Bagaimana cara mengembangkan iman dalam keluarga Katolik

  • Hidup beriman memperlihatkan dua aspek, yakni aspek pribadi dan aspek sosial.
  • Di satu pihak, iman merupakan hubungan pribadi kita masing-masing sebagai individu dengan Allah. Di lain pihak, iman kita tidak mungkin berkembang tanpa kehadiran orang lain entah sebagai pribadi atau sebagai komunitas/kelompok jemaat.
  • Maka iman tidak hanya menyangkut relasi pribadi antara manusia dengan Allah, tetapi juga menyangkut relasi kita dengan umat beriman yang lainnya.
  • Iman kita bertumbuh dan berkembang karena peran umat, baik dalam keluarga, lingkungan maupun wilayah/stasi dan paroki:
    1. Keluaga
    Keluarga disebut sebagai Gereja Kecil, merupakan jemaat yang paling dasar. Kita pertama kali mengenal kehidupan beriman melalui keluarga. Orang tua kitalah yang mengenalkan iman kepada kita. Melalui bimbingan orang tua kita juga semakin mengenal dan memahami kebiasaan hidup Kristiani. Anggota keluarga yang lain juga ikut berperan dalam mengembangkan iman kita, sehingga iman kita dapat tumbuh subur dalam keluarga yang semua anggota keluarganya saling mendukung dalam kehidupan beriman.
    2. Lingkungan/KBG/Kring
    Lingkungan merupakan kumpulan keluarga-keluarga Kristiani yang tinggal berdekatan dalam suatu wilayah tertentu. Keluarga-keluarga Kristiani dalam lingkungan sering mengadakan pertemuan untuk berdoa bersama, mengadakan pendalaman iman maupun pendalaman kitab suci, mengadakan kegiatan latihan koor, dan pertemuan untuk meningkatkan karya pelayanan sosial kepada keluarga-keluarga Kristiani maupun kepada warga sekitar pada umumnya.
    3. Stasi, Paroki dan Keuskupan
    Stasi terdiri dari beberapa lingkungan. Stasi berada di bawah naungan Paroki yang dipimpin oleh seorang pastor paroki dengan dibantu beberapa imam. Paroki-paroki digembalakan oleh seorang Uskup dalam wilayah keuskupan.
  • Beberapa contoh kegiatan berikut ini dapat dijadikan acuan bagi kita para remaja untuk ikut terlibat secara aktif dan sekaligus dapat memberi gambaran kepada kita tentang pentingnya peran jemaat dalam pengembangan iman:
    1. Pendalaman Iman
    Melalui pendalaman iman, Gereja ingin menimba kekuatan agar hidup iman mereka semakin diarahkan oleh Injil Yesus Kristus sehingga iman mereka berkembang.
    2. Lektris/Lektor
    Lektor dilantik untuk mewartakan bacaan-bacaan dari Alkitab, kecuali Injil. Dapat juga ia membawakan ujud-ujud doa umat dan, jika tidak ada pemazmur, ia dapat pula membawakan mazmur tangggapan. Dalam Perayaan Ekaristi, ia harus menjalankan sendiri tugas khusus itu (bdk. no.194-198), biarpun pada saat itu hadir juga pelayan-pelayan tertahbis. Hendaknya umat beriman dengan senang hati melayani umat Allah, bila diminta untuk melakukan pelayanan atau tugas khusus dalam perayaan, sebagai bentuk tanggung jawab atas baptisan yang telah mereka terima.
    3. Misdinar
    Putra altar atau misdinar (yang berarti ‘asisten misa’ dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi. Selain untuk membantu imam dalam perayaan Ekaristi kegiatan misdinar juga bertujuan untuk membina persaudaraan, mengembangkan dan mendewasakan iman anak, juga untuk melatih anak untuk bertanggung jawab sebagai anggota Gereja dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan pelayanan Gereja.
    4. Perayaan Ekaristi
    Kehidupan beriman Kristiani tidak dapat dipisahkan dan menjauh dari Perayaan Ekaristi. Ekaristi merayakan tindakan karya penyelamatan Allah, melalui korban Yesus Kristus. Gereja senantiasa digambarkan sebagai umat Allah yang berziarah, dalam perjalanan peziarahan sampai pada kepenuhannya kelak. Oleh karena itu senantiasa Ekaristi adalah undangan. Tidak saja undangan untuk perjamuan abadi kelak di Surga, namun Ekaristi adalah undangan untuk mendasarkan dan meletakkan perjalanan ziarah hidup umat beriman pada perayaan kurban persembahan diri Kristus. Ekaristi dengan demikian adalah teman perjalanan, namun juga sumber peneguh bagi pergulatan hidup manusia dalam peziarahan hidupnya.
  • Kisah Para Rasul 2:41-47 secara jelas melukiskan cara hidup Gereja Perdana. Orang-orang yang mendengar pengajaran para rasul menjadi percaya dan beriman kepada Yesus Kristus. Setelah dibaptis mereka selalu bertekun dalam pengajaran para rasul, bertekun dalam persekutuan, setiap hari mereka berkumpul dalam Bait Allah, mereka memecahkan roti secara bergilir di rumah masing-masing dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati. Selain itu mereka juga saling memperhatikan dan saling berbagi milik mereka sehingga tidak ada yang kekurangan.
  • Kehidupan yang dikembangkan dalam Gereja Perdana, hendaknya menjadi inspirasi bagi kita untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan iman jemaat melalui peran serta kita dalam kegiatan kerohanian di keluarga, lingkungan maupun Gereja setempat di mana kita berada.

Catatan Penting Materi Kelas 9 K13

Keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah iman yang pertama dan terutama. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah sendiri dalam diri anak berkembang dan berbuah. Keluarga adalah lahan subur pertama dan utama untuk perkembangan iman anak. Agar keluarga dapat menjadi lahan yang subur bagi perkembangan anak-anak, maka orangtua harus dapat menciptakan keluarga menjadi satu komunitas antar pribadi yang dapat memberi rasa nyaman semua anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan semangat saling mencintai dengan penuh kesetiaan, menjalin komunikasi dengan jujur dan terbuka, saling menghormati, saling menghargai perbedaan yang ada, saling menerima apa adanya, saling memperhatikan, saling memaafkan, saling mendoakan, saling mengingatkan dan menegur jika ada anggota keluarga yang bertindak salah dan sebagainya. Jika orangtua dapat menciptakan keluarga menjadi suatu komunitas antar pribadi, maka keluarga dapat berfungsi sungguh-sungguh menjadi Gereja Mini dengan Kristus sebagai dasar hidupnya sehingga iman anak dapat lebih berkembang dengan baik (Hardiwiratno, 1994: 84-85).

Dalam memberikan pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di tengah-tengah keluarga, orangtua sebaiknya mengusahakan cara-cara konkret dalam hal-hal doa pribadi dan doa bersama, mengikuti perayaan Ekaristi, membaca dan merenungkan Kitab Suci, ikut aktif dalam kelompok pembinaan iman dan ikut ambil bagian dalam ziarah.

a. Doa pribadi dan doa bersama

Anak-anak sebaiknya dibiasakan berdoa secara teratur, baik secara pribadi, bersama keluarga maupun komunitas basis gerejawi. Perlu dijelaskan kepada mereka bahwa berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka perlu diberi teladan konkret dalam hidup doa melalui doa keluarga itu sendiri. Mereka yang masih kecil pada awalnya hanya meniru sikap orangtua saja dalam berdoa, namun secara bertahap sesuai dengan perkembangan umur dan pemahamannya, mereka perlu didorong untuk mengungkapkan isi hati secara spontan dalam berdoa. Selain itu, dalam berdoa mereka dilatih untuk mengungkapkan secara tepat benda-benda rohani seperti salib, patung, gambar, rosario, dan lain-lain (PPK, no. 35§1). Orangtua harus mengusahakan agar dapat melaksanakan doa bersama setiap hari, entah pada pagi atau sore hari. Doa bersama juga dapat dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Dengan adanya teladan dari orangtua dan pembiasaan diri sejak dini untuk melaksanakan doa pribadi maupun doa bersama, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan hidup dalam doa.

Komisi Keluarga Keuskupan Malang melalui pedoman bina iman usia dini dalam keluarga (PBIUD) (no. 11§1-§2) menegaskan bahwa doa termasuk ungkapan iman seperti nampak dari isi doa yang memang sering kali dirumuskan orang dewasa yang menempatkan diri dalam situasi anak. Dengan demikian, doa bukan hanya ungkapan isi hati dan budi manusia kepada Tuhan, melainkan sekaligus juga bina iman bagi anak. Pengajaran dan pelatihan doa di dalam keluarga, meliputi pengajaran doa terutama yang terlaksana dalam praktek doa bersama, berdoa beberapa jenis doa seperti doa dasar, doa pujian, doa syukur, doa permohonan, dan devosi.

b. Mengikuti Perayaan Liturgi

Sejak dini anak-anak perlu diajak mengambil bagian aktif dalam perayaan liturgi terutama Ekaristi, supaya mereka mengenal dan mencintai Tuhan. Perayaan Ekaristi khusus untuk anak-anak dapat diselenggarakan, karena perayaan Ekaristi tersebut membantu mereka untuk lebih terlibat di dalamnya. Bila mereka sudah terlibat dan mampu memahami, orangtua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi sebagai perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu, Tuhan memberikan diri-Nya untuk kita karena cinta-Nya kepada umat manusia yang sangat besar dan tak ada duanya. Maka, menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus (PPK, no. 35§2).

Mengingat peran penting dan pusat hidup liturgis yang dipahami sebagai sumber dan puncak hidup menggereja. Sacrosanctum Concilium (SC), konstitusi Konsili Vatikan II menegaskan selayaknyalah liturgi merupakan bina iman usia dini agar anak dididik dan dilatih untuk berperanserta aktif dalam perayaan liturgi dan kemudian mampu menghayati sungguh-sungguh sebagai sumber dan puncak hidup menggereja (SC, art. 10). Pendidikan liturgi dapat diperoleh anak melalui peran serta aktif sebagai petugas liturgi, terutama bila anak diberi peran dan disapa. Persiapan, perayaan dan penghayatan liturgi yang langsung dialami anak-anak, perayaan sakramen-sakramen terutama komuni pertama, perayaan Ekaristi hari Minggu sebagai hari Tuhan dan perjumpaan dengan umat lainnya, arti lambang dan sarana liturgi yang dijelaskan kepada anak pada kesempatan kunjungan ke gereja akan lebih membantu anak memahami perayaan Ekaristi (PBIUD, no. 12§1-§2).

c. Membaca dan Merenungkan Kitab Suci

Kitab Suci memuat kekayaan iman yang sangat baik dan efektif untuk mengembangkan iman anak-anak. Melalui pembacaan Kitab Suci, anak-anak mengenal Allah yang menyelamatkan manusia dalam sejarah keselamatan terutama dalam diri Yesus Kristus. Dengan membaca dan mendengarkan serta merenungkan Kitab Suci, hati mereka diarahkan kepada Allah yang hadir melalui sabda-Nya. Melalui pembacaan Kitab Suci itu, anak-anak menemukan dasar iman, yaitu ajaran Tuhan Yesus dan menimba inspirasi untuk hidup iman mereka melalui teladan hidup-Nya dan tokoh-tokoh iman dalam Kitab Suci. Jadi, Kitab Suci adalah buku pegangan yang paling tepat untuk anak-anak (PPK, no. 35§3).

Kitab Suci patut menjadi sumber inspirasi pribadi dan keluarga Katolik serta mendapat tempat terhormat dalam keluarga. Maka dari itu, perlu diusahakan agar anak menjadi sungguh akrab dan mencintai Kitab Suci yang diperkenalkannya. Melalui Kitab Suci, anak dapat diperkenalkan: tokoh-tokoh Kitab Suci, terutama kehidupan Yesus dengan kisah-kisah yang menarik, makna dan amanat Kitab Suci yang dapat ditangkap anak lewat contoh-contoh konkret. Kitab Suci sebagai bahan bina iman dapat didukung dengan upaya-upaya: memiliki Kitab Suci sendiri dan rajin memperlajarinya, jika anak masih balita dapat menggunakan Kitab Suci bergambar, kebiasaan membaca Kitab Suci secara pribadi dan bersama dalam keluarga (PBIUD, no. 13§1-§2).

d. Ikut Aktif dalam Kelompok Pembinaan Iman

Untuk membantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman dan menumbuhkan sikap menggereja dalam diri anak, mereka dihimbau untuk

senantiasa mendorong anak-anak untuk ikut aktif dalam kelompok pembinaan iman, misalnya Sekolah Minggu, Pembinaan Iman Anak dan Pembinaan Iman Remaja (PIA dan PIR). Dalam pertemuan kelompok-kelompok tersebut anak-anak dibantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk menghayati kebersamaan sebagai Gereja (PPK, no. 35§4).

Kelompok Bina Iman Usia Dini hendaknya berperan sebagai wadah yang mendukung, melengkapi dan memperkaya bina iman usia dini dalam keluarga, wadah pra sekolah dan sekolah. Hal ini makin berhasil apabila pembina bukan hanya petugas comotan melainkan dipersiapkan sebaik-baiknya. Kerja sama dengan keluarga dan wadah-wadah lain hendaknya dilaksanakan dengan komunikasi timbal balik, sehingga ada koordinasi yang dapat mengurangi pengulangan dan tumpang tindih yang tidak hanya membosankan anak, melainkan juga membuang waktu dan tenaga serta dana (PBIUD, no. 30§3).

Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa kelompok pembinaan iman yang telah disediakan oleh Gereja sangat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman, khususnya bagi orangtua yang memiliki pengetahuan iman yang minim. Selain itu, kelompok pembinaan iman juga mempersiapkan anak untuk mengenal dan terlibat dalam kehidupan menggereja. Kelompok pembinaan iman, seperti PIA, sekolah minggu, atau bina iman merupakan sarana pendidikan iman dan penginjilan bagi anak melalui bantuan metode pengajaran yang disiapkan oleh pendamping, di antaranya dapat berupa cerita Kitab Suci, mengenalkan tokoh-tokoh Kitab Suci atau santo santa. Oleh karena itu, kelompok pembinaan iman bertujuan membantu anak mengenal Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta, mengenal dan menerima Yesus

Kristus sebagai Tuhan, Juruselamat dan penebus dosa manusia, mengenal Bunda Maria sebagai Bunda Allah, mengasihi sesama, terlibat aktif dalam kehidupan menggereja, belajar firman Tuhan, dan belajar hidup bersosialisasi.

e. Ikut Ambil Bagian dalam Ziarah

Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, orangtua hendaknya mendorong dan mendukung anak-anaknya untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman mereka (PPK, no. 35§5).

Ziarah yang dilakukan oleh umat Katolik merupakan bentuk ungkapan penghayatan iman melalui penghormatan dan pujian kepada Bunda Maria. Orangtua perlu memperkenalkan hal ini kepada anak sehingga anak tidak hanya mengenal tempat-tempat rekreasi, seperti taman hiburan atau mall tetapi juga tempat-tempat doa umat Katolik. Praktek devosi ini sering marak dilakukan umat Katolik pada bulan Mei dan Oktober yang merupakan bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria. Tidak ketinggalan, kelompok Pembinaan Iman, seperti PIA-PIR juga mengadakan ziarah ke Goa Maria dengan tujuan memperkenalkan tempat ziarah umat Katolik sekaligus mengajak anak untuk berdevosi kepada Bunda Maria.

3. Kewajiban Orangtua

Orangtua memiliki kewajiban memberikan pendidikan iman kepada anak-anak dalam situasi dan kondisi apa pun. Para ahli jiwa dan pendidikan masih tetap berpegang bahwa pendidikan harus dimulai sejak masa kehamilan (Zanzucchi,

1986: 25). Semasa masih berada dalam kandungan, anak sudah dapat dipersiapkan secara rohani (Pudjiono & Oetomo, 2007: 4). Sang ibu bukan saja bertanggung jawab untuk memberikan makanan jasmani kepada sang bayi, tetapi terutama cinta, damai dan rasa aman (Zanzucchi, 1986: 25). Mereka tidak boleh menunda atau menghentikan bahkan meniadakan pendidikan iman. Penegasan kewajiban orangtua ini bukan merupakan suatu pemaksaan yang disertai sikap tidak mau tahu dari Gereja terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pihak Katolik dari keluarga kawin campur. Penegasan ini adalah bentuk tanggung jawab Gereja untuk mengingatkan martabat dan kewajiban hakiki orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Tanggung jawab merupakan tujuan dan makna dari hak atau wewenang. Orangtua yang mengemban tanggung jawab atas pendidikan anaknya juga dibekali dengan hak atau wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab itu (Go, 1990: 21).

Ada dua alasan prinsip mengapa orangtua Katolik harus memberikan pendidikan iman kepada anak-anak dalam situasi dan kondisi apa pun. Pertama, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pembinaan untuk mencapai pertumbuhan yang meliputi fisik, intelektual, moral dan spiritual secara harmonis.

Kedua, orangtua adalah pribadi pertama yang mempunyai kesempatan untuk

memperkenalkan kehidupan dengan segala aspeknya kepada anak-anak. Orangtua juga adalah pewarta iman yang berkewajiban membina pribadi anak-anak supaya mereka mengenal dan menerima kebenaran dan mempunyai pengalaman sebagai pribadi yang dicintai dan mencintai Allah dan sesama (Agung Prihartana, 2008: 55-56). Yang ingin ditegaskan dari pernyataan tersebut ialah pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi anak secara utuh, baik

segi fisik, moral, maupun sosial budaya sehingga anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab. Di samping itu, orangtua harus menyediakan waktu untuk membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal Allah dan melaksanakan ajaran-Nya.

Tanggung jawab orangtua terhadap anak atas pendidikan meliputi pendidikan psikis afektif, pendidikan sosio kultural, pendidikan religius, dan pendidikan moral (Go, 1990: 21-23).

a. Pendidikan psikis afektif

Aspek psikis afektif usia dini menurut psikologi perkembangan dan pengalaman sangat mempengaruhi kepribadian manusia, sehingga perlu memperhatikan peranan orangtua dan anggota keluarga lainnya dalam pertumbuhan psikis afektif anak. Anak berhak atas perkembangan psikis afektif yang hanya mungkin dalam relasi mesra dan interaksi dengan para anggota keluarga, maka orangtua bertanggung jawab atas penciptaan suasana yang mendukung perkembangan ini.

Pendidikan ini tidak kalah penting dibandingkan pendidikan lainnya di dalam keluarga. Pendidikan yang mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap emosi, dan nilai ini akan membantu orangtua mengetahui perasaan yang dirasakan anak, tingkat perkembangan anak dan mengembangkan minat anak baik dalam hal bakat maupun pelajaran sekolah.

Pendidikan psikis afektif akan membantu menyempurnakan dan mengembangkan kepribadian anak dengan melatih anak supaya bersikap mandiri, suka berbuat baik kepada orang lain, dan dapat mengontrol diri ketika marah.

Orangtua berkewajiban menghindarkan anak-anak dari sifat minder, penakut, merasa rendah diri, masa bodoh. Dengan demikian, orangtua perlu menghindarinya dengan cara membangkitkan rasa percaya diri anak melalui pujian terhadap sekecil apapun itu, memberi semangat untuk terus mencoba dan tidak mencela ketika gagal, memberikan kesempatan pada anak untuk mengeluarkan pendapat dan menentukan pilihan.

Dalam Pendidikan Agama Kristen Thomas H. Groome (1980: 99) mengutip pendapat Fowler bahwa iman adalah kegiatan mengetahui atau mengartikan di mana “kognisi” (sang rasional) dengan tak dapat dihindarkan terkait dengan “afeksi” atau “menghargai” (sang perasaan). Bagi Fowler, iman adalah urusan kepala dan hati, yang artinya iman bersifat baik rasional maupun perasaan.

Dimensi perasaan adalah aspek emosional afektif yang muncul dari iman sebagai cara berhubungan yang berisi mengasihi, memperhatikan, menghargai, rasa kagum, hormat dan takut. Beriman berarti berhubungan dengan seorang atau sesuatu sedemikian rupa sehingga hati kita dicurahkan, perhatian kita diberikan, harapan kita difokuskan kepada orang lain.

b. Pendidikan sosio kultural

Manusia hidup dalam lingkungan sosio kultural tertentu, maka sosialisasi untuk dapat hidup dalam konteks sosio kultural itu perlu. Istilah sosio kultural juga dimaksudkan nilai-nilai moral dalam lingkup budaya tertentu (Go, 1990: 22). Setiap lingkungan atau daerah memiliki nilai-nilai budaya masing-masing yang menjadi identitas masyarakat setempat.

Pendidikan sosio kultural ini akan membantu anak mengembangkan nilai-nilai budaya sejak dini. Apa yang dimulai sejak usia dini dalam lingkup keluarga harus dikembangkan lebih lanjut pada jenjang berikutnya dengan bantuan instansi terkait. Keluargalah subyek pewaris penerus nilai-nilai budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya yang masih dilestarikan akan menjadi identitas kita. Orangtua dapat mengajarkan dan memberi contoh nilai-nilai budaya lingkungan sekitar, misalnya membungkukkan badan ketika berjalan di depan orangtua, tidak boleh memegang kepala orang yang lebih tua, memakai pakain yang sopan, tidak berbicara kotor, dan sebagainya.

Pendidikan iman akan mendukung terjadinya pendidikan sosio kultural di rumah. Dengan iman yang anak-anak miliki akan membantunya menerapkan sosio kultural yang berlaku di lingkungan dan tidak akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan negatif yang ada.

c. Pendidikan iman

Konsep manusia seutuhnya juga meliputi aspek religius, yakni iman Katolik. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sehingga aspek ini perlu dan penting untuk dikembangkan, maka anak berhak atas pendidikan iman. Untuk keluarga Katolik agama berarti iman. Orangtua bertanggung jawab untuk meneruskan imannya sebagai harta rohani yang paling berharga kepada anak-anaknya dengan pendidikan iman. Arah dasar yang harus dituju dalam pendidikan iman anak secara berangsur-angsur ialah iman yang mendalam, dewasa, mandiri, berinkulturasi, dan memasyarakat. Sebaiknya orangtua mendayagunakan bantuan instansi-instansi lain, seperti Gereja dengan aneka wadah dan jalur pembinaannya

seperti Sekolah Minggu (Minggu Gembira, Bina Iman), sekolah Katolik, mudika dan sebagainya.

Pendidikan iman menyangkut perkembangan anak dalam hubungan dengan Tuhan. Pendidikan iman ini merupakan hal yang esensial dalam hidup keluarga Kristiani. Orangtua mengemban hak pertama dan tanggung jawab dalam pendidikan religius anaknya. Aspek ini menjadi semakin mendesak jika agama dipilih oleh orangtuanya melalui baptisan bayi/anak-anak. Pendidikan agama atau iman harus mempersiapkan anak agar ia sadar dan sukarela menyambut pilihan iman orangtuanya, dan selanjutnya mengembankan rahmat baptisan itu dengan iman Katolik (Wignyasumarta, 2000: 151).

Pendidikan iman membawa anak-anak kepada pengenalan akan Tuhan Yesus sejak dini, sehingga mereka mengenal dan mengerti akan kebenaran Firman Tuhan dan menerapkan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya anak dapat berkembang sebagai orang Katolik yang tangguh, tanggap dan terlibat dalam hidup menggereja. Pendidikan iman dapat dilakukan orangtua dalam keluarga dengan mengajak anak berdoa sebelum dan sesudah makan, berdoa bersama, membacakan Kitab Suci, menanamkan nilai-nilai Kristiani, seperti cinta kasih, saling menghormati, saling berbagi, memaafkan kesalahan orang lain dan belajar meminta maaf jika berbuat kesalahan.

d. Pendidikan moral

Iman mempunyai implikasi moral. Tetapi juga lepas dari kebenaran ini, moral dibutuhkan manusia dan masyarakat. Kiranya jelas bahwa pendidikan moral dan pembentukan hati nurani anak merupakan tanggung jawab orangtua.

Juga dalam hal ini, orangtua dibantu oleh Gereja dengan aneka wadah dan program pembinaannya (Go, 1990: 21-23).

Norma-norma moral diperkenalkan kepada anak secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai di dalam keluarga dan dilanjutkan di dalam masyarakat. Sebagai orang Katolik, kita perlu menyadari bahwa norma-norma moral adalah penjabaran dari perintah kasih kepada Allah dan sesama (Mat 22:37-39) (PPK, no. 36§4).

Peran keluarga dalam mengembangkan moral anak sangatlah penting karena berpengaruh pada moral di masa depan. Pendidikan moral dalam keluarga membawa anak dalam bertindak dan dapat membedakan bagaimana yang salah dan benar, bagaimana sikap yang harus dilakukan dan bagaimana sikap yang harus dijauhi.

Pendidikan moral bertujuan pada pembentukan sikap dan perilaku seseorang agar dapat bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku di lingkungan. Oleh karena itu, adanya pendidikan moral akan membentuk mudah tidaknya seseorang diterima di lingkungan sosial. Adapun cara yang dapat digunakan dalam penerapan pendidikan moral, di antaranya: melalui teladan atau contoh karena anak-anak mempunyai kemampuan yang sangat menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu, hendaknya orangtua dijadikan model yang patut untuk ditiru atau diteladani. Anak akan melihat perilaku orangtua baik itu perilaku baik maupun buruk, anak akan senantiasa untuk meniru. Selain itu, orangtua dapat melakukan pendidikan moral dengan pembiasaan dalam perilaku, misalnya jangan berbohong, meminta maaf saat melakukan kesalahan, meminta ijin sebelum meminjam barang, mengembalikan barang yang dipinjam, tidak menyakiti orang

lain. Pembiasaan dalam perilaku ini dilaksanakan karena pendidikan moral tidak akan pernah tercapai apabila hanya dilakukan dalam satu waktu saja. Nilai-nilai moral yang ditanamkan pada anak harus senantiasa terus menerus dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan pada perilaku anak sehari-hari.

Iman mempunyai implikasi moral, artinya penghayatan iman juga berarti penghayatan moral yang mengungkapkan kehendak Tuhan. Moral diperlukan untuk membangun kehidupan bersama. Dalam diri anak harus ditanamkan sesuatu yang dapat diukur dari segi moral, baik-buruk, benar-salah, wajib-tidak wajib. Maka, anak harus pula dipersiapkan dengan pendidikan moral terutama pembentukan suara hati (Wignyasumarta, 2000: 151).

Dalam rangka pendidikan iman dan moral anak ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, orangtua muncul sebagai figur iman dan moral bagi anak. Kebiasaan orangtua, seperti rutin ke gereja, rajin berdoa, biasa berderma pada sesama, ramah pada tetangga akan diserap oleh anak sebagai referensi kehidupan iman dan moralnya. Orangtua yang beriman dan bermoral adalah jaminan bagi keimanan dan kebaikan moral anak; Kedua, sebagai keluarga Katolik, orangtua wajib mendidik anak secara Katolik. Mereka membaptis anak sejak dini (baptis bayi) dan membina imannya agar tetap tertarik pada iman Katolik, setia mengikuti Yesus dan terhindar dari pengaruh yang bertentangan dengan keKatolikan. Pembinaan iman itu dapat diwujudnyatakan dengan kebiasaan orangtua mengajak anak pergi ke gereja, berdoa bersama, dan melibatkan anak dalam kegiatan menggereja. Dengan demikian, baptisan Katolik yang telah anak terima bisa terbina dan terhayati; Ketiga, keluarga sebaiknya menciptakan kebiasaan-kebiasaan suci dalam keluarga. Misalnya, berdoa bersama, membaca dan

merenungkan Kitab Suci, bercerita tentang tokoh-tokoh Suci Gereja. Yang tidak kalah pentingnya yaitu mengajak anak berkunjung ke biara, seminari, pastoran dan keuskupan guna memperkenalkan anak bentuk hidup panggilan; Keempat, sesekali orangtua juga meminta anak untuk sharing atau membuat refleksi pribadi atas iman dan tindakan. Dengan cara ini, orangtua akan lebih bisa memantau perkembangan iman anak, semakin mengenal anak dan mengetahui kebutuhan iman anak (Sutarno, 2013: 41-45).

Pendidikan moral dan pendidikan iman harus sejalan dan tidak dapat dipisahkan maupun berat sebelah. Untuk membentuk pribadi yang bermoral harus dibentengi dengan keimanan. Pendidikan iman mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak. Maka dengan iman yang baik, moral yang kita miliki akan tetap terjaga dan tetap bertumbuh terutama di dalam Tuhan. Dengan iman yang ada, manusia harus belajar untuk menumbuhkan moralnya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal.

Yang dimaksud dengan pengaruh eksternal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar rumah, misalnya dari media komunikasi terutama dari TV. Orangtua Kristen dewasa ini diharapkan menyadari derasnya arus dan besarnya pengaruh berbagai informasi, baik lewat media massa maupun media elektronik terhadap kepribadian anak-anak mereka. Berbagai tayangan tentang perselingkuhan, perceraian, pergaulan bebas, kekerasan, perampokan,

pembunuhan dan hal-hal negatif lainnya pasti mempunyai pengaruh pada kehidupan iman anak.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA