Jelaskan 3 prinsip islam dalam berinteraksi dengan budaya lain

Oleh : Ansori

(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)

A. ‘Urf (Adat) Sebagai dasar Hukum

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun) bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (akal). Sunber / dalil hukum yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat  dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

    1. تهميل (adaptive-complement)

Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur

_____________________________

*Makalah disampaikan dalam kajian ASWAJA di UNU Purwokerto pada hari   Jumat tanggal 16 Oktober 2020

tidak menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa

anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.

Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

    1. تغيير (adaptive-reconstructive)

Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

B. Prinsip “Segala Sesuatu Boleh Dilakukan”

Metode berfikir  di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak pada kaidah  الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan  dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu الأصل في الأشياء التحريم  (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang) Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah الأصل في الأشياء الإباحة ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah    الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash)  Sedangkan kaidah  الأصل في الأشياء التحريم  ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhoh / ritual dan kemudian muncul kaidah  الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan)

Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang  muamalah (selain ibadah)  adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.

Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).

Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : العادة محكمة (adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.

C. Prinsip Kemaslahatan/Kemanfaatan

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.

(Refleksi Pemikiran dalam Bingkai Sosial-Keagamaan untuk Mewujudkan Visi dan Misi Perguruan Tinggi)

oleh : Hj. St. Aminah Azis, Dosen IAIN Parepare

OPINI— Islam sebagai agama wad’un ilāhiyyun, senantiasa sejalan dengan budaya masyarakat selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan doktrin Islam, karena doktrin tersebut memasuki masyarakat dan mewujudkan diri dalam konteks sosial budaya (Islamicate) pada masing-masing wilayah atau kawasan.

Hasil budaya tersebut menjadi kekayaan umat Islam dan menjadi peradaban yang spesifik. Agama merupakan sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.

Sementara kebudayaan merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Agama maupun kebudayaan, keduanya memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan sesuai kehendak Tuhan dan kemanusiaannya.

Agama melambangkan nilai ketaatan kepada tuhan, sedangkan kebudayaan mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa dinamis dalam kehidupannya. Keberadaan sistem agama yang melingkupi masyarakat, mengandung makna kolektifitas yang saling memberi pengaruh terhadap tatanan sosial keberagamaan secara totalitas, namun tidak dapat dipandang sebagai sistem yang berlaku secara abadi di masyarakat.  

Namun, terkadang dialektika antara agama dan budaya berubah menjadi ketegangan karena budaya sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran ilahiyat yang bersifat absolut.

Islam secara teologis, merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah dan transenden. Sedangkan dari aspek sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dialektika Islam dengan realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama sepanjang sejarahnya.

Sejak awal kelahiran-nya, Islam tumbuh dan berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. realitas dalam kehidupan ini, memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban yang mewakili dan diakui oleh masyarakat dunia.

Namun tidak berarti bahwa Islam, budaya, serta hasil budaya dari agama masa lampau dapat disamakan, walaupun sebagian ulama dan cendekiawan muslim memposisikan sama. Dalam hal ini merujuk misalnya pada Q.S. al-baqarah/ 2: 62.;

 إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Terjemahnya:

Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Keanekaragaman budaya lokal merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah.

Keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap eksistensinya.

Budaya lokal ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk yang lain. Berpijak pada keragaman budaya di sejumlah daerah tersebut maka munculah kesatuan budaya yang disebut budaya nasional, yang pada dasarnya digali dari kekayaan budaya lokal. Budaya lokal merupakan nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbantuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu.

Budaya lokal tersebut bisa berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat. Karena itu, pada dasarnya setiap komunitas masyarakat memiliki budaya lokal (local wisdom), ini terdapat dalam masyarakat tradisional sekalipun terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan (being smart and knowledgeable). Budaya lokal berisi berbagai macam kearifan lokal (pengetahuan lokal) yang digunakan oleh kelompok manusia menyelenggarakan penghidupannya.

Disinilah makna dan peran penting studi keagamaan di Perguruan Tinggi Islam khususnya untuk melakukan progressif untuk menata ulang perannya sebagai kekuatan studi Islam. Tidak hanya dalam tataran  simbolistik belaka, tetapi yang sangat urgen harus menjadi agen terdepan mengawal segala bentuk arus perubahan budaya lokal masyarakat dalam berbagai dimensinya. Lebih dari pada itu, harus terjewantahkan ke dalam pola pemikiran yang ingklusif dan eksklusif dalam memandang realita\s empiris yang mengitari kehidupan sosial-keagamaan.   

Nilai Budaya Lokal dalam Kajian Keagamaan… (next page 2)

Page 2

[Page 2]

Nilai Budaya Lokal dalam Kajian Keagamaan

Budaya dimaknai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk ditempuh. Untuk memahai nilai-nilai budaya, terlebih dahulu harus diketahui pengertian nilai dan budaya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia. Nilai-nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat pada “sesuatu hal-nya”. Sedangkan ‘nilai’ lebih merujuk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik’.

Nilai budaya menurut Koentjaraningrat sebenarnya merupakan kristalisasi dari lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni (1) hakikat dari hidup manusia, (2) hakikat dari karya manusia, (3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakikta dari hubungan manusia dengan sesamanya. Apapun nilai yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang akan menentukan sosok mereka sebagai manusia berkebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.

Definisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan menurut Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat antara lain lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok. Sedangkan dalam disiplin antropologi yang dikenal istilah lokal genius Gobyah, mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal itu sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah menyatu sedemikian rupa dengan sistem  kepercayaan, norma dan budaya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, selanjutnya menjadi tindakan perilaku manusia. Kebudayaan manusia selalu berkembang, bermula dari bentuk primitive kepada bentuk yang modern. Eksistensi budaya, pada dasarnya dipersepsikan sebagai sistem-sistem kepercayaan (beliet) nilai (value), sikap (attitude), pandangan (world wiew), dan organisasi social (social organization).

Unsur-unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu : pertama, manusia; kedua; gagasan yang bernilai baik; ketiga, kebenaran yang telah mentradisi; dan keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan empat unsur tersebut dapat dipahami bahwa dalam budaya dan kearifan lokal nilai agama tidak dapat terpisahkan. Gagasan yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran yang mentradisi dan diakui merupakan prinsip dasar dari semua agama khususnya agama Islam.

Paparan tentang segi-segi mana budaya lokal dengan ajaran Islam yang berintegrasi secara konsern dalam studi keagamaan, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh ade’ yang berintegrasi dengan ajaran sarak. Sedangkan implementasi norma dan aturan-aturan kehidupan dalam masyarakat muslim berfungsi mendinamisasi kehidupan masyarakat sebagai perwujudan bahkan menjadi  keharusan dalam bertingkah laku dalam semua kegiatan kehidupan bermasyarakat.

Perspektif Nilai-nilai Budaya Lokal… (next page 3)

Page 3

[page 3]

Perspektif Nilai-nilai Budaya Lokal dalam hubungannya dengan Agama

Berdasarkan nilai-nilai teologis, maka produk budaya lokal masyarakat muslim, utamanya di Kota Parepare dan sekitarnya memiliki relevansi yang sistemik dan mengakar dalam nilai-nilai agama, yang sudah barang tentu selama dianggap tidak bertentangan. Dalam hal ini terdapat delapan aspek nilai, yakni nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kehidupan, nilai spiritual, nilai ritual, nilai moral, nilai sosial, dan nilai intelektual. (sebagaimana dalam hasil peneitian dalam disertasi saya), sebagai berikut:

  1. Nilai ketuhanan. Kesepadanan antara konsep budaya lokal dengan teologi keagamaan bagi masyarakat  merupakan impelementasi nlai-nilai ketuhanan yang termanifestasi ke dalam pola penghambaan atau pemujaan secara tulus disertai rasa cinta kepada yang satu/tunggal. Memandang realitas alam sebagai produk yang bersumber dari Allah yang dijadikan sandaran dalam memantapkan keyakinan atau keimanan mereka. Dengan demikian, wujud ilahiyyah, baik dari sudut pandang uluhiyyah maupun rububiyyah memberikan konstruksi terhadap sikap dan perilaku manusia dalam menjalankan aktivitas ritual keagamaan.
  2. Nilai kemanusiaan. Implementasi nilai-nilai kemanusiaan terhadap budaya lokal masyarakat muslim yang memiliki relevansi dengan ritual keagamaan mengindikasikan adanya hubungan yang harmonis dalam memanfaatkan segala bentuk produk-produk budaya lokal mereka, memberikan kesadaran akan pentingnya nilai-nila tasamuh (toleransi) dalam hidup secara individu maupun dalam bermasyarakat. Secara teologis, manusia tersusun dari dua unsur, yaitu materi (jasad) dan immateri (ruh). Unsur materi memiliki hubungan yang jauh dari Allah, sedangkan unsur immateri memiliki hubungan yang dekat dengan Allah.
  3. Nilai kehidupan. Naluri beragama dimiliki oleh setiap manusia, namun sebagian di antaranya tidak mampu melaksanakan naluri tersebut dengan baik sehingga hidupnya sengsara, namun hidup sengsara dalam pandangan teologis adalah bersifat relatif dalam memandang kehidupan dunia penuh hikmah yang mendalam untuk dijalani. Nilai kehidupan bagi manusia, ada yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Kehidupan duniawi diakui sebagai tempat menitih jalan ke akhirat. Dua macam kehidupan menjadi patron nilai-nilai masyarakat  berdasarkan peradaban mereka dan pemahamannya terhadap ajaran agama.
  4. Nilai spiritual.  Segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci untuk  mendapatkan ridha dari tuhan yang maha kuasa. Seseorang yang mempunyai pembawaan hati yang baik berupa fitrah yang suci tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar, karena yang dijadikan patron penilaian adalah kesucian jiwa, sebagaimana halnya masyarakat  setiap akan melakukan ritual didasari dengan niat suci untuk keberkahan dalam kehidupannya. Kendatipun, nilai spiritual ditemukan dalam setiap aspek ritual yang dijalani sebagai motivasi untuk hidup bahagia jangka panjang, namun mereka tidak melaksanakan syariat Islam maka nilai spiritual tersebut akan sirna. Karena itu, prosesi ritual yang bagaimanapun bentuknya, dalam pandangan saya sangat kontekstual pada masa sekarang ini.
  5. Nilai ritual, nilai ritual adalah pelaksanaan budaya yang mengandung unsur ibadah. Hati yang terbentuk karena dilandasi oleh dasar keimanan kepada Allah niscaya akan menghasilkan niat yang baik dan ikhlas yang jauh dari sifat takabbur dan sombong, sehingga terwujud perilaku yang terpuji.  Sebagai contoh maccerak (memotong hewan) merupakan salah satu kegiatan yang menurut pemahaman teologi memiliki nilai ritual jika didasarkan pada ajaran Islam dengan cara membaca doa dan berzikir, sebagaimana halnya dengan pembacaan barazanji atau syair untuk memuji nabi saw yang diselenggarakan pada kegiatan aqikah bagi anak yang lahir.
  6. Nilai moral. Nilai moral atau akhlak sebagai bagian yang urgen dalam perilaku manusia dapat dilihat dari berbagai budaya dan tradisi masyarakat yang mempertahankan sikap dan prilakunya yang baik seperti ada tongeng (kejujuran), sabbara (sabar), dan mappogaugello (kebajikan) lainnya sebagai lawan dari perbuatan jahat merupakan bagian dari nilai moral. Urgennya nilai moralitas ini sangat berpengaruh pada dimensi spritual manusia, baik secara individu maupun dalam lingkungan masyarakat. Esensi ajaran moral dalam masyarakat Islam bugis, adalah kejujuran atau lempu sebagai metafor untuk hidup lurus, hampir sama dengan makna paccing adalah metafor untuk hidup bersih. Kejujuran dan kebersihan adalah pagar yang dibangun masyarakat, mengelilingi dirinya di mana dan apapun aktivitas mereka. Mengabaikan kejujuran berarti menciptakan keresahan dan kegelisahan yang dapat bermuara pada penderitaan hidup dalam masyarakat.
  7. Nilai sosial. Budaya lokal mengandung nilai sosial, ini dipahami dari realitas masyarakat  dalam suatu wilaayah, memiliki lingkungan sosial dan dengan masyarakatnya membentuk pergaulan hidup bersama, mereka saling membantu dalam kebaikan dan mengingatkan bahwa kebahagiaan manusia terkait pula pada hubungannya dengan sesamanya. Nilai sosial dalam masyarakat  ditemukan pula dari segi perbedaan status dengan berbagai simbol kemanusiaan dna keagamaan, dan prilaku tata kemasyarakatan. Sikap dan perilaku makkiade’ sebagai salah satu wujud budaya sipakatau. Masyarakat  sejak dahulu saling menghormati dengan tata adat, strata sosial, dan status sosial lebih harus dihormati.
  8. Nilai intelektual. Pesan-pesan leluhur bagi masyarakat muslim  mengandung nilai intelektual untuk tetap mempertahankan adat istiadat masyarakat di samping mengingatkan manusia untuk rajin mengerjakan amal kebajikan dan meninggalkan perbuatan tercela demi keselamatan di dunia maupun di akhirat. Nilai-nilai intelektual terhadap implementasi budaya lokal masyarakat muslim  yang telah mengalami pola integrasi ajaran keagamaan, mengindikasika betapa kuatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dapat merubah tataran pola pikir dan perilaku masyarakat dari generasi ke generasi. Dibutuhkan pemberdayaan masyarakat sedini mungkin melalui pendidikan dan pengajaran keagamaan secara totalitas, dalam memelihara dan merekonstruksi nilai-nilai budaya lokal yang murni dan sakral, bahkan boleh jadi lebih diimplementasikan dan lebih merasuk ke dalam jiwa manusia sebagai wujud hikmah dan tazkiyah dalam kehidupan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA