَدِقاَعَ تُلما ىَضِر ِدْقَعلا ِفِ ُلْصَلأا

Artinya: Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang di akadkan.17

15

Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi‟i Buku 2..., hlm 32.

16

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group 2006), hlm. 130.

17

Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila di dasarkan pada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.18

Terutama bagi golongan pembeli jenis pertama, yaitu orang-orang yang memang paham dan mengerti tentang seluk beluk yang terjadi di Pasar tersebut. Beberapa faktor yang mendasari yaitu mereka yang sering datang dan mempunyai banyak pengalaman ketika membeli di Pasar ini. Orang- orang seperti ini mereka lebih berhati-hati dan selalu mengecek dengan teliti terhadap barang yang akan dibelinya. Sehingga mereka dapat mendapatkan kebutuhan barang bekas yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memperoleh harga yang murah. Karena mereka juga mengerti harga pasaran. Jadi pembeli jenis golongan pertama ini tidak berpotensi mendapatkan barang yang tidak sesuai, karena pembeli pertama ini mereka lebih berhati-hati dan selalu mengecek dengan teliti terhadap barang yang akan di beli nya.

Faktor selanjutnya yaitu kemungkinan sebelum pembeli tersebut datang ke Pasar Klithikan Notoharjo Solo ini mereka

18

bertanya-tanya dahulu kepada orang yang sudah pengalaman belanja di pasar tersebut. Orang-orang seperti ini termasuk kedalam golongan orang yang beruntung ketika berbelanja di Pasar Klithikan Notoharjo ini. Pembeli jenis pertama ini merupakan pembeli yang sebelumnya sudah mengerti seluk beluk tentang belanja di Pasar Klithikan Notoharjo Solo.

Golongan pembeli jenis kedua adalah golongan orang-orang yang merasa kurang beruntung atau merasa kecewa setelah mereka membeli barang kebutuhan di pasar klithikan. Kebanyakan pembeli golongan kedua ini adalah jenis pembeli yang yang baru mengenal Pasar Klithikan Notoharjo. Kenyataan beberapa dari mereka tertipu oleh tampilan luar dari barang- barang yang dijual di pasar tersebut. Selain itu meeka yang tidak pintar tawar menawar sering merasa kecewa karena mereka akan mengetahui kualitas yang sesungguhnya dari barang tersebut setelah mereka membelinya. Terlebih penjual tidak mau bertanggungjawab atas kecacatan barang yang telah dibeli konsumen.

Dalam transaksi jual beli di Pasar Klithikan Notoharjo ini dikenal dengan sebutan “beja-beji” atau untung-untungan. Jadi pembeli merasa untung dan rugi ketika membeli barang bekas disana. Istilah tersebut menjadikan banyak orang melakukan spekulasi dalam belanja di pasar tersebut. Bagi pembeli yang kurang paham dan tahu tentang kondisi barang elektronik maupun non elektronik bekas yang

akan dibelinya ia akan merasa kecewa setelah tahu barang bekas yang ia beli ternyata ditemukan kecacatan.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas transaksi tersebut termasuk gharar, karena obyek akadnya tidak pasti, sehingga tujuan pelaku akad untuk melakukan transaksi tidak tercapai. Padahal pembeli bertransaksi untuk mendapatkan barang yang tanpa cacat dan sesuai keinginan, begitu pula penjual bertransaksi untuk mendapatkan keuntungan.

Oleh karena itu kondisi ini merugikan salah satu atau seluruh pelaku aqad dan sangat mungkin menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Sesungguhnya setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada yang merasa dicurangi (ditipu). Dalam keadaan di atas, keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya, masih tidak jelas bagi kedua pihak. Dikemudian hari yaitu ketika keadaannya telah jelas salah satu pihak (penjual atau pembeli) akan merasa terdzalimi walaupun pada awalnya tidak demikian. Inilah tujuan dilarangnya gharar, agar tidak ada pihak-pihak akad dirugikan, karena tidak mendapatkan haknya, dan agar tidak terjadi perselisihan dan permusuhan diantara mereka19.

19 Adiwarman A Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-Kaidah Ekonomi

Transaksi gharar juga termasuk dalam jual beli yang dilarang. Bentuk-Bentuk Jual Beli yang Dilarang.20 Jual beli yang dilarang terbagi dua: Pertama, jual beli gharar adalah jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Contohnya gharar dalam kualitas, seperti penjual yang menjual anak sapi yang masih di dalam kandungan, gharar dalam kuantitas, seperti dalam kasus ijon.21 Kedua: jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.

Jadi transaksi jual beli pakaian bekas sistem borongan di Paar Klithikan Notoharjo Solo ini tidak sah menurut Fikih Muamalah karena tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli dalam Fikih Muamalah dan jual beli tersebut termasuk dalam jual beli (gharar) yaitu jual beli yang dilarang dalam Fikih Muamalah.

20 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hlm. 80

21 Adiwarman A. Karim, Riba,Gharar,Dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 78

73 A. KESIMPULAN

1. Praktek jual beli pakaian bekas borongan di Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta penjual menawarkan produk pakaian-pakiaan bekas kepada pedagang di Pasar Klithikan Notoharjo. Pedagang Pasar klithikan Notoharjo tinggal memilih borongan yang berisi pakaian, jaket, atau celana. lalu pedagang memesan sebanyak berapa jumlah “Bal” (Karung Borongan) yang harganya berbeda-beda tergantung isi dan merek pakaian yang di pesan. Tetapi pedagang Pasar Klithikan Notoharjo tidak mengetahui berapa banyak jumlah pakaian yang ada di dalam “bal” tersebut dan tidak mengetahui kualitas dari pakaian yang ada di dalam “Bal” tersebut. Jadi jika barang tersebut sudah datang ke pedagang barulah pedagang mengetahui kualitas-kualitas dan banyak nya pakaian tersebut. Jika pedagang sudah melihat kondisi isi “Bal” tersebut pedagang lalu memilih/menyortir pakaian tersebut untuk menentukan harga jual pakaian tersebut kepada pembeli.

2. Jual beli pakaian bekas di Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta ditinjau dari rukun dan syarat jual beli dalam fikih muamalah tidak sah karena salah satu syarat jual beli dalam fikih muamalah tidak terpenuhi. Salah satu syarat yang tidak terpenuhi adalah barang yang di jual tidak jelas

bentuk dan kualitasnya, ada beberapa pembeli yang tidak mengetahui kondisi dari barang bekas yang mereka beli. Sedangkan dalam hal jual beli menurut fikih muamalah dianggap sah, karena telah memenuhi syarat jual beli.

B. SARAN

1. Saran bagi pedagang di Pasar Klithikan Notoharjo Surakarta kepada pemborong lebih baik meninggalkan jual beli borongan. Karena jual beli borongan dilarang karena ada salah satu faktor yang tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli karena adanya ketidakjelasan (Gharar)

2. Saran bagi pembeli, saran saya lebih berhati-hati dalam membeli atau pun memilih pakaian bekas borongan. Karena pedagang tidak bertanggung jawab atas pakaian yang kita beli cacat atau tidak.

Ahmad Azhar Bakar, Azas-azas Hukum Muamalah, (Yogyakarta: Fakultas UII,1993)

Al Hafidh , Ibnu Hajar Al Asqalani, 1995, Terjemahan Bulughul

Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005. Bayunta Surbakti, “Jual Beli Pakaian Bekas Impor Dalam

Prespektif Hukum Islam”, skripsi (Surakarta, IAIN Surakarta, 2016).

Djuaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Haroen, Nasrun, 2007, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Heri Sudarsono, 2007, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia

Krestanto, Harga Ball. http://

supplierbalimport.blogspot.co.id/p/daftar-bal.html?m=1 diakses 5 Juli 2017.

M.Yazid Afandi, 2009, Fiqh Muamalah: Implementasi dalam

lembaga keuangan Syariah,Yogyakarta: Loguna Pustaka

Mardani, 2011, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung:

PT Refika Aditama

Mardhani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah,(Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Masjupri, 2013, Fiqh Muamallah 1, cet 1, Surakarta: FSEI Publising

Nuurin Najaa, “Transaksi Jual Beli Barang Bekas Dalam Tinjauan

Sadd Az-Zari’ah Di Pasar Klithikan Notoharjo (Surakarta)”, skripsi

(Surakarta, IAIN Surakarta, 2018).

Rachmat Syafei, 2004, Penimbunan dan Monopoli Dagang dalam

kajian Fiqh Islam, Jakarta: Depatremen Agama-Mimbar Hukum

S. Margono, 2004, Metode Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta Sahwardi Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika

Sanapia Faisal, 2005, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Raja Grafindo

Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Sudikno Mertokusumo, 2012, Penemuan Hukum, Yogyakarta: UAJY

Sugiarti, “Sistem Jual Beli Buah Secara Borongan Dalam

Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Pasar Pa’baeng Makassar)”,

skripsi (Makassar, UIN ALAUDIN MAKASSAR, 2017).

Syamsul Anwar, 2007 Hukum Perikatan Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Teungku Muhammad Hasbih, 1997, Pengantar Fiqh Mua’amalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Wahbah az-Zuhaili, 2010, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid, V Jakarta: Gema Insani,

LAMPIRAN 1