Berilah contoh beberapa adat yang bernafaskan Islam yang dilaksanakan di berbagai daerah

Jakarta - Watak agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial karena nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu, agama berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan. Seorang pembawa ajaran agama (nabi) mulanya menganggap agama adalah persoalan individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah Tuhan hanya dipahami dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk menjadi penyebar agama kepada masyarakatnya. Kemunculan sebuah "agama baru" dalam masyarakat tidak mungkin menjauhkan diri dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dianut. Agama selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi yang ada dan bukan memberangusnya sama sekali. Dengan demikian, agama adalah cerminan dari tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih sederhana, agama adalah warisan tradisi bukan sebaliknya.

Islam sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama baru dibanding agama-agama kuno lainnya, seperti Nasrani atau Yahudi. Islam lahir dari sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah) bangsa Arab, dan hampir-hampir waktu itu bangsa Arab tidak mempunyai peradaban sama sekali. Situasi kekacauan masyarakat yang barbar, nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah ciri utama bangsa Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama Muhammad mulai peduli untuk memperbaiki "kerusakan total" lingkungan masyarakatnya.

Muhammad pada awalnya mengisi hari-hari kehidupannya dengan ber-tahannuts atau berada dalam ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-pikuk masyarakat, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar kondisi carut-marut bangsanya dapat segera terselesaikan. Muhammad seringkali menyepi di sebuah bukit yang bernama Jabal Nur, beberapa kilometer dari pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi keramaian masyarakat Arab.

Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya,senantiasa dituntun oleh warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun menganut agama bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah) yang hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad yang mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya.

Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam bahasa Arab "ad-diin", dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa perbedaan keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi di antara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya. Oleh karena itu, seorang ahli bahasa dan antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah "ad-diin" yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi yang diikuti" (ad-ddinu huwa al-'aadatu wa as-sya'n).

Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap pemeluknya untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktik khitan, haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian warisan dan lainnya merupakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat masyarakat Arab, termasuk bagian tradisi keagamaan yang dijalankan oleh Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling melengkapi, dan tentu saja agama berkecenderungan untuk memperbaiki setiap "penyimpangan" sebuah tradisi.Agama dan tradisi atau budaya kemudian menjadi pola hidup yang "bernilai" di tengah masyarakat karena mampu merekatkan kehidupan sosial secara lebih harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak dulu tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan yang dihadapkan dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi sekat dalam kehidupan sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat tradisi yang "berserakan". Masyarakat beragama tentu saling menghormati dan menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa harus mempertentangkannya.

Masyarakat tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab keagamaan yang tersedia, mereka cukup mendengar dan mentaati pitutur para kiai kampung atau ulama setempat tentang bagaimana bersosialisasi secara baik dengan masyarakat. Cermin masyarakat terdahulu adalah soal ketaatan mereka terhadap tradisi dan agama, sehingga beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan yang melekat secara pribadi ke dalam hati masing-masing pemeluknya, tidak diungkapkan menjadi "perbedaan" tatkala berada dalam lingkungan masyarakat.

Hal itu selaras bahwa agama pada awalnya adalah masalah individual, seperti Islam yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad bercorak "individualistik". Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi" oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan agar agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan sosial.Menarik ketika kemudian keberislaman di Indonesia terkait erat dengan tradisi dan budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam Nusantara" yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya Islam Nusantara sebenarnya, bahwa Islam Arab pun terkait dengan tradisi masyarakat Arab yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini. Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi bisa jadi ahistoris, terlebih menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan" yang dibawa oleh orangtua dan leluhur kita. Bukankah Nabi Muhammad juga sama, mengikuti agama Ibrahim dan tidak pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan agama yang diwariskan Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama Yahudi dan Nasrani yang ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, Surat Al-Baqarah: 135).Saya muslim, dan saya beragama karena warisan dari orangtua saya, dan terus-menerus dari keturunan yang di atasnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad, dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim. Agama dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan karena selalu "menyesuaikan", dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan. Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya.

Tuhan pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang ada adalah perbedaan kesukuan, kekelompokan dan kebangsaan sehingga manusia dapat saling mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat" dalam kehidupan sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"-nya, sebagai perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun-temurun.

Memang, istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan "konflik horiziontal", padahal sesungguhnya NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur. Islam Nusantara tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab, tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan terpisah.

Bahkan, jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara fenomenologis, jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial, Islam mendahuluinya.

(mmu/mmu)

Diterbitkan tanggal 26 Desember 2019

Oleh: Khoiri Muhammad Syifa
(Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Islam 1C)
E-mail:

Abstract

Wide area and many people make Indonesia rich in culture and local wisdom. Thus, the culture and local wisdom that exist in each region is defferent due to Indonesian society is multicultural. In an anthropological perspective, Indonesia consists of hundreds of tribes and races. This Indonesian ethinc group has its own culture, has its own noble values, and has its own local superiority or local wisdom. One of them is Karanganyar precisely in the village of Jatipuro there is a local wisdom which is still preserved, namely the Javanese Apeman traditional ceremony which is often called Wahyu Kliyu, as a symbol of gratitude for his blessings and gifts. Apem is a traditional heritage food that has philosophy in the Wahyu Kliyu tradition.

Abstrak:Luas wilayah dan banyaknya masyarakat menjadikan Indonesia kaya akan kebudayaan dan kearifan lokalnya. Sehingga, budaya dan kearifan lokal yang ada di setiap daerah itu berbeda-berbeda yang disebabkan masyarakat Indonesia bersifat multikultural. Dalam perspektif antropologi, Indonesia terdiri dari ratusan suku dan ras. Suku bangsa Indonesia ini memiliki kebudayaannya sendiri, memiliki nilai-nilai luhur sendiri, dan memiliki keunggulan lokal atau kearifan lokalnya sendiri. Salah satunya yang ada di Karanganyar tepatnya di desa Jatipuro terdapat kearifan lokal yang sampai saat ini masih di lestarikan yakni upacara adat jawa apeman yang sering disebut Wahyu Kliyu, sebagai simbul rasa syukur terhadap nikmat dan karunianya. Apem merupakan makanan tradisional warisan leluhur yang mempunyai filosofi dalam tradisi Wahyu Kliyu.

A. Pendahuluan

Seperti diketahui bahwa masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan beragam dialeknya secara turun temurun (H.M. Dareri Amin, 2003: 3).Menurut Niels Mulder Jawa adalah kelompok etnik terbesar diasia tenggara yang berjumlah kurang lebih 40% dari 200 juta penduduk Indonesia (2001: 1).

Secara etimologis, kata ‘Kebudayaan’ bersal dari bahasa sanskerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya (Sidi Gazalba, 1998:35).Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya diderivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya dapat diartikan sebagai pikiran akal budi dan adat-istiadat. Budaya juga merupakan salah satu cara hidup yang terus berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok atau orang yang diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Sedangkan kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Menurut S. Swarsi, menyatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan melembaga (Mariane, 2014).

Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan menurut Alvin L. Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat antara lain lembaga masyarakat, sikap, keyakinan, motivasi serta sistem nilai yang diberlakukan pada kelompok. Sedangkan dalam disiplin antropologi yang dikenal istilah lokal genius Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (lokal genius) adalah kebenaran yang teah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal itu sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah menyatu sedemikian rupa dengan sistem  kepercayaan, norma dan budaya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia.

Unsur-unsur yang membentuk budaya dan kearifan lokal yaitu : pertama, manusia; kedua; gagasan yang bernilai baik; ketiga, kebenaran yang telah mentradisi; dan keempat, diakui oleh masyarakat. Dengan empat unsur tersebut dapat dipahami bahwa dalam budaya dan kearifan lokal nilai agama tidak dapat terpisahkan. Gagasan yang bernilai baik kemudian menjadi kebenaran yang mentradisi dan diakui merupakan prinsip dasar dari semua agama khususnya agama islam.

Menurut Sartono Kartodirdjo, bahwa dalam masyarakat tradisional pola kehidupan diatur oleh kaidah-kaidah dari nenek moyang yang dianggap berlaku terus. Tradisi yang berlaku dalam masyarakat sangat mapan sehingga memperkuat keseimbangan hubungan-hubungan sosial dalam bermasyarakat, yang kesemuaanya itu menimbulkan rasa aman, dan tentram dengan kepastian yang dihadapi. Oleh karena itu tradisi dihargai sebagai nilai tersendiri yang tinggi, maka perlu dipertahankan; bahwa ada anggapan dimana tradisi adalah suci dan oleh karenanya harus dihormati (Sartono Kartodirdjo. 1993:99).

Budaya juga dimaknai sebagai sesuatu yang membuat kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bernilai untuk ditempuh. Untuk memahai nilai-nilai budaya, terlebih dahulu harus diketahui pengertian nilai dan budaya. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia (Driyarkara dalam Suwondo, 1994). Nilai-nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan, meski kebaikan lebih melekat pada ‘hal’ nya. Sedangkan ‘nilai’ lebih merujuk pada ‘sikap orang terhadap sesuatu atau hal yang baik’.

Nilai budaya menurut Koentjaraningrat sebenarnya merupakan kristalisasi dari lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni (1) hakikat dari hidup manusia, (2) hakikat dari karya manusia, (3) hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakikta dari hubungan manusia dengan sesamanya. Apapun nilai yang ada pada diri seseorang atau sekelompok orang akan menentukan sosok mereka sebagai manusia berbudaya.

Budaya progresif akan mengembangkan cara berpikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari dari budaya ekspresif bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progresuf pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru,  sedangkan pendukung budaya ekspresif biasanya statis atau tradisional, yang memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.

Islam Jawa secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena dipulau Jawa terdapat budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa, seperti budaya Sunda dengan bahasa Sunda (Jawa Barat), budaya Betawi dengan bahasa Melayu Betawi (Jakarta) dan budaya Madura dengan bahasa Madura (Jawa Timur bagian utara dan timur). Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang melahirkan dan menopang kebudayaan Jawa.

Karakter masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat toleran dengan budaya asing yang masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, termasuk salah satunya adalah islam hal ini terjadi karena sikap mental masyarakat Jawa berbasis pada moralitas harmonisasi kehidupan.Islam sebagai agama samawi dimaksudkan sebagai petunjuk manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam.

B. Hubungan Islam dan Kebudayaan

Saat islam datang, masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai-nilai yang bersumber pada keyakinan animisme, dinamisme, Hindu dan Buddha. Ajaran Islam dan budaya Jawa justru saling terbuka untuk berinteraksi dalam peraktik kehidupan masyarakat. Sikap toleran terhadap budaya lama yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa ternyata cukup berhasil.Para wali membiarkan budaya lama tetap hidup, tetapi diisi dengan nilai-nilai ke Islaman.

Perpaduan Islam Jawa yang telah dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Jawa masa lampau ternyata memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan budaya Jawa. Budaya Jawa semakin diperkaya nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan pedoman kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Perpaduan Islam dan kebudayaan Jawa dapat kita jumpai dalam upacara tradisional.

Upacara tradisional merupakan salah satu wujud ekspresi manusia dalam rangka mengungkapkan kehendak atau pikirannya melalui upacara.Dalam upacara terdapat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Melalui upacara juga akan dapat diketahui pandangan hidup masyarakat dan hubungan mereka dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat (1974: 12-13), sistem religi dan upacara keagamaan merupakan unsur kebudayaan universal yang paling sulit berubah dan paling sulit dipengaruhi kebudayaan lain.

C. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode kajian etnografi yang merupakan penelitan untuk mendiskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Sedangkan penelitian etnografi adalah suatu kegiatan pengumpulan bahan-bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat (Suwardi, 2012:50).

Bahan-bahan etnografi berasal dari masyarakat yang disusun secara deskriptif Deskripsi di pandang bersifat etnografis apabila mampu melukiskan fenomena budaya. Menurut koentjaraningrat (1990:333) deskripsi etnografi meliputi unsur-unsur kebudayaan secara universal yaitu sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi.

Langkah-langkah etnografer yaitu menetapkan informan, melakukan wawancara, membuat catatan etnografis, mengajukan pertanyaan deskriptif, melakukan analisis wawancara etnografis, membuat analisis dominan, mengajukan pertanyaan struktural, membuat analisis taksonomik, mengajukan pertanyaan kontras, membuat analisis komponen, menemukan tema-tema budaya, dan menulis etnografi.

Kedua heuristik merupakan salah satu metode penelitian sejarah yang bertujuan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, baik lisan maupun sumber tertulis menurut (Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, 2011:43). Semua jenis penelitian tentang sejarah menempatkan sumber sejarah sebagai syarat mutlak yang harus ada di dalam metode ini menggunakan berbagai macam sumber lisan dan wawancara.

D. Waktu penelitian

Penelitian ini saya lakukan dengan metode Etnografi, Observasi Langsung dan Wawancara. Observasi dan wawancara dilakukan pada 23 november 2019.

E. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Kendal Rt/Rw, Jatipura, Karanganyar, Jawa Tengah.

F. Subyek penelitian

Subyek penelitian adalah Kearifan lokal dan kebudayaan Wahyu Kliyu di Desa Kendal, Jatipura, Karanganyar, Jawa Tengah.

G. Sumber Data

Berkaitan dengan sumber ini adalah kearifan lokal dan kebudayaan Wahyu Kliyu di Desa Kendal.

H. Pembahasan

Dokumentasi: Persiapan upacara wahyu kliyu

            Indonesia memang kaya akan kebudayaan tidak hanya yang sudah diakui dunia namun masih banyak kebudayaan Indonesia  yang belum terekspos dunia. Dusun Kendal contohnya merupakan wilayah dimana jauh akan dari kata keramaian kota yang terletak di kecamatan Jatipuro kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, meski terpelosok namun dusun ini memiliki potensi kebudayaan yang luar biasa, karena seakan kebudayaan di dusun ini terhindar dari perkembangan arus moderenisasi sehingga kebudayaan tersebut masih terjaga, hal ini justru menjadi daya tarik wisatawan yang melihat atau mengikuti acara yang masih kental akan warisan  nenek moyang.

            Bagi masyarakat dusun Kendal kebudayaan ini sudah menjadi identitas mereka. Kebudayaan ini menjadikan apem sebagai media pelaksanaan Wahyu Kliyu, Wahyu Kliyu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu “yaa hayyu ya qoyyum”atau “ya qowiyu” yang artinya “yang memberi kekuatan”.Wahyu Kliyu merupakan upacara adat Jawa apeman yang dilaksanakan sebagai rasa syukur bahwa setiap tahun tanah di dusun tersebut diberi kesuburan sehingga mendapatkan polowijo, padi, buah-buahan dan lain-lainnya yang melimpah atau bisa disebut sedekah bumi.

            Dalam hal ini kebudayaan Wahyu Kliyu mempunyai nilai- nilai religi dimana di dalamnya terdapat makna yang mendalam yakni mengajarkan pemahaman terhadap hubungan Tuhan dengan manusia dan alam sekitarnya. Apem disini tidak hanya sebagai kue khas jawa namun juga sebagai simbol sakral dalam pelaksanaan tradisi Wahyu Kliyu yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun sejak zama ki Renggo Wijoyo menjabat sebagai kepala Desa dilaksanakan habis panen setiap musim kemarau 1 tahun sekali.

            Bagi masyarakat jawa di bulan suro pada umumnya diperingati melalui berbagai adat dan budaya yang ada di sekitar masyarakat Jawa, seperti Wahyu Kliyu merupakan salah satu tradisi dari sekian banyak tradisi masyarakat jawa yang dilaksanakan pada bulan suro. Tradisi Wahyu Kliyu yang hanya terdapat  di desa Kendal merupakan sebuah tradisi asli di dusun tersebut.H

            Menurut keterangan dari pak Rakino selaku sesepuh desa kendil dahulu pernah dimana masyarakat dusun Kendal tidak lagi melaksanakan tradisi upacara Apeman atau yang disebut Wahyu Kliyu.Saat itulah terjadi gempa yang membuat tanah di dusun Kendal mengalami pembengkahan atau retakan yang sangat dalam. Sehingga masyarakat di dusun tersebut merasa panik dan ketakutan karena kejadian itu, selang 7 hari setelah kejadian itu timbul wabah penyakit dimana hampir seluruh kampung banyak yang terkena wabah tersebut, bahkan ada yang sakit paginya dan sorenya meninggal maupun sebaliknya, jadi hampir setiap hari banyak orang yang meninggal sehingga pada saat itu kepala desa yang bernama Renggo Wijoyo menyuruh warganya untuk mengukur kedalam tanah yang retak dengan menggunakan sebilah bambu yang dipangkas dengan segala kekuatan beberapa orang tersebut memegang dan memasukan bambu tersebut namun tak terjangkau karena retakan tanah itu terlalu dalem.

            Karena cara pertama tidak berhasil Ki Renggo Wijoyo mencari cara lain, ki Renggo Wijoyo menyuruh kembali salah satu warganya untuk memotong bambu dari ujung sampai pangkal bahkan daunya tidak dipangkas pelan-pelan tapi pasti bambu itu dapat menjangkau dasar tanah, dengan rasa senang warga bersama-sama menaikan keatas bambu tersebut.

            Tak disangka setelah bambu tersebut dinaikan terlihat sebuah uang logam yang berkilau diujung sebilah bambu yang seolah-olah dilem dengan menggunakan tanah liat yang berjejer diantara daun-daun bambu itu, semua yang melihatnya terheran-heran melihat dan keajaibannya tersebut.

            ki Renggo yang melihat kejadian itu lalu menyuruh warganya untuk segera mengambil uang logam untuk dicuci agar bersih, tak lama kemudian mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk mengambil langkah selanjutnya setelah lama bermusyawarah mereka pun menyepakati untuk membawa penemuan tersebut ke Kraton Solo.

            Ki Renggo didampingi Ki Nano dan sekaligus Ki Samud bergegas pergi menghadap Punggowo Keraton, sesampainya di disana mereka disambut ramah oleh beberapa pegawai Keraton mereka pun diantarkan untuk bertemu Ki Menang. Dalam pertemuan yang lama Ki Renggo dan 2 pendampingnya bergantian  untuk menceritakan keadaan di desanya dengan adanya gempa yang disusul kejadian aneh dimana didaun bambu yang digunakan untuk mengukur kedalaman retakan tanah terdapat uang logam dan menceritakan desanya yang terkena wabah yang luar biasa.

            Setelah mendengarkan cerita dari Ki Renggo dan pendampingnya tentang keadaan yang baru terjadi di desanya, Ki Menang mengangguk-angguk lalu menyuruh mereka diam lantas Ki Menang menahan nafas panjang dan berdoa menggerakan batinnya setelah itu Ki Menang tersenyum lalu berkata “begini kisanak semua telah tertera dalam penerawanganku”, bahwa hal itu merupakan luapan dari sang pencipta yang mengingatkan kepada hambanya agar selalu bersyukur ketika mendapatkan apapun.

            Sekian lama berbincang-bincang Ki Menang mengajak Ki Renggo dan para pendampingnya untuk makan bersama sehingga bisa berpikir jernih setelah makan mereka pun melanjutkan pembicaraan tersebut, sampai akhirnya Ki Menang berkata “menurut penerawanganku kalian harus melaksanakan Wahyu Kliyu secara rutin setahun sekali tepatnya dibulan Suro tanggal 15 dan mengunakan 344 kue apem  sebagai sarana media dalam upacara tersebut”.

            Sungguh hal itu sebuah amanah yang harus dilakukan, sebelum pulang Ki Renggo dan pendampingnya mendapat pesan dari Ki Menang agar membawa pulang lagi sebagian uang logam itu sebagai tanda bahwa didesa kalian ada keajaiban agar kelak suatu saat anak cucu kalian mengerti sejarah awal mula Wahyu Kliyu ini dengan jelas dan sebagian uang logam tersebut ditinggal dikraton untuk disimpan sebagai kenangan serta catatan  bahwa ada warga dari dusun Kendal pernah menghadap dan meminta solusi atas kejadian yang pernah terjadi didesanya.

            Alasan mengapa dalam tradisi Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai medianya karena, istilah apem sendiri sebenarnya diambil dari bahasa Arab yaitu afuan/afuwwun, yang berarti ampunan. Sedangan dalam filosofi jawa, kue apem merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Kue apem dalam tradisi Wahyu Kliyu secara garis besar mempunyai makna filosofi yang sama di kalangan masyarakat Jawa. Simbolisme kue apem sebagai salah satu makanan khas Indonesia ini sangat menarik untuk dibahas karena memiliki banyak makna yang terkandung didalamnya.

            Dalam tradisi Wahyu Kliyu masyarakat setempat mengungkapkan adanya jumlah ampem yang harus dibuat dengan aturan yang telah ada yakni sebanyak 344, yang kemudian dimasukkan kedalam tenggok (wadah yang dibuat dari anyaman bambu) dan selanjutnya dibawa ketempat diadakannya Wahyu Kliyu.

            Adapun prosesi utama tradisi ini pada saat pelemparan apem yang harus dilempar satu persatu dan hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki, dengan berdzikir mengucap “Yaa Hayyu Ya Qayyum” namun berubah menjadi “Wahyu Kliyu” karena faktor lidah orang jawa yang susah dalam mengucap bahasa arab. Apem tersebut dilempar ke wadah dimana alasnya terbuat dari daun pisang.

            Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur masyarakat dusun Kendal kepada Tuhan yang Maha Esa. Setelah kue apem terakhir dilempar, kue tersebut ditutup dengan daun pisang kemudian didoakan untuk mengakhiri ritual pelemparan apem sebelum dapat di bawa pulang oleh masyarakat sekitar, untuk dimakan karena masyarakat sekitar jika dapat membawa manfaat seperti dapat menyembuhkan segala penyakit, dan lain-lainnya. Selain itu daun pisang yang setelah digunakan sebagai alas wadah pelemparan apem tersebut masyarakat sekitar percaya bila diberikan ke hewan ternak maka hewan itu dapat berkembang biak dengan baik.

            Acara Apeman tersebut selain dilaksanakan sebagai adat yang mana sekarang menjadi budaya sehingga tradisi ini juga sebagai catatan istimewa bagi warga Kendal. Nilai agama yang terkandung didalamnya yang mana kita sebagai manusia agar selalu bersyukur kepada sang pencipta Allah SWT atas pemberiannya.

            Tradisi ini sering dihadiri bukan hanya dari warga masyarakat Kendal saja melainkan juga warga-warga lain baik dekat maupun yang jauh, serta dihadiri perangakat desa, bapak camat dan seperangkatnya, tak ketinggalan aparat kepolisian, lebih istimewanya dihadiri oleh bapak Bupati karanganyar seperangkatnya dengan secara khusus diundang untuk memberikan tauziah sendiri tanpa perwakilan.

            Tak lupa bapak bupati juga membagikan sembako untuk anank-anak yatim piatu serta warga-warganya yang kurang mampu, sekarang Wahyu Kliyu bisa dikatakan sebagai acara adat Desa Kendal, bukan hanya sebagai acara adat melainkan juga sebagai ivent penting  sebagai deretan cagar budaya yang perlu dilestarikan sampai kapan pun.

I. Kesimpulan

            Tradisi Wahyu Kliyu merupakan tradisi Islam Jawa yang dilaksanakan setiap bulan suro tanggal 15, dimana waktu pelaksanaannya ditengah malem, prosesi ini dimulai  dengan melemparkan apem berjumlah 344 sembari berdzikir mengucapkan “Wahyu Kliyu” yang sebenarnya berasal dari kata arab yakni“Yaa Hayyu Ya Qayyum” (meminta kehidupan dan kekuatan kepada Allah), secara berulang-ulang setiap melempar apem  kewadah yang sudah disiapkan. Alasan mengapa dilaksanakan ditengah malam karena bukan hanya prosesi pelemparan sembari berdzikir namun terdapat pula prosesi dimana apem yang telah habis dilemparkan oleh masyarakat akan didoakan karena itulah pelaksanaannya pada waktu malam agar lebih khusyuk saat berdoa.

            Setelah didoakan apem tersebut akan dibawa pulang masyarakat untuk dikonsumsi karena mereka percaya apem tersebut akan membawa kebaikan, mengapa dalam pelaksanaan Wahyu Kliyu menggunakan apem sebagai media perantaranya karena asal mu asal apem sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu “afuan” atau “afuwwun” yang berarti pengampunan, karena itulah apem selalu digunakan pada saat tradisi-tradisi jawa sebagai symbol pengampunan kepada Allah SWT.

            Dalam tradisi ini bukan hanya sekedar adat namun juga memiliki nilai-nilai islam, karena dalam tradisi ini mempunyai makna sebagai pengingat umat islam akan adanya tuhan yang memberi kehidupan dan mengajarkan agar selalu bersyukur atas semua pemberiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Sudibyo, Lies. 2013. ”Ilmu Sosial Budaya Dasar”. Yogyakarta: C.V Andi Offset.
Faishol Abdullah, Bakri Samsul. 2014.”Islam dan Budaya Jawa”.Surakarta: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta.
Warsito.2012.”Antropologi Budaya”.Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI).
Ismawati Esti. 2012.”Ilmu Sosial Budaya Dasar”.Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI).
Sulasman, Gumilar Setia. 2013.”Teori-teori Kebudayaan”.Bandung: CV Pustaka Setia.
Endraswara Suwardi. 2012.”Metodologi Penelitian Kebudayaan”. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA