Bagaimana pendapat sarjana sarjana dari barat mengenai masuknya islam ke kepulauan indonesia

Bukti menguatkan Islam datang ke Nusantara sejak masa Rasulullah.

Jumat , 04 Oct 2019, 16:37 WIB

Antara/Irwansyah Putra

Pelajar melintas di depan Masjid Raya Baiturrahman saat mengikuti pawai keliling kota di Banda Aceh, Aceh, Selasa (30/4/2019).

Rep: Iit Septyaningsih Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Banyak orang meyakini, Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi, dibawa para pedagang dari Gujarat, India. Teori itu pun tertulis di berbagai buku sejarah.  

Baca Juga

Teori yang dibawa seorang orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje itu tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, sejumlah pakar sejarah dan arkeolog membuktikan, Islam sudah masuk ke Nusantara sejak Rasulullah SAW masih hidup.  

Arkeolog dari Australia National University, Peter Bellwood, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Indonesia, dan Arab, sebelum abad kelima masehi. Pada tahun ini Rasulullah belum lahir.   

Bellwood menyebutkan, beberapa jalur perdagangan utama sudah berkembang sehingga dapat menghubungkan Nusantara dengan Cina. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan tembikar Cina dan benda berbahan perunggu dari zaman Dinasti Han di Selatan Sumatra serta Jawa Timur. 

Sejarawan GR Tibbetts turut mengakui keberadaan jalur perdagangan utama itu. Dia kemudian meneliti lebih dalam mengenai perdagangan yang terjadi antara pedagang asal Arab dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam. 

Dirinya menemukan bukti-bukti adanya kontak perniagaan antara Jazirah Arab dengan Nusantara kala itu. Tibbets menulis, perdagangan terjadi karena kepulauan Indonesia menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke Cina sejak abad kelima Masehi. Maka, peta perdagangan utama di Selatan saat itu meliputi Arab-Nusantara-Cina. 

Kemudian sekitar 625 M atau 15 tahun setelah Rasulullah menerima Wahyu pertama, di sebuah pesisir pantai Sumatra sudah ada perkampungan Arab Muslim. Waktu itu masih dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.  

Di perkampungan tersebut banyak orang Arab tinggal. Mereka menikahi perempuan-perempuan lokal, dan beranak pinak di sana.   

Tempat belajar Alquran dan Islam yang merupakan cikal bakal lahirnya madrasah dan pesantren pun didirikan di perkampungan itu. Tempat tersebut dianggap pula sebagai rumah ibadah atau masjid.  

Profesor Hamka memperkuat temuan di atas dengan menyebut seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada 674 M. 

Hamka mengatakan, pengembara itu menemukan satu kelompok bangsa Arab yang mendirikan perkampungan sekaligus bermukim di pesisir barat Sumatra.  

Dijelaskan, kampung bernama Barus itu terletak di antara Kota Singkil dan Sibolga atau sekitar 414 kilometer dari Medan. Pada masa Sriwijaya, Kota Barus masuk dalam wilayahnya.  

Hanya saja setelah Sriwijaya mengalami kemunduran lalu digantikan Kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk ke wilayah Aceh. Kabarnya para pedagang Arab hidup berkecukupan serta memiliki kedudukan baik di Barus.   

Menurut Prof Hamka, penemuan tersebut mengubah pandangan orang mengenai sejarah masuknya Islam ke Tanah Air. Penemuan ini, kata dia, sudah dipastikan pula kebenarannya oleh para sejarawan dunia Islam di Princetown University di Amerika.  

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama Kedatangan Islam ke Nusantara Atau Di Indonesia perihal waktu dan tempat asalnya. Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri Belanda—mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya sangat strategis, berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur dari Kedatangan Islam ke Nusantara Atau Di Indonesia. Pendapat J. Pijnapel kemudian didukung oleh C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912). Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.

Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.

Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Senada dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya pengembangan agama Islam.

Semua teori di atas bukan mengada-ada, tetapi mungkin bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yang kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan. Pasai dan Malaka, adalah tempat di mana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka. Demikian pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke wilayahnya. Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa-Tallo.

Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur. Raja Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan agama. Tak lama setelah Kedatangan Islam ke Nusantara Atau Di Indonesia kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat, tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di bagian lain, Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung. Jaringan kolektif keislaman di Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.

Baca Juga 

Demikian Artikel Kedatangan Islam ke Nusantara Atau Di Indonesia Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo:)



  • Gerakan Non-Blok Atau Non Align Movement (NAM)
  • Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) Tahun 1955
  • Politik Luar Negeri Bebas Aktif Dan Pelaksanaannya
  • Masa Masa Dalam Transisi Tahun 1966 – 1967
  • Akulturasi Kebudayaan Nusantara Dan Hindu- Buddha


Oleh MUHAMMAD RIFAI FAJRIN Thursday, January 14, 2021

Rifaifajrin.com - Pendapat para sarjana Barat tentang masuknya Islam di Indonesia

Islamisasi di Indonesia berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Dimulai pada abad ke tujuh dan mengalami perkembangan pesat pada abad ke dua belaas hingga abad ke lima belas.  bahkan disebutkn a bahwa sampai saat ini proses islamisasi dianggap masih berlangsung. 

Islam telah memberikan kontribusi bagi terbentuknya nasionalisme di Indonesia melalui jaringan intelektual yang terbentuk pada masa lampau. 

Adapun masuknya agama Islam ke Indonesia yang dikemukakan oleh para ahli, adalah sebagai berikut: diantaranya teori gujarat (india), teori persia, dan teori arab-mesir.

Dalam pemaparan kali ini akan dibahas tentang pendapat para sarjana barat tentang masuknya islam di Indonesia, berikut ulasannya:

Sarjana-sarjana barat—kebanyakan dari Negeri Belanda— menaruh perhatian khusus pada proses masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaan ajaran islam, sebagaimana disinggung di atas telah menggelorakan semangat nasionalisme yang merepotkan pemerintah kolonial menghadapi perlawanan mereka.

Para sarjana barat mengemukakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. 

Pendapat ini dilandaskan pada bahwa Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya yang sangat strategis yaitu berada di jalur perdagangan antara timur dan barat menguatkan pendpat ini. 

Pedagang Arab umumnya menggunakan mahzabSyafi’i. Mereka bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah pada abad ke-tujuh Masehi. Mahzab syafii adalah mahzab yang umum digunakan di Indonesia, karena mahzab syafii paling toleran terhadap berbagai adat istiadat dan budaya asli nusantara.

Menurut salah satu sarjana barat, J. Pijnapel, mereka yang menyebarkan Islam ke Indonesia bukanlah orang Arab langsung. Melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur. 

Pendapat J. Pijnapel tersebut kemudian didukung oleh Cristian Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912) yang memiliki pendapat yang sama. 

Snouck Hurgronye

Tentu anda masih ingat dengan Dr Snouck Hurgronye, ia adalah seorang ahli islamologi dari negeri Belanda. Ia dikirim ke Indonesia oleh negeri Belanda untuk mempelajari adat istiadat masyarakat Aceh hingga Aceh akhirnya dapat ditaklukkan oleh Belanda. 

Nah, pendapat dan argumentasi Snouck didasarkan pada kesamaan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Pun demikian dengan bentuk batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, juga dianggap memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. 

Pendapat lain dari Moquetta, ia berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut didatangkan dan diimpor dari Gujarat. Atau dengan arti yang lain, nisan tersebut setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat.

Demikian artikel singkat tentang pendapat para sarjana barat tentang masuknya Islam ke Indonesia. semoga bermanfaat. 

Page 2

Home / DAFTAR ISI

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA