Bagaimana ilmuwan Muslim mengembangkan sains

Kalau kita mendengar kata "Ilmuwan Sains," pasti yang terpikirkan adalah nama-nama ilmuwan sains terkenal di dunia, seperti Thomas Alva Edison si penemu bola lampu listrik, Galileo Galilei si penemu teleskop, Louis Pasteur sang Bapak Mikrobiologi dan nama-nama ilmuwan terkenal yang berasal dari Eropa dan Barat lainnya.

Namun, banyak ilmuwan-ilmuwan cerdas yang berpengaruh di bidang sains yang berasal dari negara-negara timur. Sayangnya, mereka tidak mematenkan ilmu yang mereka temukan hingga kalah terkenal layaknya ilmuwan-ilmuwan Eropa dan Barat.

Jadi, siapa saja ilmuwan-ilmuwan muslim hebat tersebut? Yuk, simak penjelasan ilmuwan muslim yang berpengaruh di dunia sains berikut ini:

Muslimobsession.com

Jabir Ibnu Hayyan lahir di Irak pada tahun 712 Masehi. Ia dikenal di Eropa dengan nama Gebert. Gebert merupakan penemu ilmu kimia. Awalnya, Gebert melakukan eksperimen mengenai kuantitas zat yang berhubungan dengan reaksi kimia yang terjadi. Dari keberhasilan praktikumnya tersebut, ia menemukan hukum perbandingan tetap terhadap reaksi kimia.

Gebert juga menemukan reaksi kimia lainnya seperti penguapan, sublimasi, dan kristalisasi yang kemudian ilmu kimia tersebut masih digunakan hingga saat ini.

Baca Juga: Keren! 10 Hal Ini Ternyata Ditemukan oleh Ilmuwan Muslim Lho!

Biografiku.com

Al-Khawarizmi lahir di Uzbekistan pada tahun 780 Masehi. Ia merupakan penulis buku tentang Al-Jabar yang menjadi buku pertama mengenai ilmu aljabar, solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Ia juga disebut sebagai bapak aljabar.

Pada abad ke-12, Al-Khawarizmi memperkenalkan sistem penomoran bilangan desimal ke dunia Barat. Ia juga merevisi ilmu geografi Ptolomeus dan membuat tulisan mengenai astronomi.

Boombastis.com

Al-Kindi merupakan ilmuwan yang telah menulis 270 ensiklopedi mengenai berbagai macam bidang ilmu. Ilmuwan yang lahir pada tahun 801 ini merupakan ahli matematika, kedokteran, geografi, dan fisika. Selain di bidang sains, ia juga mendalami ilmu filsafat, musik dan Yunani kuno.

Al-Kindi dikenal sebagai seorang ilmuwan yang serba bisa dan filsuf pertama yang beragama islam dan mahir berbahasa Yunani. Semasa hidupnya, ia juga mendalami ilmu pengobatan, farmasi, optik, astrologi dan masih banyak lagi.

Panjimas.com

Ilmuwan yang biasa dipanggil Ar-Razi ini lahir di Iran pada tahun 864 Masehi. Ar-Razi disebut bapak imunologi karena telah menemukan penyakit alergi asma, cacar dan ilmu imunologi. Ia menekuni bidang kedokteran di Baghdad dan pernah diamanahkan menjadi memimpin sebuah rumah sakit di Rayy dan Muqtadari di Baghdad. 

Selain ilmu kedokteran, ia juga mendalami berbagai ilmu sains lainnya, seperti farmasi dan matematika. Ia juga menggeluti bidang kimia dan dikenal sebagai pembuat alat-alat kimia seperti mortar, spatula dan tabung reaksi yang masih digunakan di berbagai belahan dunia hingga sekarang.

Nu.or.id

Al-Battani merupakan ahli astronom terbesar Islam. Lahir pada tahun 929 Masehi, ia merupakan pencipta alat ukur gata gravitasi dan alat ukur garis lintang dan busur bumi pada globe dengan ketelitian hingga 3 desimal.

Ia juga astronom pertama yang dapat mengukur jarak bumi dengan matahari, mengukur keliling bumi dan menerangkan bahwa bumi berputar pada porosnya, jauh sebelum Galileo Galilei.

Linkedin.com

Abul Qasim yang lahir pada tahun 936 Masehi, merupakan dokter pertama yang ahli di bidang kedokteran gigi dan kelahiran anak. Ia sepanjang hidupnya, meneliti ilmu kedokteran khususnya gigi dan kelahiran anak, selain itu ia juga menciptakan penemuan mengenai obat-obatan.

Abul Qasim pernah menciptakan alat bedah sendiri dengan teknik pengoperasian yang maju pada saat itu. Ia juga pernah menulis buku tentang kedokteran gigi dan kelahiran anak yang menjadi sumber utama pembelajaran pengobatan dan kedokteran.

Baca Juga: 10 Ilmuwan Wanita yang Berkontribusi dalam Sejarah Sains Dunia

Baca Artikel Selengkapnya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Tim Planetarium OIF UMSU

Perkembangan sains dalam dunia Islam adalah suatu hal yang perlu kita ketahui, karena seperti kita tahu bahwa ilmu pengetahuan khususnya sains merupakan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia hingga saat ini. Awal mula kemunculan dan perkembangan sains dalam dunia Islam beriringan dengan ekspansi Islam itu sendiri. Dalam kurang lebih 25 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW (632 M), kaum muslim pada waktu itu telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Belum sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan di Asia dan Afrika Utara. Pembukaan negeri-negeri ini berlangsung sangat pesat dan tak terbendung. Satu persatu kerajaan demi kerajaan berhasil ditaklukkan.

Sumber gambar : SuaraIslam.com 

Pada abad ke-8 hingga dengan abad 12 M, umat Islam berada pada zaman keemasan. Zaman dimana ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat mencapai puncaknya. Pada saat itu umat Islam menjadi pemimpin dunia karena perhatiannya yang sangat besar tidak hanya dari sisi ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum, dan ilmu-ilmu murni. Pada masa ini bermunculan tokoh-tokoh dan ilmuwan yang sangat cerdas, aktif dan handal, sebut saja misalnya: Al-Kindi (185 H /807 M – 260 H /873 M), Al-Khawarizmi (w. 249 H /863 M), Al-Razi (2551 H /865 M – 313 H /925 M), Al-Farabi (258 H /870 M – 339 H /950 M), Ibn Sina (370 H /980M – 428 H /1037 M), Al-Biruni (362 H /973 M – 442 H /1051 M), Al-Ghazali (450 H /1058 M – 505 H /1111 M) dan masih banyak sederetan ilmuwan yang ide pikiranya mewarnai peradaban dunia.

Para ilmuwan tersebut oleh Sayyed Hossein Nasr, disebut sebagai figur-figur universal ilmu pengetahuan Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari peran pemerintahan dinasti Abbasiyah. Peralihan kekuasaan pemerintahan Islam dari Dinasti Umaiyah ke Dinasti Abbasiyah (750 M) merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban Islam, yang tidak mungkin dapat dilupakan oleh insan akademik khususnya para sejarawan muslim. Hal tersebut karena dikemudian hari tidak hanya mampu memunculkan sebuah zaman keemasan, akan tetapi juga merupakan titik balik dalam perputaran sejarah dunia, yang mana dengan ditandai adanya penaklukan wilayah Afrika pada tahun 710 M, dan wilayah Spanyol pada tahun 711 M2 . Masa pemerintahan Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya dibawah pemerintahan Raja Harun al-Rosyid yang cukup terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah dianggap sebagai  pilar utama perkembangan sains dalam Islam, karena pada masa ini banyak bermunculan ilmuwan dan berbagai karya dalam ilmu pengetahuan.

Kesuksesan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi. Sebagai contoh, al-Battani yang mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kemudian dalam bidang fisika ada , Ibn Bajjah  yang mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon.

Seiring berjalannya waktu perjalanan sains dalam dunia islam seolah-olah mendadak berhenti. Menurut Al-Buthi, setidaknya ada dua factor yang menjadikan kemunduran umat Islam saat itu. Pertama, terpesonanya umat Islam terhadap revolusi yang terjadi di Barat sebagai tanda kebangkitan peradaban Barat pada waktu itu. Kedua, terpengaruh dengan keberhasilan Barat dalam melepaskan dirinya dari cengkeraman doktrin-doktrin gereja. Lebih lanjut, ketertinggalan umat Islam di abad ini diakibatkan oleh penyakit kronis kebanyakan umat Islam yaitu keterpikatan umat Islam terhadap peradaban Barat secara membabi buta. Dalam karyanya yang berjudul Ala Thariqi Al-Audah Ila Islam; Rasm Li Manhaj Wa Hallu Li Musykilat dan Hiwar Haula Musykilat Hadhariyah, Al-Buthi menolak sikap inferioritas peradaban Barat. Tetapi beliau menanamkan optimisme dan sikap superioritas Islam bagi kaum muda. Di sisi lain, Al-Buthi juga mengakui adanya saling ketergantungan di era pasca modern antara Islam dan Barat. Oleh karenanya, umat Islam mempunyai hak untuk mengadopsi peradaban barat yang terbukti baik dan bermanfaat secara selektif. Begitu juga dengan orang Barat  juga dapat mengadopsi dari Islam apa yang mereka butuhkan untuk bebas dari kehancuran spiritual.

Umat Islam seharusnya bangkit bukan hanya dari sikap keterpikatan terhadap peradaban Barat, tetapi juga bangkit dari dialektika internal yang masih berdebat membahas antara halal haram, bid’ah dan tidak bid’ah, kafir dan tidak kafir. Peradaban lain sudah mencoba untuk meneliti kelayakan manusia untuk tinggal di Mars, umat Islam justru masih sibuk berdebat dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Pada akhirnya perlu kembali merenungi sebuah kaidah yang berbunyi Al-Mukhafadzotu Alal Qodim As-Sholih Wal Akhdzu Bil Jadid Ashlah. Menjaga warisan lama yang masih relevan dan mengadopsi sesuatu yang baru yang dianggap baik dan membawa maslahah, kalau perlu justru menciptakan sesuatu yang baru tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim di masa kejayaan peradaban Islam, salah satu contohnya dengan mengadopsi filsafat-filsafat Yunani Kuno dengan membawa semangat keingintahuan ilmiah

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA