Berikut ini sistem ratifikasi campuran kecuali

Tugas Pkn - HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN ORGANISASI INTERNASIONALSoal Hubungan Internasional dan Organisasi InternasionalBeserta Jawabannya!PerbaikanA. Berilah tanda silang (x) huruf a, b,c,d, atau e pada jawaban yang paling benar!1. Salah satu merupakan contoh dari treaty contract yaitu ...a. Konvensi Jenewa 1949b. Konvensi tentang Hukum Laut 1958c. Perjanjian Ekstradisi (Indonesia-Malaysia 1947)d. Deklarasi Bangkoke. Atlantik Charter2. Berikut merupakan contoh dari law making treaties, kecuali ...a. Konvensi Jenewa 1949b. Konvensi tentang Hukum Laut 1958c. Perjanjian Ekstradisi (Indonesia-Malaysia 1947)d. Deklarasi Bangkoke. Atlantik Charter3. Law making treaties pada umumnya adalah ...a. perjanjian-perjanjian bilateralb. perjanjian-perjanjian unilateralc. perjanjian-perjanjian multilaterald. perjanjian-perjanjian regionale. perjanjian-perjanjian kolektif4. Terikatnya para pihak (peserta) dalam suatu perjanjian adalah pada saat ...a. ditandatangani oleh wakil kuasa penuh diratifikasib. diperiksa isi dari piagam tersebut oleh negara yang bersangkutanc. dilakukan penukaran piagam ratifikasid. jawaban tidak ada yang benare. jawaban benar semuanya5. Perundingan (negotiation) dalam rangka perjanjian multilateral disebut ...a. talkb. signaturec. confirmationd. diplomatic conferencee. apporval6. Sistem semata-mata ratifikasi dilakukan oleh badan eksekutif (kepala negara), tanpa persetujuan badan legislatif disebut ...a. sistem Eropab. sistem Prancisc. sistem Republikd. sistem Amerikae. sistem Monarki

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Ratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU 24/2000”) adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.[1] Jadi, dengan melakukan ratifikasi, berarti Indonesia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Pengesahan suatu perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut, dan dilakukan melalui Undang-Undang ("UU") atau Keputusan Presiden (“Keppres”).[2] Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), pengesahan perjanjian internasional tertentu hanya dilakukan dengan UU.[3] Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.[4]

Pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan:[5]

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sedangkan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional melalui Keppres dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang:[6]

  1. ilmu pengetahuan dan teknologi,

  2. ekonomi,

  3. teknik,

  4. perdagangan,

  5. kebudayaan,

  6. pelayaran niaga,

  7. penghindaran pajak berganda,

  8. dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta

  9. perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.

Tentang undang-undang atau Keppres ratifikasinya sendiri, keberlakuannya sebagai undang-undang atau Keppres  di Indonesia tidak perlu menunggu adanya undang-undang implementasinya dahulu. Begitu undang-undang atau Keppres itu disahkan dan diundangkan, maka undang-undang atau Keppres tersebut sudah berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 87 UU 12/2011.

Contoh Kasus

Sebagai tambahan informasi, kami contohkan tentang masalah ratifikasi sebuah perjanjian internasional (berupa konvensi)[7], yaitu Konvensi New York 1958. Sebagaimana disebutkan dalam jurnal yang dibuat oleh Mutiara Hikmah, S.H., M.H. yang kami akses dari laman Indonesian Journal of International Law, dengan ikut sertanya negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut. Perbedaan pendapat terjadi mengenai pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia setelah diratifikasinya Konvensi New York 1958 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan 'Convention on The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards', yang Telah Ditandatangani di New York Pada Tanggal 10 Juni 1958 dan Telah Mulai Berlaku Pada Tanggal 7 Juni 1959 (“Keppres 34/1981”). Pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Gautama adalah “sesungguhnya Keppres tersebut tidak memerlukan lagi suatu peraturan tersendiri karena merupakan suatu peraturan yang sifatnya self executing”. Jadi, sesungguhnya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI karena di dalam konvensi itu sendiri tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang berlaku untuk putusan arbitrase dalam negeri anggota peserta konvensi.

Masih bersumber dari jurnal yang sama, pendapat berbeda dikemukakan oleh Prof. R. Asikin Kusumaatmadja bahwa masih perlu mengatur bagaimana tata caranya untuk pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Tidak semua pengadilan negeri di Indonesia dianggap cukup dapat mengikuti perkembangan Hukum Dagang Internasional. Dikhawatirkan pengadilan-pengadilan negeri di tempat-tempat terpencil akan menghadapi kesukaran secara teknis dan juga praktis dalam pelaksanaan putusan-putusan asing tentang arbitrase yang hendak dilaksanakan di dalam wilayah Republik Indonesia. Namun kemudian pada 1 Maret 1990, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia (“Perma 1/1990”) yang mendapat sambutan gembira dari kalangan praktisi hukum. Dalam Pasal 1 Perma 1/1990 tersebut dinyatakan bahwa “yang berwenang untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan keputusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jadi menjawab pertanyaan Anda, mengenai mulai berlaku dan mengikatnya sebuah undang-undang ataupun Keppres yang meratifikasi sebuah perjanjian internasional adalah saat tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Namun, masalah implementasinya masih ada pendapat yang berbeda apakah memerlukan peraturan implementasinya atau tidak.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Referensi:

[1] Pasal 1 angka 2 UU 24/2000

[2] Pasal 9 UU 24/2000 dan Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, 2003, Bandung: PT. Alumni, hal. 120  

[3] Pasal 10 ayat (1) huruf c UU 12/2011

[4] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU 12/2011

[5] Pasal 10 UU 24/2000 dan Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, hal. 120

[6] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, hal. 121

[7] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, hal. 119

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA