Bolehkah membagikan daging kurban yang telah dimasak jelaskan

 

Bolehkah membagikan daging kurban yang telah dimasak jelaskan

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :

Bolehkah membagikan daging kurban dalam bentuk sudah dimasak (matang)?

Jawab :

Ada khilafiyah ulama mengenai hukum membagikan daging kurban yang sudah dimasak (bukan daging mentah). Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, mengatakan boleh. Sedang ulama ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan tidak boleh.

Rincian pendapat para ulama itu adalah sbb :

Pertama, menurut ulama Hanafiyah, boleh hukumnya membagikan daging hewan kurban dalam bentuk yang sudah dimasak. Kata Imam Al Kasani :

والأفضل أن يتصدق  بالثلث ويتخذ الثلث ضيافة لأقاربه وأصدقائه ويدخر الثلث

“Yang afdhol adalah mensedekahkan sepertiganya, kemudian menjadikan sepertiganya sebagai jamuan  makan untuk para kerabat dan teman [berarti sudah dimasak], dan sepertiganya lagi untuk disimpan.” (Imam Al Kasani, Bada`i’u Al Shana`i’, Beirut : Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, 1424/2002, Cet II, Juz VI, hlm. 329; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz V, hlm. 102).

Kedua, menurut ulama Malikiyyah, daging hewan kurban boleh dibagikan baik dalam keadaan masih mentah, maupun dalam keadaan sudah dimasak. Imam Ibnu Abdil Barr meriwayatkan perkataan Imam Malik sebagai berikut :

وقال مالك : لا حد فيما يأكل ويتصدق ويطعم الفقراء والأغنياء ، إن شاء نيئاً وإن شاء مطبوخاً

“Imam Malik berkata,”Tidak ada batasan pada apa  yang dimakan, disedekahkan, dan diberikan sebagai makanan oleh pekurban bagi kaum fakir dan kaum kaya. Jika mau, dia boleh memberikan dalam kondisi mentah, dan jika mau, dia boleh memberikan dalam keadaan sudah dimasak.” (Ibnu Abdil Barr, Al Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah Al Maliki, Juz I, hlm. 424).

Ketiga, menurut ulama Syafi’iyah, wajib membagikan daging kurban dalam keadaan masih mentah, tidak boleh keadaan sudah dimasak. Imam Al Khathib Al Syarbaini mengatakan :

وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا

“Disyaratkan pada daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/miskin yang mengambilnya dapat mentasharruf-kan dengan leluasa dengan menjual dan semacamnya, seperti ketentuan dalam bab kafarat (denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan mengundang orang fakir untuk memakannya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka berupa daging yang sudah dimasak.” (Khathib Asy Syarbaini, Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfazhi Al Minhaj, Beirut : Darul Ma’rifah, Cet I, 1997 / 1418, Juz IV, hlm. 388).

Keempat, menurut ulama Hanabilah, sama dengan pendapat ulama Syafi’iyyah, yaitu wajib membagikan daging kurban dalam keadaan masih mentah, tidak boleh keadaan sudah dimasak. Imam Al Buhuti, seorang ulama Hanabilah mengatakan :

فَإِنْ لَمْ يَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ نِيءٍ مِنْهَا ، ضَمِنَ أَقَلَّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ ، كَالْأُوقِيَّةِ  

“Jika pekurban tidak menyedekahkan daging kurbannya dalam bentuk daging mentah sedikitpun, maka dia wajib menjamin harganya dalam ukuran yang dapat disebut sedekah, misalnya satu uqiyah.” (Imam Al Buhuti, Kasysyaful Qina’, Juz VII, hlm. 444). (Ketr : 1 uqiyah = 40 dirham = 40 x Rp 70.000 = Rp 2.8000.000 (lihat https://www.dorar.net/hadith/sharh/139692)

Kami condong kepada pendapat yang membolehkan membagikan daging hewan kurban dalam keadaan sudah dimasak, karena pembagian ini termasuk ke dalam “memberikan makanan kepada orang lain” (الإطعام) yang caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara’. Inilah pendapat yang rajih bagi kami.

Syekh Nada Abu Ahmad mengatakan dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam Al Udh-hiyyah :

وهذا الكلام لا دليل عليه فالله تعالي قال : { فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ} ( الحج : 28) ولم يفصل سبحانه وتعالى هل يكون الإطعام باللحم النييء أم المطبوخ فالأمر فيه سعة، وعلى هذا يجوز دفع اللحم للفقراء نيئاً أو مطبوخاً ، وإن كان النبي صلى الله عليه وسلم يفضل أن يخرج اللحم نيئاً ، كما كان النبي  صلى الله عليه وسلم  يفعل، لكن ليس في ذلك دليل علي المنع من خروج اللحم مطبوخاً

“Pendapat ini [yang melarang membagikan dalam bentuk masakan] tidak ada dalilnya, karena  Allah SWT berfirman :

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS Al Hajj : 28)

Dan Allah SWT tidak merinci apakah memberikan makan itu dengan daging mentah ataukah daging yang sudah dimasak. Jadi masalah ini sebenarnya longgar. Maka boleh membagikan daging kurban kepada kaum fakir baik daging mentah maupun sudah dimasak, meskipun Nabi SAW lebih mengutamakan memberikan dalam bentuk daging mentah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW, tetapi ini bukan berarti larangan untuk memberikannya dalam bentuk sudah dimasak.” (Syekh Nada Abu Ahmad, Al Jami’ li Ahkam Al Udh-hiyyah , hlm. 54). Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 22 Juli 2021

 Shiddiq Al Jawi

HARI Raya Idul Adha 1441 Hijriah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena pandemi Covid-19. Sekarang perayaannya harus menerapkan protokol kesehatan. Pembagian daging kurban misalnya harus diantar langsung ke rumah masing-masing mustahik demi menghindari kerumunan yang berisiko menyebarkan Covid-19.

Daging kurban yang dibagikan tentu saja dalam kondisi mentah. Lalu, bagaimana hukumnya jika daging kurban dibagikan setelah diolah atau dimasak seperti berupa rendang atau kornet?

Ketua Umum Wadah Silaturahmi Khotib Indonesia (Wasathi) Ustadz Fauzan Amin mengatakan, pada dasarnya sunah hukumnya daging kurban didistribusikan langsung atau dalam keadaan mentah. Serta dibagikan dalam keadaan sudah diolah juga dibolehkan (mubah).

Baca juga: Wajib Ditaati, Ini Panduan Menyembelih Hewan Kurban di Tengah Corona

“Tapi jika stok daging melimpah dan khawatir busuk sebelum terdistribusi, maka boleh diawetkan sementara (diolah),” katanya saat dihubungi Okezone, Kamis (30/7/2020).

Apalagi di saat wabah Covid-19 ini, panitia kurban harus memutar strategi agar pembagian daging kurban tetap tersampaikan kepada yang berhak. Sekaligus menghindari penularan mata rantai virus corona.

Hal ini juga senada dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 37, yaitu berhubungan dengan hukum membagikan daging kurban yang sudah diolah dan didistribusikan ke luar daerah.

Dikutip dari laman resmu MUI, Kamis (30/7/2020), dalam fatwa ini disebutkan, bahwa boleh membagikan daging kurban dalam bentuk olahan dalam kondisi tertentu.

“Menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak,” kata Sekretaris Fatwa MUI, KH. Asrorun Niam Sholeh.

Berikut ini isi fatwa MUI No. 37 terkait dengan pendistribusian daging kurban yang sudah diolah:

1. Pada prinsipnya, daging hewan kurban disunnahkan untuk:

a. didistribusikan segera (ala al-faur) setelah disembelih agar manfaat dan tujuan penyembelihan hewan kurban dapat terealisasi yaitu kebahagian bersama dengan menikmati daging kurban.

b. dibagikan dalam bentuk daging mentah, berbeda dengan aqiqah.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

c. didistribusikan untuk memenuhi hajat orang yang membutuhkan di daerah terdekat.

2. Menyimpan sebagian daging kurban yang telah diolah dan diawetkan dalam waktu tertentu untuk pemanfaatan dan pendistribusian kepada yang lebih membutuhkan adalah mubah (boleh) dengan syarat tidak ada kebutuhan mendesak.

3. Atas dasar pertimbangan kemaslahatan, daging kurban boleh (mubah) untuk:

a. Didistribusikan secara tunda (ala al-tarakhi) untuk lebih memperluas nilai maslahat.

b. dikelola dengan cara diolah dan diawetkan, seperti dikalengkan dan diolah dalam bentuk kornet, rendang, atau sejenisnya.

c. Didistribusikan ke daerah di luar lokasi penyembelihan.

5 dari 6 halaman

Dikutip dari NU Online, ada solusi buat kamu yang ingin kurban dengan uang pas-pasan. Sebenarnya, ulama memberikan pertimbangan yang tidak berkaitan dengan masalah keuangan namun lebih pada nilai syi'ar, kualitas dan kuantitas daging, serta jumlah hewan yang dikurbankan.

Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi dalam Tausyikh 'ala Ibni Al Qosim menguraikan ketentuan apa saja yang patut dipenuhi dalam berkurban.

Kurban Online, Alternatif Rayakan Idul Adha dari Rumah

" Dan paling utamanya hewan kurban dilihat dari banyaknya daging (kuantitas) dan tampaknya nilai syiar adalah unta, lalu sapi, kemudian kambing. Sedangkan dari sisi kualitas daging, maka domba lebih utama dari kambing kacang, kemudian kerbau lebih utama daripada sapi Arab, karena kualitas dagingnya lebih baik; dan dilihat dari banyaknya hewan yang dialirkan darahnya serta kualitas dagingnya, maka tujuh kambing lebih utama daripada satu unta atau sapi. Dari segi warna, maka yang putih lebih utama, kemudian kuning, kemudian putih keruh, kemudian merah, kemudian putih campur hitam, kemudian hitam. Ketika terjadi pertentangan antara beberapa kriteria, maka yang gemuk hitam lebih utama daripada putih kurus dan yang dapat mencakup dua kriteria lebih utama daripada yang hanya satu kriteria saja, dan yang putih gemuk ketika berjenis kelamin jantan lebih utama secara mutlak."

Rincian di atas bisa menjadi pertimbangan untuk membeli hewan kurban. Sehingga tidak harus yang gemuk, selama standarnya keabsahannya terpenuhi.