Jelaskan apa isi 3 gagasan Van de Venter itu?

Sekalipun saat ini kita masih belum bisa bebas beraktivitas seperti biasa karena pandemik virus korona, kalian tetap harus semangat belajar, ya, Temen-Temen. Apalagi pendidikan yang dapat kita nikmati saat ini diraih para pahlawan kita dengan proses perjuangan yang panjang. Memangnya bagaimana, sih, mulanya bangsa kita bisa menikmati pendidikan seperti sekarang ini? Biar kalian semua paham, kita kembali ke masa lalu, yuk, Temen-Temen.

Tanam Paksa

Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, menganti sistem pajak tanah dan pajak sewa tanah buatan Raffles dengan kebijakan yang ia rancang sendiri. Kebijakan tersebut bernama Cultuurstelsel (Sistem Kultivasi). Kebijakan ini diterapkan untuk mengeksploitasi Jawa sebesar-besarnya demi menyelamatkan Kerajaan Belanda dari kebangkrutan. Selama 10 tahun (1830-1870) para petani dipaksa bekerja di perkebunan pemerintah Hindia Belanda tanpa kenal waktu, sehingga mereka tidak dapat mengurus sawah milik mereka sendiri. Padahal hidup mereka bertumpu pada hasil panen padi karena padi tersebut mereka konsumsi sendiri. Alhasil wabah kelaparan terjadi di Hindia Belanda karena stok beras yang ada saat itu sangat sedikit. Para petani pun banyak yang meninggal karena kelaparan dan kelelahan bekerja.

Wabah kelaparan yang terjadi di Hindia Belanda inilah yang kemudian menimbulkan kritik pada Sistem Tanam Paksa Johannes. Kaum liberal atau kaum swasta mulai mengajukan protes ke parlemen di Belanda. Selain mereka protes karena mereka tidak bisa menikmati keuntungan tanam paksa karena Tanam Paksa diatur sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda, mereka juga mengkritik Tanam Paksa terlalu kejam dan sangat menyiksa masyarakat Hindia Belanda.

Makanya saat kaum liberal menang di parlemen Belanda pada tahun 1870, mereka menghapus dan mengganti Sistem Tanam Paksa dengan kebijakan Politik Pintu Terbuka, yang diatur dalam Undang-Undang Agraria. Undang-Undang Agraria ini memberi peluang pada pemodal asing (seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina) untuk menyewa tanah dari penduduk Hindia Belanda. Mereka berpendapat dengan berkembangnya modal, maka semakin banyak industri yang dapat dibangun, seperti industri perkebunan, usaha pengangkutan, pertambangan, dan perkapalan.

Dengan berkembangnya industri yang dibangun, otomatis permintaan tenaga kerja yang berpendidikan semakin tinggi. Makanya untuk mengatasi hal ini, kaum liberal merasa pendidikan perlu dihadirkan di Indonesia. Alasan utamanya adalah dengan adanya tenaga berpendidikan dari masyarakat Hindia Belanda, maka harganya akan lebih murah dibandingkan mendatangkannya dari Belanda.

Lahirnya Politik Etis

Seiring dengan kritik-kritik di parlemen Belanda, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum Belanda, melancarkan kritik terhadap sistem Tanam Paksa Johannes melalui artikelnya yang berjudul “Een Eereschuld” (Hutang Kehormatan) di majalah De Gids (Panduan). Dalam artikel tersebut, Deventer menilai bahwa politik penghisapan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda membuat masyarakat Hindia Belanda sengsara. Pemerintah Belanda dituding tidak peduli pada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Hindia Belanda dan hanya memikirkan keuntungan sendiri saja. Van Deventer berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah Belanda membalas budi pada masyarakat jajahannya sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Kritik Deventer tersebut akhirnya ditanggapi oleh pemerintah Belanda. Pada tanggal 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta jadi Ratu Belanda, membuka sidang Parlemen Belanda dengan pidato mengenai panggilan moral dan hutang budi pemerintah Belanda terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ia menuangkan kebijakan baru tersebut dalam sistem politik baru yang dinamakan Politik Etis (Etische Politiek) atau Politik Balas Budi. Politik Etis ini terangkum dalam program Trias van Deventer. Sesuai namanya, program Trias van Deventer ini terbagi menjadi tiga, yaitu Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi. Kebijakan Politik Etis dan program Trias van Deventer ini kemudian diterapkan di Hindia Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander W.F. Idenburg dari tahun 1909 hingga tahun 1916. Nah, berikut isi Trias van Deventer ini, Temen-Temen:

  1. Irigasi atau pengairan. Pemerintah Hindia Belanda akan membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
  2. Imigrasi. Melalui imigrasi, pemerintah Hindia Belanda akan mengajak penduduk Hindia Belanda untuk bertransmigrasi untuk mengurangi kepadatan di pulau Jawa.
  3. Edukasi. Pemerintah Hindia Belanda akan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan bagi bumiputera di Hindia Belanda.

Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi penyimpangan juga, Temen-Temen. Irigasi malah lebih banyak mengalirkan air ke perkebunan-perkebunan swasta asing dan tanah-tanah pertanian milik pengusaha swasta. Sementara Imigrasi malah dilakukan untuk memenuhi permintaan tenaga kerja di daerah perkebunan di Sumatera Utara, terutama di Suriname, Deli, dan lain-lain. Para migran malah dijadikan kuli kontrak dengan ancaman yang tertuang dalam Poenale Sanctie. Poenale Sanctie ini mengatur agar para kuli kontrak tidak melarikan diri, Temen-Temen. Jadi mereka yang melarikan diri, bakalan ditangkap polisi dan dikembalikan pada mandor atau pengawasnya. Dalam bidang edukasi, penyimpangan ini terjadi karena pendidikan utamanya ditujukan agar pemerintah Hindia Belanda mendapatkan tenaga administrasi yang bagus dan murah. Pendidikan juga hanya berlaku bagi mereka yang mampu membayar dan anak-anak pegawai negeri. Hal ni mendorong terjadinya diskriminasi pendidikan berupa pengajaran di sekolah kelas I hanya untuk anak orang-orang berharta dan anak-anak pegawai negeri, sementara sekolah kelas II hanya untuk anak-anak pribumi dan umum.

Dampak Politik Etis

Dari ketiga program Politik Etis, edukasi merupakan bidang yang memiliki dampak signifikan di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu menerapkan model pendidikan gaya Barat di beberapa sekolah yang didirikannya. Di tingkat Sekolah Dasar ada Hollandsch Inlandsche School (HIS), di tingkat Sekolah Menengah Pertama ada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan setelah lulus MULO, para peserta didik dapat melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) yang setara dengan Sekolah Menengah Atas.

Selain itu, Politik Etis juga mendorong didirikannya sebuah sekolah kedokteran di Hindia Belanda yang bernama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada tahun 1902. Dari sekolah tersebut lahirlah golongan perintis awal kaum pergerakan kebangsaan Indonesia, seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Wahidin Soedirohoesodo, dan Soetomo yang menjadi pendiri Boedi Oetomo. Selain sekolah kedokteran, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Sekolah Pamong Praja yaitu Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan sekolah-sekolah kejuruan lainnya.

Golongan Elit Baru

Melalui sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan gaya Barat di atas, lahirlah golongan baru di masyarakat Hindia Belanda yang disebut golongan elit baru, Temen-Temen. Golongan elit baru ini disebut juga sebagai golongan priyayi. Golongan Priyayi ini banyak yang berprofesi sebagai dokter, guru, jurnalis, dan aparatur pemerintahan.

Golongan priyayi ini memiliki pemikiran yang maju dan semakin sadar mengenai segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, mereka juga berhasil mengubah corak perjuangan masyarakat Hindia Belanda dalam melawan penindasan pemerintah kolonial Belanda. Bila sebelumnya perjuangan kemerdekaan bersifat kedaerahan, melalui pemikiran-pemikiran para priyayi ini, muncullah perjuangan kemerdekaan yang bersifat nasional. Inilah yang menjadi mula pergerakan nasional di Hindia Belanda. Para priyayi mengubah strategi perlawanan fisik menjadi perlawanan berwadah organisasi. Beberapa organisasi yang muncul saat itu adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan Perhimpunan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui parlemen, pers, dan pendidikan.

Nah, sekarang kalian udah tau, kan, kalau pendidikan di Indonesia itu melalui proses perjuangan yang sangat panjang dan berat? Makanya, kalian harus tetep semangat belajar, ya. Biar belajar kalian makin seru dan mengasyikkan, kalian belajar bareng Pahamify aja. Pahamify lagi ngebuka akses gratis untuk semua pengguna aplikasinya, nih. Jadi, kalian bisa mengakses beragam konten belajar di aplikasi Pahamify, seperti video animasi, flash card, ribuan latihan soal, dan rangkuman materi pelajaran SMA dari kelas X sampai XII. Akses gratisnya dibuka dari 30 Maret 2020 sampai 30 April 2020, Temen-Temen.

Tunggu apalagi? Buruan kamu unduh aplikasi Pahamify dan manfaatkan akses gratisnya buat #BelajarSeruDirumah!

Penulis: Salman Hakim Darwadi

Apa Itu pengertian politik etis? Politik etis adalah kebijakan yang pernah diterapkan di Indonesia. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai balas budinya bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia. Hal itu karena diterapkannya sistem tanam paksa.

Namun, apa itu pengertian politik etis? Artikel ini akan membahas mengenai pengertian politik etis, latar belakang politik etis, program politik etis dan siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat di dalam politik etis.

Pengertian Politik Etis

Illustration of a Public buildings on the Esplanade in Bombay

Pengertian politik etis adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Politik etis ini disebut juga sebagai politik balas budi. Politik etis atau politik balas budi adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kebijakan politik etis ini diterapkan pada tahun 1901. Kebijakan ini adalah gagasan dari Van Deventer. Pemerintah Belanda memiliki keharusan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat.

Caranya adalah dengan melalui 3 program yang diusung. Ketiga program tersebut adalah irigasi, edukasi dan emigrasi. Dengan demikian, politik etis adalah salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Indonesia. Politik etis ini menekankan pada kewajiban moral mensejahterakan masyarakat Hindia Belanda, atau Indonesia.

Buku ini memberikan banyak sekali informasi berharga seputar Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun-tahun sekitar 1930 dan tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari keadaan flora-fauna, populasi, pendidikan, kesehatan, pelayanan transportasi publik, pemerintah, perundangan agraria, hukum, bank, pertanian dan holtikultura, pengolahan hutan, tambang, hukum perdagangan, pelayaran, jalan, turisme, hingga sejarah. Plus, bagaimana Hindia Belanda dikelola dan diatur dalam sebuah sistem pemerintahan, administrasi, hukum, dan layanan publik yang begitu modern.

Antique photograph of the British Empire: Annexation of the territory of the king of Ado

Di dalam sejarah bangsa Indonesia, tercatat bahwa Indonesia sudah dijajah oleh pemerintah Belanda. Lama jajahannya adalah sekitar 350 tahun. Selama masa-masa penjajahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sebuah sistem

Sistem tersebut bernama sistem tanam paksa. Di dalam sistem tanam paksa, masyarakat Indonesia mengalami kesengsaraan. Selain itu, masyarakat Indonesia juga mengalami berbagai kerugian.

Bahkan kerugiannya terbilang cukup besar. Kerugian itu meliputi materiil maupun tenaga. Rakyat Indonesia merasakan penderitaan yang luar biasa.

Hal itu terjadi karena adanya berbagai penindasan. Serta penekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial kepada rakyat Indonesia. Tanam paksa ini memiliki nama lain yaitu sistem kultivasi atau cultuurstelsel.

Pada saat diberlakukannya sistem tanam paksa ini, masyarakat diatur untuk menyisihkan sebagian hartanya. Sistem tanam paksa membuat suatu aturan yang mewajibkan setiap desanya menyisihkan sekitar 20% sebagian tanahnya. Hal tersebut digunakan untuk menanami komoditas ekspor.

Komoditas tersebut seperti tebu, kopi, teh dan tarum. Hasil panen dari tanaman-tanaman tersebut nantinya akan dijual. Harga penjualan hasil panennya juga sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Sementara itu, bagi masyarakat yang tidak mempunyai lahan perkebunan atau lahan pertanian dialihkan. Mereka diwajibkan untuk bekerja pada perkebunan milik pemerintah. Waktu pelaksanaan kerjanya selama 75 hari dalam setahun.

Aturan tersebut ditetapkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Den Bosch. Terjadi pada tahun 1830. Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel ini sebenarnya mendapat banyak protes dari warga. Selain itu, sistem tanam paksa ini juga mendapat berbagai kecaman dari warga Belanda.

Hal itu terjadi karena mereka menganggap bahwa sistem tanam paksa ini adalah kebijakan yang tidak berkemanusiaan. Kemudian pada tahun 1890, tokoh politik bernama C. Th. Van Deventer mengemukakan politik etis. Politik etis digunakan untuk menyelamatkan hak-hak rakyat Indonesia. Selain itu, politik etis juga dijadikan sebagai desakan golongan liberal kepada parlemen kolonial Belanda.

BACA JUGA: Tujuan Pembentukan VOC: Sejarah, Dampak, Alasan Pembubaran, dan Tokoh Dibalik VOC

Th. Van Deventer adalah seorang ahli hukum dari Belanda. Ia mengisahkan bagaimana perjuangan dari rakyat Indonesia yang hasilnya justru dinikmati oleh rakyat Belanda. Kisah tersebut dituliskan di dalam majalah De Gids dengan judul Eeu Ereschuld atau Hutang Budi.

Gagasan yang dikemukakan oleh Van Deventer ini mendapatkan dukungan penuh dari Ratu Wilhelmina. Gagasan ini juga pernah disebutkan di dalam pidatonya pada tahun 1901. Dukungan dari Ratu Wilhelmina juga dibuktikan melalui terbitnya kebijakan baru.

Kebijakan baru tersebut berisi mengenai program-program untuk para penduduk wilayah jajahan. Program tersebut dinamakan dengan Trias Van Deventer. Program ini berisi mengenai tiga tujuan. tujuan-tujuan tersebut adalah Edukasi, Irigasi dan Transmigrasi.

​Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah

Buku ini didasarkan atas pelbagai surat, buku harian, buku kenangan, dan memoar mereka. Apa yang terungkap tentang tindak kejahatan perang itu seringkali mengejutkan. Tetapi juga menyangkut tema-tema lain: ketegangan antara misi Belanda dan realita di tempat yang sulit dikendalikan; sikap mengerti atau tidak mengerti tentang orang-orang Indonesia dan perjuangan mereka untuk merdeka; frustrasi-frustrasi terhadap pimpinan militer dan politik; ketakutan, rasa dendam dan malu; kebosanan dan seks; merasa asing di tanah Hindia dan juga di rumah sepulang mereka ke negeri Belanda; kemarahan atas tahun-tahun yang hilang dan rasa kurang dihargai.

Program Politik Etis

Antique illustration of a Uniforming of the protective group for German East Africa.

1. Irigasi

Salah satu program politik etis adalah irigasi. Di dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melakukan beberapa pembangunan fasilitas. Pembangunan-pembangunan tersebut digunakan untuk menunjang kesehatan dari rakyat Indonesia.

Diberikan sarana dan dan prasarana untuk mendukung aktivitas pertanian. meliputi pembuatan waduk, perbaikan dari sanitasi, jalur transportasi untuk mengangkut hasil tani dan lain sebagainya.

2. Edukasi

Program kedua politik etis adalah edukasi. Melalui program edukasi, dilakukannya peningkatan kualitas sumber daya manusia atau SDM di Indonesia. Selain itu, ditingkatkan pula upaya untuk mengurangi angka buta huruf di masyarakat.

Dimulai juga pelaksanaan-pelaksanaan pengadaan sekolah untuk rakyat. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan dari Suhartono di dalam Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (2001:7), hanya kaum laki-laki saja yang boleh mengenyam pendidikan pada masa itu. Sedangkan kaum perempuan hanya belajar di rumah saja.

  •     Hollandsche Inlandsche School (HIS), adalah sekolah dasar untuk masyarakat pribumi.
  •     Europeesche Lagere School (ELS), adalah sekolah dasar untuk anak Eropa dan para pembesar pribumi.
  •     Hogere Burgerlijk School (HBS), adalah sekolah menengah yang diperuntukkan bagi siswa lulusan ELS.
  •     Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), adalah sekolah menengah bagi siswa lulusan HIS.
  •     Algemeene Middelbare School (AMS), adalah sekolah menengah atas bagi siswa lulusan HBS dan MULO.
  •     School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), adalah sekolah pendidikan dokter Jawa.
  •     Recht Hoge School, adalah sekolah hukum.
  •     Landbouw School, adalah sekolah pertanian .
  •     Technik Hoghe School, adalah sekolah teknik.

3. Emigrasi

Emigrasi adalah program ketiga dari politik etis. Emigrasi ditetapkan dalam rangka memeratakan kepadatan penduduk yang terjadi di Indonesia atau Hindia Belanda, pada saat itu. Pada tahun 1900, Jawa dan Madura sudah dihuni oleh 14 juta jiwa. Melalui kebijakan ini, didirikanlah sebuah pemukiman baru.

Pemukiman-pemukiman tersebut dibuat di Sumatera. Hal ini disediakan untuk tempat perpindahan rakyat dari wilayah-wilayah yang memiliki penduduk yang padat. Kebijakan ini mulai aktif pada tahun 1901.

Tokoh-tokoh yang Terlibat dalam Politik Etis

Engraving From 1882 Of The Signing Of The Declaration Of Independence By The American Founding Fathers.

1. Pieter Brooshooft

Pieter Brooshooft adalah seorang wartawan sekaligus sastrawan asal Belanda. Ia mengelilingi wilayah Jawa pada tahun 1887. Ia juga mendokumentasikan bagaimana kesengsaraan yang dialami oleh rakyat pribumi Hindia Belanda pada saat itu.

Kesengsaraan yang dialami oleh rakyat pribumi terjadi akibat kebijakan tanam paksa. Selain itu, perkebunan swasta juga menjadi alasan dari kesengsaraan rakyat pribumi. Kemudian Pieter Brooshooft melaporkan hal tersebut pada 12 polisi Belanda.

Salah satunya dalam bentuk buku. Buku tersebut berjudul Memorie Over den Toestand in Indie, atau bermakna Catatan Mengenai Keadaan di Hindia. Di dalam buku tersebut, berisi sebuah kritik mengenai para bandar dan pajak.

Meskipun kebijakan politik etis ini sudah berhasil dirumuskan, tetapi ia tetap kecewa. Ia menyayangkan mengenai penerapannya. Hal itu karena menurutnya, penerapan dari politik etis ini penuh dengan sebuah penyimpangan.

Kemudian ia pulang ke Belanda. Kepulangannya terjadi pada tahun 1904. Tulisan dari Pieter Brooshooft ini adalah salah satu inspirasi utama dalam terbitnya politik etis. Selain karya yang lain seperti Max Havelaar yang dibuat oleh Multatuli.

2. Conrad Theodore van Deventer

Van Deventer adalah seorang ahli hukum dari Belanda. Ia datang ke Indonesia menjadi seorang pengusaha perkebunan. Hal itu membuatnya dapat menikmati kekayaannya.

Akan tetapi, meskipun ia menikmati kekayaannya, ia juga berpendapat bahwa perlu adanya perlakuan yang lebih baik. Perlakukan baik tersebut ditujukan untuk masyarakat pribumi Hindia Belanda. Kemudian van Deventer menulis Een Eereschuld yang berarti kehormatan.

Tulisan tersebut ditulis pada tahun 1899. Tulisan tersebut berarti Belanda memiliki sebuah hutang kehormatan. Hutang kehormatan tersebut juga harus dibayar.

Terlebih atas kekayaan-kekayaan yang diterima dari penderitaan masyarakat pribumi. Sebagai anggota parlemen, ia juga menyelesaikan laporannya. Laporan tersebut mengenai kondisi Hindia Belanda.

Ia menyerahkan laporannya pada Menteri Daerah Jajahan Idenburg. Selain itu ia juga mempermasalahkan kebijakan pemerintah atas kondisi yang terjadi tersebut.

3. Edward dan Ernest Douwes Dekker

Edward Douwes Dekker memiliki nama lain Multatuli. Ia adalah orang yang menulis sebuah buku bernama Max Havelaar. Buku tersebut menjelaskan tentang bagaimana masyarakat terlihat terhimpit.

Ia menilai bahwa masyarakat terhimpit di antara kepentingan kolonial belanda, sekaligus dari penguasa lokal. Keduanya sama-sama ingin mempertahankan kekuasaannya. Ia juga mempermasalahkan pemerintah yang seharusnya lebih tegas lagi kepada penguasa lokal. Sekaligus membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada kesejahteraan para rakyatnya.

Ernest Douwe Dekker atau Setiabudi adalah keturunan dari Edward Douwes Dekker. Ia memperjuangkan kalangan Indo, atau golongan campuran. Pada saat itu, kalangan Indo memang terabaikan di dalam kebijakan politik etis.

Kalangan Indo tidak termasuk ke dalam orang-orang yang diprioritaskan untuk pendidikan politik etis. Akan tetapi, biasa pendidikan ke luar negeri juga terlalu mahal untuk mereka. Ernest Douwes Dekker berharap bahwa pendidikan adalah hal yang dapat diakses oleh semua golongan atau kalangan.

Itulah ulasan mengenai pengertian politik etis sampai siapa saja tokoh yang terlibat di dalam kebijakan politik etis ini. Temukan informasi lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Sistem Politik Indonesia Pemahaman Secara Teoretik & Empirik Edisi Kedua

Buku ini menjelaskan sistem politik di Indonesia yang tidak semata-mata hanya bersifat teoritis namun juga secara empirik. Artinya dalam pembahasannya diberikan pula ulasan yang disesuaikan dengan konteks di mana sistem politik itu pernah diberlakukan di Indonesia, yakni masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Buku yang disusun secara sistematis, mudah dicerna dan dipahami ini merupakan acuan utama bagi mahasiswa yang mendalami mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Juga merupakan referensi wajib bagi para praktisi organisasi politik, partai politik, elite politik, anggota legislatif, lembaga swadaya masyarakat, dan para birokrat, baik di pemerintahan pusat maupun daerah.

Penulis: Wida Kurniasih

Sumber: dari berbagai sumber

BACA JUGA:

Layanan Perpustakaan Digital B2B Dari Gramedia

ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah.

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA