Hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun persatuan dan kesatuan

Hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun persatuan dan kesatuan

Hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun persatuan dan kesatuan

Pada Rabu, 10 Februari 2021, Akademi Ilmu Pancasila menyelenggarakan kegiatan Kuliah Ilmu Pancasila dan Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan bertempat di Hotel Merlynn Park, Jakarta. Tenaga Profesional Bidang Ideologi dan Strategi Lemhannas RI Brigjen TNI (Purn.) A. R. Wetik, S.IP.,M.Sc., yang mewakili Gubernur Lemhannas RI menyampaikan materi mengenai Membumikan Pancasila: Tantangan, Hambatan dan Solusi.

“Pancasila bukan hanya ideologi bagi rakyat Indonesia, tapi juga budaya, falsafah hidup, juga sebagai cita hukum atau dasar negara yang tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia dan tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan berbangsa,” ungkap Wetik. Lebih lanjut Wetik menyampaikan bahwa budaya Pancasila yang digali dari bumi kita, harus disosialisasikan untuk dibumikan kembali ke bumi nusantara.

Wetik juga menyampaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, haruslah memiliki visi yang sama sebagai bangsa, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Sebagaimana tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Visi ini dapat tercapai bila negara menjalankan fungsinya yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai yang ada pada setiap bangsa Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila dengan berbagai instrumennya. Wetik berharap, Pancasila dapat diajarkan kepada masyarakat secara baik sehingga menjadi perilaku sehari-hari yang membudaya, terutama pada generasi muda.

Dalam kegiatan tersebut turut hadir Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. dan Pengajar Utama Akademi Ilmu Pancasila Brigjen TNI (Purn.) Harsanto Adi.

Polhukam, Makassar – Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah perkembangan teknologi, terutama dalam perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Karena selain berdampak positif, namun juga memiliki sisi negatif yaitu dapat menyebarkan berita bohong atau hoaks.

“Kalau dalam perang, ini generasi kelima. Karena tidak menggunakan senjata seperti perang masa lalu, tetapi lebih kompleks yaitu melalui dunia maya yang tidak kelihatan namun memiliki dampak sangat besar yaitu berhubungan dengan pelemahan aspek modal manusia seperti modal sosial, modal moral dan modal psikologis,” ujar Asisten Deputi Koordinasi Kesadaran Bela Negara Kedeputian Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Rufbin Marpaung, Kamis (26/9/2019).

Rufbin mewakil Deputi Bidkor Kesbang Kemenko Polhukam, Arief P Moekiyat dalam kegiatan Literasi Media Sosial dengan tema “Kesadaran Bela Negara Guna Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa Dalam Rangka Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa di Makassar, Sulawesi Selatan.

Menurut Rufbin, ancaman di media sosial ini lebih dahsyat, bukan hanya tujuannya tapi juga pada cara dan instrumennya. Karena beroperasi secara virtual/maya dan mampu mempengaruhi pikiran manusia secara massal, dalam waktu singkat, dengan biaya yang murah dan sulit dilacak, tidak mengenal batas teritori, dan berubah dengan cepat.

Baca juga:  Energi Nuklir dalam Pandangan Saya

“Sasarannya adalah pikiran rakyat sehingga muncul opini negatif, tidak senang atau melawan pemerintah yang sah serta mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Rufbin.

Oleh karena itu, ia pun meminta agar generasi muda bangsa Indonesia dapat mempersiapkan masa depannya, khususnya dalam menghadapi tantangan-tantangan global. “Jangan seperti anak siswa kemarin ikutan demo tapi tidak tahu apa yang disampaikan, tidak tahu konsepnya. Jangan terbawa oleh rekan-rekan yang cenderung anarkis karena terbawa hoax atau terpengaruh oleh hasutan yang salah,” kata Rufbin.

Rufbin juga mengingatkan agar generasi muda ikut melakukan bela negara. Karena sesuai dengan konstitusi bahwa bela negara adalah hak dan sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk menghadapi semua ancaman dan tantangan yang ada.

“Pelatihan literasi media sosial ini merupakan salah satu bentuk bela negara, terutama dalam membangun karakter pemuda untuk tetap menyadari akan hak dan kewajibannya guna menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa di bidang komunikasi dan informasi, khususnya media sosial,” kata Rufbin.

Baca juga:  PBNU Dukung Pemerintah untuk Mendahulukan Keselamatan Jiwa

Sementara itu, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Dicky Sondani mengatakan laporan dari masyarakat, jumlah perkara yang dilaporkan atau ditangani dalam kurun waktu 2018-2019 sebanyak 512 laporan. Tindak pidana yang dilaporkan yaitu penipuan online/media elektronik, penghinaan dan atau pencemaran nama baik, akses ilegal, bermuatan kesusilaan, dan ujaran kebencian/SARA.

“Dampak cyber crime yaitu kurangnya kepercayaan dunia dan berpotensi menghancurkan negara. Oleh karena itu, kami mengimbau kepada generasi muda gunakan jarimu untuk melawan kejahatan dan jangan kita gunakan untuk kejahatan. Karena perpecahan di negara kita ini paling mudah disulut apalagi melalui media sosial,” katanya.

Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Kelembagaan Kemenko Polhukam RI

Terkait

Polhukam, Jakarta – Salah satu modal penting dalam mewujudkan Indonesia yang damai, maju dan modern, serta anti radikalisme adalah adanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya masih ada pihak yang menyatakan bahwa pembinaan persatuan dan kesatuan Indonesia sudah tidak diperlukan lagi karena seolah-olah hanya dalih untuk membatasi ruang gerak masyarakat sejak masuk Era Reformasi dan demokrasi.

“Menurut mereka, persatuan dan kesatuan bangsa akan lestari dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah dan merasa bahwa persatuan Indonesia itu take it for granted yang selalu utuh dan lestari tanpa upaya pembinaan, kita semua harus memiliki persepsi yang sama bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap dibina,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Kesatuan Bangsa Kemenko Polhukam, Arief P Moekiyat, dalam Forum Koordinasi dan Sinkronisasi ‘Dengan Semangat Bhineka Tungal Ika Kita Cegah Radikalisme Guna Memperkokoh Ideologi Pancasila Dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Berbangsa’ di Jakarta, Kamis (14/11/2019).

Dikatakan, NKRI ini diperjuangkan dan dibangun oleh para pendiri bangsa dan para pejuang kemerdekaan karena sadar bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, agama, golongan, ras, dan budaya dengan Ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, serta memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. “Saya mengajak semua elemen bangsa untuk terus menjalin tali persaudaraan dan menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Arief.

Terkait penanganan terhadap radikalisme dan terorisme, Arief menegaskan bahwa Kemenko Polhukam bersama dengan Polri, TNI, BIN, dan BNPT, serta K/L terkait lainnya, memiliki komitmen tinggi untuk melakukan berbagai langkah pencegahan dan penanganannya. Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendirian dan membutuhkan peran dari seluruh elemen bangsa, masyarakat, diantaranya tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.

“Untuk itu, Kemenko Polhukam melaksanakan kegiatan hari ini dengan melibatkan berbagai elemen untuk mencari solusi terbaik penanganan radikalisme,” kata Arief.

Radikalisme adalah suatu gerakan yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan/ekstrim. Radikalisme merupakan tindakan/faham yang mempunyai akar dan jaringan yang kompleks, sehingga tidak mungkin hanya bisa didekati dengan pendekatan keras berupa penegakan hukum dan intelijen, maupun tindakan respresif lainnya, namun juga harus ditangani dengan pendekatan wawasan kebangsaan, kewaspadaan nasonal, serta persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan persuasif dengan instrument Ideologi Pancasila dan moderasi beragama.

“Forum ini menjadi sangat penting dan bermanfaat untuk terus meneguhkan komitmen dan semangat diantara kita di dalam mencegah dan memberantas radikalisme, juga merupakan inisiatif yang konstruktif untuk terus menggunakan spirit gotong royong antar berbagai pihak, sebagai kontribusi terhadap upaya untuk menciptakan Indonesia yang damai serta anti radikalisme,” kata Arief.

Baca juga:  Tauladan Kepemimpinan dari Sang Tokoh Semar

Di tempat yang sama, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ir. Hamli mengatakan bahwa radikal ini bukan soal agama. Berdasarkan penelitian Alvara, ada tiga kelompok masyarakat di Indonesia. Kelompok pertama (39,43%) merupakan kelompok yang menyatakan jika Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam dan dalam bermasyarakat tidak harus memperhatikan norma dan adat yang berlaku.

Kelompok kedua (42,47%) menyatakan Islam adalah agama yang cinta damai dan insklusif, dan mendukung Perda Syariah diterapkan di Indonesia. Sedangkan kelompok ketiga (18,10%) menyatakan, kekerasan diperlukan untuk menegakkan amar ma’aruf nahi mungkar, pemimpin Kelurahan hingga Presiden harus dari kalangan muslim, dan cenderung setuju dengan konsep khilafah.

“Berdasarkan catatan yang kami miliki, pelaku teroris ada sekitar 2 ribu, sekitar 500 orang berada di Lapas dan sisanya masih di luar. Ini belum ditambah dengan yang berangkat ke ISIS ada sekitar 1.500an, mereka ini orang yang sudah jadi semua,” katanya.

Oleh karena itu, Hamli mengatakan harus ada perlawanan dalam bentuk counter narasi. Sehingga mereka yang sudah terdoktrin dapat bisa dikembalikan. “Ada tiga cara yang kami lakukan yaitu soft approach, hard approach dan kerja sama antar negara,” katanya.

Baca juga:  Menko Polhukam Panggil 4 institusi terkait Joko Tjandra

Semenatar itu, Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Dirjen Polpum Kemendagri, Praba Eka Soesanta mengatakan, Indonesia tidak akan ada kalau tidak ada perbedaan. Menurutnya, tidak boleh ada mayoritas dan minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air ini.

Direktur Pembudayaan BPIP, Irene Camelyn Sinaga mengatakan, Pancasila merupakan roso. Menurutnya, masalah radikal ini menjadi sulit untuk ditekan ketika sudah dibawa ke luar publik. “Oleh karena itu, kami bertekad untuk membaliknya yaitu menciptakan radikalisme untuk mencintai Pancasila, bagaimana hidup dengan Pancasila,” katanya.

Biro Hukum, Persidangan, dan Hubungan Kelembagaan Kemenko Polhukam RI

Terkait