Jelaskan keterkaitan antara berdirinya kerajaan Mataram Islam dengan kerajaan Pajang

Hubungan Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram

Pendiri kesultanan ini adalah Raden Patah (memerintah tahun 1500-1518), putra Kerthabhumi (Brawijaya V) dari perkwinannya dengan putri Champa (Tiongkok). Menurut Bababd Tanah Jawi, perkawinan antara Kertabhui dan putri Champa ditentang kalangan istana. Karena itu, Kertabhumi dengan berta hati “menghibahkan” putri Champa yang tengah mengandung kepada Arya Damar, adipati Palembang (bagian dari Majapahit). Sang putri melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Patah. Sebelum menjadi kesultanan, Demak merupakan kadipaten dari Kerajaan Majapahit, dengan Raden Patah sebagai adipatinya. Keadaan Kerajaan Majapahit yang mulai melemah karena perebutan kekuasaan kemudian dimanfaatkan oleh Raden Fatah. Kemungkinan besar Raden Fatah menyerang Majapahit pada pemerintahan Ranawijaya (Brawijaya VI), menantu Kertabhumi sekaligus ipar Raden Fatah sendiri, meski sumber lain menyebutkan pada masa Brawijaya VII. Setelah hancur, Kerajaan Majapahit menjadi bawahan Kerajaan Demak. Demak lalu berdiri sebagai kesultanan pertama di Pulau Jawa dengan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya. Pada masa pemerintahan Raden Fatah hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang ada di Pulau Jawa, yakni: a) Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat] b) Kerajaan Blambangan di Pasuruan Sang sultan, Raden Fatah memiliki tiga orang anak yakni: a) Pangeran Muhammad Yunus (1518 M – 1521 M) b) Pangeran Sekar Seda Lepen c) Pangeran Trenggono (1521 M – 1546 M) Pangeran Muhammad Yunus, putra pertama Raden Fatah kemudian di angkat menjadi Patih Demak (Patih Unus / Pangeran Sabrang Lor). Patih Unus dikenal sebagai seorang patih yang sangat berani. Ketika Malaka diasai bangsa Portugis, ia mengurus Pati Unus menyerang Malaka. Selain sebagai wujud solidaritas terhadap sesama kesultanan Islam, serangan itu juga dilakukan untuk membendung invasi bangsa Portugis atas Jawa. Karena keberaniannya itu, Pati Unus dijuluki Pangeran Sabrang Lor., karena pernah menyebrangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan bangsa Portugis. Tahun 1518 Masehi, Raden Fatah wafat, dan digantikan oleh putranya Patih Unus / Pangeran Muhammad Yunus. Beliau memimpin Kesultanan Demak selama tiga tahun, yaitu dari tahun 1518-1521 Masehi. Karena tidak memiliki putra, setelah Patih Unus wafat, tahtanya pun digantikan oleh Sultan Trenggono, putra Raden Fatah. Pada masa ini, kedua adik Patih Unus, Pangeran Seda Lepen dan Pangeran Trenggono sama-sama ingin menjadi Sultan. Akan tetapi, Pangeran Seda Lepen dibunuh oleh anak sulung Pangeran Trenggono. Akhirnya pangeran Trenggono pun naik tahta menjadi sultan Demak dengan gelar Sultan Trenggana. Sultan Trenggono berkuasa dari tahun 1521 sampai dengan 1546 Masehi dengan panglima perangnya Fatahillah. Di bawah pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah barat yaitu sampai daerah Banten dan ke timur sampai ke kota Malang. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai hari jadi kota Jakarta. Selain itu, tepatnya pada tahun 1526 Masehi, panglima perang, Fatahillah, diperintahkan untuk merebut Banten dari Kerajaan Pajajaran. Akan tetapi, sebelum penyerangan, Fatahillah beserta 2000 pasukan pergi ke Cirebon untuk mendengarkan nasehat dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Baru pada tahun 1546 Masehi, Pasukan Demak dengan Bantuan Cirebon dan Banten menyerang Pasuruan, Panarukan dan Supit Urang yang merupakan daerah-daerah penting Kerajaan Hindu-Blambangan. Pasukan Demak mengirimkan 7000 prajurit pilihan yang dipimpin langsung oleh Fatahillah (usianya 70 tahun hingga wafat) ke tiga daerah: 1. Pasuruan 2. Panarukan 3. Supit dan Urang, ketiga daerah ini dapat dikuasai. Akan tetapi dalam penyerangan ini, Sultan Trenggono gugur. Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana berkuasa sebagai sultan Kesultanan Demak selama 42 tahun Sepeninggal Sultan Trenggono, tahta Kesultanan Demak digantikan oleh putra Sultan Trenggono, yakni Sunan Prawoto atau Pangeran Mu’min. Sunan Prawoto berkuasa mulai tahun 1546 sampai 1547 Masehi. Akan tetapi, baru 1 (satu) tahun menampuk kepemimpinan, Sunan Prawoto dibunuh oleh sepupunya sendiri, yakni Arya Penangsang (putra dari Pangeran Seda Lepen) dengan motif dendam. Arya Penangsang membalas dendam karena dahulu ayahnya dibunuh juga oleh putra dari Sultan Trenggono. Putra Sunan Prawoto yang bernama Pangeran Arya Pangiri juga akan dibunuh oleh Arya Penangsang. Namun, Pangeran Arya Pangiri dapat meloloskan diri dan berlindung kepada Pangeran Hadiri (adipati Kalinyamat), yang pada akhirnya Pangeran Hadiri juga dibunuh oleh suruhan Arya Penangsang. Perang saudara yang bermula dari perebutan kekuasaan di Demak ini berlangsung kira-kira 21 tahun lamanya, yakni pada tahun 1547 Masehi sampai dengan 1568 Masehi. Perang saudara tersebut baru dapat berakhir setelah terjadinya peperangan sengit antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir, menantu dari Sultan Trenggono, yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi. Pertempuran itu sendiri dimenangkan oleh Joko Tingkir. Dari usaha itulah, seluruh kadipaten menyetujui untuk menjadikan Jaka Tingkir sebagai penerus tahta Kesultanan Demak. Sejak saat itu, Kerajaan Demak dipindah ke daerah Pajang dan jadilah Kerajaan Pajang dengan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya sebagai sultan pertamanya. Atas jasa-jasa Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi yang telah membantu Sultan Hadiwijaya, keduanya diberi hadiah berupa tanah diwilayah Mataram untuk Ki Ageng Pemanahan dan tanah didaerah Pati untuk Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Penjawi pun diangkat menjadi adipati diwilayah tersebut. Kepimpinan Sultan Hadiwijaya berlangsung dengan baik. Hubungan dengan kerajaan bawahan juga baik. Kesenian dan sastra mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya sajak monolistik yang berjudul “Niti Sruti” kaangan Pangeran Karang Gayam. Pengaruh budaya Islampun semakin menyebar hingga ke pelosok daerah. Selain kemajuan kesusastraan, pada masa pemerintahan Hadiwijaya juga berhasil mengepakkan sayap kekuasaannya ke daerah timur tepatnya Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan sebagai Sultan Islam bagi kerajaan-kerajaan penting di Jawa Timur. Di lain pihak, Ki Ageng Pamanahan, perintis Kesultanan Mataram yang tidak sampai menjadika Kesultanan Mataram sebagai kesultanan besar meninggal pada tahun 1575 Masehi. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan pada 1575, pemerintahan di Mataram diteruskan ke putranya yang bernama Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar. Dalam kepemimpinan Sultan Sutawijaya, Mataram berkembang dengan pesat. Hal ini yang kemudian membuat Sutawijaya enggan untuk menghadap ke Pajang. Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram. Sutawijaya membalaskan dendam adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Mataram meskipun jumlah pasukan Kesultanan Pajang lebih besar. Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sepeninggal Sultan Hadiwijya, terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri dari Kadipaten Demak sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri yang didukung Panembahan Kudus akhirnya berhasil naik takhta menggantikan Hadiwijaya pada tahun 1583. Arya Pangiri bergelar Pangeran Ngawantipura. Selama kepemimpinannya, Arya Pangiri dikisahkan sebagai seorang sultan yang hanya peduli pada usaha untuk balas dendam dan menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Kehidupan masyarakat Pajang benar-benar terabaikan. Arya Pangiri juga melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram. Selain itu, Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian masyarakat Pajang pindah ke Jipang untuk mengabdi pada Pangeran Benawa. Dari situlah banyak warga yang tidak suka terhadap Arya Pangiri Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya meyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya, yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Beliau diganti oleh putranya yaitu Mas Jolang. Mas Jolang menerima kerajaan Mataram pada tahun 1613. Mataram terus melakukan perluasan wilayah. Daerah yang berhasil ditaklukkan antara lain, Ponorogo, Kertosono, Kediri, dan Wirosobo (Mojoagung). Sebelum perluasan wilayah berhasil, Mas Jolang gugur. Beliau gugur di wilayah Krapyak. Ia dikenal dengan sebutan Panembahan Seda ing Krapyak. Selanjutnya Mataram dipimpin oleh Mas Rangsang sebagai raja Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alaga Ngabdurrahman Kalifullah. Dikenal dengan sebutan Sultan Agung Anyakra Kusumo. Beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645.

Pada Mas Rangsang atau Sultan Agung adalah Raja Mataram (Islam) (kesultanan Mataram) yang ketiga. Beliau memerintah dari dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Gelarnya Sultan Agung Hanyokrokusumo tapi lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Beliau merupakan cucu dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam. Di masa pemerintahannya, Kesultanan Mataram mengalami masa kejayaan di berbagai bidang, salah satunya di bidang ekonomi. Mataram berhasil tumbuh sebagai sebuah kerajaan yang mengandalkan sektro pertanian, terutama padi. Di bidang kebudayaan, Sultan Agung berhasil membuat kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dengan kalender Hijriyah.

Sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1645, Mataram mengalami kemunduran. Kemunduran disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perebutan kekuasaan dalam keluarga kerajaan dan adanya campur tangan dari pihak Belanda dalam sistem pemerintahan Mataram. Hingga akhirnya Mataram dipecah menjadi dua melaui Perjanjian Giyanti, yaitu Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Kasunanan Surakarta. Tak puas dengan itu, Mataram kemudian terpecah lagi menjadi empat melalui Perjanjian Salatiga.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA