Bagaimana konsep adat dalam perspektif keacehan yang berlaku dan berkembang di Aceh saat ini

Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.

Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.

Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.

Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.

Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.

Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan.

Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.

Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu berujung pada penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur penegak hukum itu pun sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya,

orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.

Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.

Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah sesuai dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda kepada orang yang silap tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan memperingati terlebih dahulu? Oleh karena Aceh ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan hukum Islam. Islam tidak pernah memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di Aceh selalu berpedoman kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD nomor 7 tahun 2000 bab II pasal 2.

Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya.

Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat mukim. Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat, niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu pro rakyat. Semoga!

Penulis: Herman RN, mahasiswa FKIP PBSID Unsyiah, pegiat kebudayaan dan aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh.

Sumber: lidahtinta.wordpress.com

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku, hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh. Sebagai hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar dipisahkan. Disini kaidah syariat Islam sudah merupakan bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya, adat merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, dalam masyarakat Aceh juga berlaku ketentuan bahwa adat itu ada dua. Pertama, ketentuan Allah SWT yang tidak berubah sepanjang masa dan kedua adat kebiasaan masyarakat berdasarkan syariat Islam.

Demikian antara lain disampaikan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H. Badruzzaman Ismail, SH M.Hum saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (3/10) malam.

“Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu paket yang tak terpisahkan. Keduanya menyatu dan sangat berkaitan erat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budaya adat Aceh sangat kental dengan Islam. Sebaliknya, Islam tidak bisa dipisahkan dari budaya adat Aceh,” ujar Badruzzaman pada pengajian yang dimoderatori Tgk. Mulyadi Nurdin Lc MH ini.

Menurutnya, budaya biasa diistilahkan dengan culture. Itu merupakan hasil buah pikir manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, tempat dan waktu dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan. Karena itu budaya yang dihasilkan manusia di dunia ini ada yang berbentuk sekuler, marxis, atheis, materialis, sosialis dan sebagainya. Hasil buah pikir itu menjadi adat kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah kebudayaan.

Ketua MAA yang akrab disapa Pak Bad ini lebih sepakat dengan istilah budaya adat Aceh bukan budaya Aceh. Itu penting karena istilah itu memberi dampak filosofis, historis dan cita-cita kita sebagai orang Aceh. Budaya adat Aceh mengandung nilai-nilai religius dalam bingkai syariat Islam. Jadi, nilai syariat Islam itu mutlak harus dijiwai dalam budaya adat Aceh.

“Karenanya, kita punya tamsilan adat dengon hukum lagee zat dengon sifeut. Jadi saling ada keterikatan antara adat dengan syariat, bukan seperti budaya yang diistilahkan dengan culture pada umumnya,” terangnya. Kita punya nilai khusus dan istimewa terkait dengan syariat Islam. Karena itu budaya kita tidak boleh lepas dari syariat. Seperti setiap pekerjaan harus diniatkan Lillahi ta’ala dan harus dimulai dengan membaca Bismillah. Ini tidak ada di budaya lain. Makanya tidak pernah ada orang main judi dibacakan doa di situ. Sedang di semua acara kita lainnya diharuskan untuk memulainya dengan Bismillah.

“Budaya adat Aceh bukan hanya peusijuek-peusijuk orang, itu hanya debunya saja. Boleh ada atau tidak. Dalam peusijuek juga ada intinya yang bernilai syariat Islam yaitu baca bismillah. Value atau nilai adat tidak boleh hilang . Nilai yang berlandaskan syariat tidak boleh berubah, formatnya saja boleh apa saja . Seperti berpakaian, valuenya tutup aurat, model terserah apa saja, intnya tutup aurat tercapai,” sebutnya.

Badruzzaman Ismail juga mengungkap nilai-nilai filosofis yang terkandung dari budaya adat Aceh sesuai dengan isi Alquran Surat Al-Hujurat Ayat 13 agar manusia saling kenal mengenal.

“Kita ini hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal satu sama lain dengan satu tujuan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tercipta dengan kita sesama saling melengkapi satu sama lain. Kalau Al-Quran mengistilahkannya dengan Lita’arafu atau untuk saling kenal mengenal. Kalau saya menerjemahkan lita’arafu itu sebagai pasar. Dimana di pasar itu menghasilkan karya-karya manusia, seperti menghasilkan kue bhoe, timphan, termasuk alat-alat canggih saat itu untuk kebahagiaan manusia di dunia dan kita muslim tentu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Harus ada keseimbangan antara dunia dan akhirat,” ungkapnya.(adi/rel)

Sumber: Sinyal

Tags:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA