Bagaimana pendapat kamu mengenai fungsi candi

Semarapura, 8 Februari 2021

Kantor Kementerian Agama Kab. Klungkung melalui Penyelenggara Buddha mengikuti Pembahasan Fungsi Candi Borobudur Sebagai Sentral Peribadatan Umat Buddha Dunia yang dilaksanakan oleh Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI secara online (melalui Youtube). Adapun Rapat dilaksanakan sebagai tindaklanjut arahan Menteri Agama dan sekaligus untuk menyamakan persepsi di internal umat Buddha, demikian pengarahan dari Dirjen Bimas Buddha, Caliadi.  Pengarahan dilanjutkan oleh Sekdirjen, Nyoman Suriadarma, yang menambahkan bahwa umat Buddha harus satu komitmen, satu kerangka yang sudah matang, dan harus ada kolaborasi untuk mewujudkannya. Rapat kemudian dilanjutkan dengan forum dialog yang dipandu oleh Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha, Supriyadi. Dialog dimulai dengan mendengar pandangan dan/atau pendapat, masukan/saran dari YM. Sangha & Pimpinan Majelis/Organisasi Keagamaan Buddha (OKB). Dalam dialog yang berjalan dinamis tersebut, forum dialog “senada” menyampaikan bahwa : Candi Borobudur dan candi-candi lain agar lebih bisa di ekspose kembali untuk wisata ritual. Pimpinan majelis/OKB harus berkolaborasi dan bersinergi, harus ada satu titik temu, harus ada kesepakatan. Pemanfaatan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah, harus betul-betul menjadi Rumah Besar umat Buddha Indonesia.

Candi Prambanan. Foto: instagram.com/@prambananpark

Indonesia memiliki banyak peninggalan sejarah Hindu-Budha berupa candi. Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah ini bahkan menjadi candi Budha terbesar di dunia dan pernah masuk tujuh keajaiban dunia. Sedangkan candi Prambanan banyak dipuji sebagai salah satu candi terindah di Asia Tenggara.

Namun, tahukah Anda bahwa candi-candi Hindu dan Budha memiliki perbedaan? Dilihat dari fungsinya, candi Hindu dibangun sebagai makam para raja. Ritual yang dilakukan di candi kebanyakan berhubungan dengan pemakaman atau pemujaan roh nenek moyang.

Sedangkan candi Budha berfungsi sebagai tempat peribadahan umat Budha. Oleh sebab itu, candi-candi Budha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama.

Apa perbedaan lainnya? Nah, berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan candi Hindu dan Budha selengkapnya:

Bentuk puncak candi Hindu dan Budha memiliki perbedaan. Pada candi Budha, puncaknya berbentuk kubus atau biasa disebut stupa. Sedangkan pada candi Hindu, bentuk puncaknya meruncing berbentuk tabung atau disebut ratna.

Perbedaan Penyebutan Tingkatan Candi

Candi Borobudur. Foto: Pinterest

Dikutip dari situs Kemendikbud, Candi Hindu dan Buddha sama-sama terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap. Namun terdapat perbedaan istilah untuk menyebut tingkatan tersebut.

Pada candi Hindu, ketiga tingkatan disebut dengan istilah Bhurloka, Bhuvarloka dan Svarloka. Pada candi yang bernafaskan agama Buddha, ketiga tingkatan tersebut disebut dengan istilah Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.

Namun, makna dari tiga tingkatan tersebut sama. Bhurloka dan Kamadhatu memiliki arti dunia manusia yang masih terikat dengan hawa nafsu. Sedangkan Bhuvarloka dan Rupadhatu merupakan dunia di mana manusia mulai mensucikan diri namun masih terikat dengan rupa.

Tingkat terakhir, Svarloka dan Arupadhatu merupakan tingkatan tertinggi dari perjalanan hidup manusia, atau bisa juga diartikan sebagai tempat para dewa.

Candi Hindu memiliki relief yang menceritakan kisah Ramayana, Mahabharata, Garudeya, dan kisah-kisah Hindu lainnya. Sedangkan relief pada candi Budha menggambarkan kisah-kisah Buddha seperti Jataka, Lalitavistara, dan lain-lain.

Candi Borobudur. Foto: Shutter Stock

Pada candi Hindu, bangunan utama biasanya terletak di belakang dan jaraknya cukup jauh dari pintu masuk. Candi utama terletak di dataran yang paling tinggi dibandingkan bangunan lain.

Sedangkan pada candi Budha, bangunan utama bersifat mandala konsentris. Bangunan ini terletak tepat di tengah kompleks candi dan dikelilingi candi-candi perwara yang lebih kecil dalam barisan yang rapi.

Kata “candi” mengacu pada berbagai macam bentuk dan fungsi bangunan, antara lain tempat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian), dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14.

Karena ajaran Hindu dan Buddha berasal dari negara India, maka bangunan candi banyak mendapat pengaruh India dalam berbagai aspeknya, seperti teknik bangunan, gaya arsitektur, hiasan, dan sebagainya. Walaupun demikian, pengaruh kebudayaan dan kondisi alam setempat sangat kuat, sehingga arsitektur candi Indonesia mempunyai karakter tersendiri, baik dalam penggunaan bahan, teknik kontruksi maupun corak dekorasinya. Dinding candi biasanya diberi hiasan berupa relief yang mengandung ajaran atau cerita tertentu.

Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa bentuk candi merupakan pengetahuan dasar seni bangunan gapura, yaitu bangunan yang berada pada jalan masuk ke atau keluar dari suatu tempat, lahan, atau wilayah. Gapura sendiri bisa berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau sebagai pintu keluar masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah komplek bangunan tertentu. Gapura mempunyai fungsi penting dalam sebuah kompleks bangunan, sehingga gapura juga mencerminkan keagungan dari bangunan yang dibatasinya. Perbedaan kedua bangunan tersebut terletak pada ruangannya. Candi mempunyai ruangan yang tertutup, sedangkan ruangan dalam gapura merupakan lorong yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuk.

Beberapa kitab keagamaan di India, misalnya Manasara dan Silpa Prakasa, memuat aturan pembuatan gapura yang dipegang teguh oleh para seniman bangunan di India. Para seniman pada masa itu percaya bahwa ketentuan yang tercantum dalam kitab-kitab keagamaan bersifat suci dan magis. Mereka yakin bahwa pembuatan bangunan yang benar dan indah mempunyai arti tersendiri bagi pembuatnya dan penguasa yang memerintahkan membangun. Bangunan yang dibuat secara benar dan indah akan mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Keyakinan tersebut membuat para seniman yang akan membuat gapura melakukan persiapan dan perencanaan yang matang, baik yang bersifat keagamaan maupun teknis.

Salah satu bagian terpenting dalam perencanaan teknis adalah pembuatan sketsa yang benar, karena dengan sketsa yang benar akan dihasilkan bangunan seperti yang diharapkan sang seniman. Pembuatan sketsa bangunan harus didasarkan pada aturan dan persyaratan tertentu, berkaitan dengan bentuk, ukuran, maupun tata letaknya. Apabila dalam pembuatan bangunan terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan akan berakibat kesengsaraan besar bagi pembuatnya dan masyarakat di sekitarnya. Hal itu berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam kitab keagamaan tidak dapat diubah dengan semaunya. Namun, suatu kebudayaan, termasuk seni bangunan, tidak dapat lepas dari pengaruh keadaan alam dan budaya setempat, serta pengaruh waktu. Di samping itu, setiap seniman mempunyai imajinasi dan kreativitas yang berbeda.

Sampai saat ini candi masih banyak didapati di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, dan Bali. Walaupun sebagian besar di antaranya tinggal reruntuhan, namun tidak sedikit yang masih utuh dan bahkan masih digunakan untuk melaksanakan upacara keagamaan. Sebagai hasil budaya manusia, keindahan dan keanggunan bangunan candi memberikan gambaran mengenai kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lampau.

Candi-candi Hindu di Indonesia umumnya dibangun oleh para raja pada masa hidupnya. Arca dewa, seperti Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewi Tara, dan Dewi Durga, yang ditempatkan dalam candi banyak yang dibuat sebagai perwujudan leluhurnya. Bahkan kadang-kadang sejarah raja yang bersangkutan dicantumkan dalam prasasti persembahan candi tersebut. Berbeda dengan candi-candi Hindu, candi-candi Buddha umumnya dibangun sebagai bentuk pengabdian kepada agama dan untuk mendapatkan ganjaran. Ajaran Buddha yang tercermin pada candi-candi di Jawa Tengah adalah Buddha Mahayana, yang masih dianut oleh umat Buddha di Indonesia sampai saat ini. Berbeda dengan aliran Buddha Hinayana yang dianut di Myanmar dan Thailand.

Candi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi di Jawa Timur, candi di Bali, dan candi di Sumatera. Di Kalimantan pernah juga ditemukan candi, namun masih berupa reruntuhan. Walaupun pada masa sekarang Jawa Tengah dan Yogyakarta merupakan dua provinsi yang berbeda, namun dalam sejarahnya kedua wilayah tersebut dapat dikatakan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu, yang sangat besar peranannya dalam pembangunan candi di kedua provinsi tersebut. Pengelompokan candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta berdasarkan wilayah administratifnya saat ini sulit dilakukan, namun berdasarkan ciri-cirinya, candi-candi tersebut dapat dikelompokkan dalam candi-candi di wilayah utara dan candi-candi di wilayah selatan.

Candi-candi yang terletak di wilayah utara, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Sanjaya, merupakan candi Hindu dengan bentuk bangunan yang sederhana, batur tanpa hiasan, dan dibangun dalam kelompok namun masing-masing berdiri sendiri serta tidak beraturan letaknya. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Dieng dan Candi Gedongsanga. Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa Syailendra, merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Yang termasuk dalam kelompok ini, di antaranya Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur.

Candi-candi di Jawa Timur umumnya usianya lebih muda dibandingkan yang terdapat di Jawa Tengah dan Yogyakarta, karena pembangunannya dilakukan di bawah pemerintahan kerajaan-kerajaan penerus kerajaan Mataram Hindu, seperti Kerajaan Kahuripan, Singasari, Kediri, dan Majapahit. Bahan dasar, gaya bangunan, corak dan isi cerita relief candi-candi di Jawa Timur sangat beragam, tergantung pada masa pembangunannya. Misalnya, candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Singasari umumnya dibuat dari batu andesit dan diwarnai oleh ajaran Tantrayana (Hindu-Buddha), sedangkan yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya dibuat dari bata merah dan lebih diwarnai oleh ajaran Buddha.

Candi-candi di Bali umumnya merupakan candi Hindu dan sebagian besar masih digunakan untuk pelaksanaan upacara keagamaan hingga saat ini. Di Pulau Sumatera terdapat dua candi Buddha yang masih dapat ditemui, yaitu Candi Portibi di Provinsi Sumatra Utara dan Candi Muara Takus di Provinsi Riau.

Sebagian candi di Indonesia ditemukan dan dipugar pada awal abad ke-20. Pada tanggal 14 Juni 1913, pemerintah kolonial Belanda membentuk badan kepurbakalaan yang dinamakan Oudheidkundige Dienst (biasa disingkat OD), sehingga penanganan atas candi-candi di Indonesia menjadi lebih intensif.

(Sumber: candi.pnri.go.id)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA