Contoh perilaku para elit yang tidak sesuai dengan etika Pancasila

CNN Indonesia

Jumat, 14 Feb 2020 15:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pancasila Dihafalkan Tapi Tak DiterapkanPancasila sebagai dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya merupakan sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum.Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan dalam segala bidang.  Pancasila menjadi jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan yang semakin baik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tak jarang Pancasila masih menjadi bahan perdebatan di kalangan elite. Terbaru, polemik pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyu terkait hubungan agama dan Pancasila. Meski Yudian akhirnya meluruskan pernyataannya tentang hubungan Pancasila dan agama.Sejumlah warga berpendapat, Pancasila saat ini hanya sebatas slogan dan belum diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Ditanya soal hafal Pancasila, mayoritas masyarakat masih mampu menyebutkan lima sila Pancasila.Mereka menilai, elite-elite politik saja belum menjadikan Pancasila sebagai tuntunan kehidupan berbangsa.Rusliyawan (56) ketika berbincang dengan CNNIndonesia menyebutkan dengan jelas lima sila Pancasila. Dia berpendapat saat ini Pancasila lhanya slogan saja.Misalnya, sila kelima yang berbunyi 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.' Menurut Rusliyawan, berdasarkan sila itu, artinya pemerintah harus memberikan lapangan kerja untuk setiap warganya.Kemudian sila keempat: 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan', Ia mengatakan artinya pemerintah harus menjunjung tinggi musyawarah dalam mencari keadilan."Dalam mencari keadilan, jangan seperti pisau. Ke atas tumpul ke bawah tajam. Rakyat kecil juga harus dibela sesuai dengan hukum," ujar Rusliyawan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (13/2).Ia juga menyindir, bisa jadi banyak kalangan elite terutama pejabat yang tidak hafal Pancasila, karena implementasi dalam kehidupan nyata."Kadang-kadang orang pakai kata-kata Pancasila, NKRI, itu seperti pedagang saja. Apakah masih ada Pancasila di hati mereka? Saya masih ragu," katanya."Orang seperti kita kecil-kecil begini. Apa pernah mengganggu pemerintah? Enggak. Yang ganggu ya yang sekolahnya tinggi-tinggi itu," tambah dia.

Rusliyawan, 56, saat ditemui di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)


Warga lainnya mengatakan Pancasila tak bisa dipisahkan dari kehidupan beragama yang beragam di Indonesia."Tapi prinsipnya, dari lima sila itu mencerminkan kebhinekaan antara semua suku dan agama. Itu sudah jadi satu. Semua diayomi," ujar Medi, 56, yang sudah menjajakan koran di kawasan Blok M sejak 20 tahun laluMedi mengaku dirinya paling hafal sila pertama dalam Pancasila. Dia mengaku sudah tak seperti saat masih duduk di bangku sekolah, saat masih menghafal seluruh kalimat dalam lima sila Pancasila

Medi, 56, penjual koran di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)

Begitu juga dengan Arsono (54), penjual minuman di area RSIA Asih Jakarta, Melawai, Jakarta Selatan. Ia hanya bisa menyebutkan isi Pancasila secara lengkap hingga sila ketiga.Arsono juga mengira selama ini Pancasila sebagai lambang negara, bukan dasar negara. Kendati demikian ia paham betul kalau Pancasila mengatur warga Indonesia agar saling menghormati dan bertoleransi."Tapi kan kadang ya maaf-maaf, ada oknum-oknum yang tidak jelas. Ya kayak teroris-teroris itu. Tidak sesuai Pancasila," tuturnya.

Arsono, 54, penjual minuman di kawasan Melawai, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)

Namun, ada juga di antara masyarakat yang hanya tahu dasar negara sebagai hafalan. Salah satunya Slamet (50), sopir bajaj yang kerap berkeliling wilayah Jakarta Selatan.Ia menyebut Pancasila sebagai dasar negara dan hafal setiap silanya. Namun Slamet tak merasa punya makna tersendiri dari Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari."Ah enggak ada, itu kan dasar negara saja," ucap Slamet.

Slamet, 50, Sopir Bajaj saat ditemui di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)

Begitu juga dengan Suniti (47), yang sehari-harinya berjualan kopi keliling di kawasan Blok M. Ia mengaku hanya tahu sila pertama Pancasila dan tidak mengerti relasinya dengan kehidupan nyata."Aduh, saya nggak ngerti. Namanya agama masing-masing punya kepercayaan mungkin. Hubungannya apa ya?" kata dia

Suniti, penjual kopi keliling di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)

[Gambas:Video CNN] (fey/kid)

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA


MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA –  Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti turut memberikan komentar terkait  Rancangan Undang–Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila sebagai usul inisiatif DPR RI yang disusun untuk memperkuat Pancasila yang rumusannya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan agar tidak terdapat isi dan kandungan yang menimbulkan kontroversi baru di tubuh bangsa Indonesia. Mu’ti menegaskan bahwa DPR-RI maupun pemerintah harus betul-betul seksama dalam mendengar dan menerima aspirasi rakyat serta komponen bangsa, serta tidak memaksakan kehendak untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan memanfaatkan kekuasaan dansuara mayoritas di parlemen. “Kemajuan bangsa sebagai cita-cita proklamasi akan semakin sulit terwujud apabila penyelenggaraan negara didasarkan atas pendekatan kekuasaan kelompok dengan mengabaikan jiwa kebersamaan, semangat gotong royong, dan nilai-nilai Persatuan Indonesia,” tegas Mu’ti seperti dikutip dalam Tausyiah PP Muhammadiyah tentang Pancasila pada Senin (1/6). Mu’ti menambahkan, kepentingan mendesak dan prioritas bagi DPR, pemerintah, lembaga yudikatif, dan seluruh institusi negara dan rakyat saat ini ialah mewujudkan masyarakat Pancasila dengan menerjemahkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. “Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami masalah moral, sosial, dan ekonomi yang sangat serius terutama kesenjangan sosial yang semakin kasat mata. Masalah tersebut bisa bertambah berat di tengah pandemi Covid-19 yang sampai ini belum dapat di atasi dengan baik, bahkan akan menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang sangat panjang,” imbuh Mu’ti. Mu’ti menegaskan, masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Karena itu, para penyelenggara negara hendaknya lebih bersungguh-sungguh melaksanakan Pancasila, terutama  sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Seluruh energi politik, ekonomi, sosial, intelektual, dan sumberdaya semestinya dkerahkan untuk mengimplementasikan Pancasila. Para elit politik dan pejabat negara hendaknya menjadi pelopor dalam mengamalkan Pancasila dan suri tauladan bagi rakyat dalam sikap, perbuatan, dan kehidupan sehari-hari,” pungkas Mu’ti.

Sumber Berita:

//www.muhammadiyah.or.id/id/news-19141-detail-para-elit-politik-dan-pejabat-negara-harus-menjadi-pelopor-dalam-mengamalkan-pancasila.html

Bagikan:

YOGYAKARTA - Ditinjau dari rumus rangkaian kesatuan setiap sila dalam Pancasila, maka terkait masalah etika, lebih khususnya etika politik pancasila, sangat berhubungan dengan sila kedua. Oleh sebab itu, rumus rangkaiannya dengan keempat sila yang lain adalah seperti ini:

“Etika politik Pancasila adalah perbuatan atau perilaku politik yang selaras dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang bersila ketiga, bersila keempat, bersila kelima, dan bersila kesatu.”

Seperti yang kita pahami, persoalan terkait etika berhubungan dengan masalah nilai. Adapun postulat mengenai nilai Ilmu Filsafat Pancasila ialah hakikat manusia Pancasila. Oleh sebab itulah rumus dari keseluruhan rangkaian kesatuan sila dalam Pancasila yang bersinggungan dengan etika Politik Pancasila diawali dari sila kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Untuk menguraikan rumus tersebut ke dalam penjelasan yang lebih terang, maka pemahaman akan etika politik Pancasila mesti disesuaikan dengan kebutuhannya. Dengan kata lain, setiap sila dalam Pancasila harus diuraikan dengan pengertian-pengertian yang umum ke dalam pengertian yang khusus. Beriringan dengan hal tersebut, yang harus diingat adalah setiap pemahaman mengenai sila-sila dalam Pancasila dikualifikasi oleh keempat sila yang lain.

Etika Politik Pancasila dan Filsafat Politik Pancasila

Etika Politik Pancasila merupakan percabangan dari filsafat politik Pancasila yang memandang baik dan buruknya suatu perbuatan maupun perilaku politik dengan dasar Filsafat Politik Pancasila. Adapun definisi Filsafat Politik Pancasila yaitu segenap keyakinan yang diperjuangkan penganutnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia berdasarkan Pancasila.

Nilai-nilai Etika dalam Pancasila

Seperti yang kita pahami, etika tentunya membantu manusia dalam hal penentuan mengenai tindakan yang perlu dilakukan dan apa alasannya hal tersebut harus dilakukan. Pancasila sebagai dasar negara merupakan etika bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan nilai-nilai etika yang dapat kita temukan dalam Pancasila dimanifestasikan dalam bentuk tatanan seperti berikut:

  • Tatanan bermasyarakat memiliki nilai-nilai dasar seperti pelarangan akan eksploitasi sesama manusia. Semua orang wajib untuk berperikemanusiaan dan juga berkeadilan sosial.
  • Tatanan bernegara memiliki nilai-nilai dasar merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
  • Tatanan luar negeri memiliki nilai ketertiban dunia, perdamaian abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial.
  • Tatanan pemerintah daerah dengan nilai-nilai permusyawaratan yang mengakui asal-usul atau latar belakang keistimewaan daerah.
  • Tatanan hidup beragama dengan kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
  • Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga negara untuk membela negara.
  • Tatanan pendidikan, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  • Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
  • Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan, dan
  • Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran bagi seluruh masyarakat.

Contoh penerapan etika politik Pancasila

Contoh kasusnya dapat kita temukan dalam kegiatan kampanye yang (harusnya) sesuai dengan etika Pancasila.  Dalam kampanye, orang-orang dapat menjalankan dengan caranya, akan tetapi harus tetap dengan memegang prinsip sebagai berikut:

  • Berkampanye dengan tetap mengusung nilai-nilai kemanusiaan, contohnya dengan tetap menjaga keamanan pihak lain, tidak merugikan orang lain, dan menjaga hubungan baik dengan sesama agar tetap harmonis, sehingga bentrokan tidak akan pernah terjadi. Hal ini berdasarkan pada sila ke-3.
  • Peraturan dalam kegiatan berkampanye harus dipatuhi, sebab dengan menaati ketentuan berarti memberi keselamatan bagi diri kita semua. Hal tersebut berdasarkan pada sila ke-4.
  • Pemilu dan kampanye memiliki tujuan akhir kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. Oleh sebab itu, sebaiknya hindari hal-hal yang menjadi penghambat usaha-usaha menuju kesejahteraan bersama. Langkah tersebut berdasarkan sila ke-5.
  • Dengan menyadari bahwa semua perbuatan yang tidak baik dengan mengatasnamakan Pemilu atau kampanye tidak akan lepas dari pengawasan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini didasarkan pada sila ke-1.
  • Permasalahan inti politik tentu saja tidak terbatas pada masalah kekuasaan. Namun, politik ialah tentang seperangkat keyakinan dalam kehidupan bermasyarakat, juga berbangsa dan bernegara yang diperjuangkan oleh orang-orang yang meyakininya. Demikian adalah pengertian “politik” secara ilmiah. Adapun pengertian “politik” secara non-ilmiah yaitu yang memiliki prinsip perjuangan demi memenangkan kekuasaan. Bahkan cenderung mengabaikan nilai kemanusiaan, sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!

Tag: nasional politik pengetahuan kasus hukum pancasila

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA