Bagaimana cara memperbaiki diri menjadi akhlakul karimah akhlak yang baik

Pimpinan Pesantren Tgk Chik Oemardiyan Indrapuri, Aceh Besar, Tgk H Fakhruddin Lahmuddin, S.Ag M.Pd. Foto: Ist

Sifat dan tingkah laku seorang manusia berupa moral, etika, dan akhlak merupakan sesuatu yang dinamis. Sebagian sifat yang baik sebagai akhlak terpuji adalah sifat bawaan sejak lahir dan sebagiannya lagi diperoleh dengan jalan dilatih dan diusahakan dengan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan, seseorang yang memiliki akhlak kurang terpuji bisa diubah dan diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Karenanya, ia selalu terbuka dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan.

Karena akhlak ini bisa diubah, sehingga salah satu tujuan Rasulullah SAW diutus juga dalam rangka memperbaiki akhlak manusia yang sangat rusak di masa jahiliyah sehingga mereka bisa memiliki akhlak terpuji.

Demikian antara lain disampaikan Tgk H Fakhruddin Lahmuddin, S.Ag M.Pd (Pimpinan Pesantren Tgk Chik Oemardiyan Indrapuri, Aceh Besar) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Masjid Haji Keuchik Leumiek (KL), Lamseupeung, Rabu (13/2/2019) malam.

Pengajian yang dipandu Dosi Elfian ini turut dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Usamah El-Madny, Sekretaris Dewan Pembina KWPSI, H. Harun Keuchik Leumiek, Ketua KWPSI, Azhari, Imuem Chik Masjid Haji Keuchik Leumiek, Tgk. Ridwan Ibrahim, tokoh masyarakat dan warga Lamseupeung.

"Manusia lahir dengan membawa sifat-sifat tertentu‎. Ada akhlak bawaan, baik terpuji maupun tercela. Akhlak bisa diubah dari buruk ke baik, atau juga sebaliknya berubah dari baik ke buruk, tergantung bagaimana kita memperbaiki akhlak dan menjaganya, dengan latihan dan kebiasaan," ujar Tgk. Fakhruddin Lahmuddin yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh.‎‎

Menurut Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry ini, upaya perbaikan akhlak ini harus dilakukan melalui pendidikan dan pembinaan pada sikap dan perilaku konstruktif. Pembiasaan tersebut dilakukan melalui metode berbalik atau berubah dari sifat bawaan yang sudah ada.

Misalnya, ada orang memiliki sifat cepat marah dan emosi tapi sulit memaafkan dengan memelihara dendam, memiliki sifat pelit dan sulit berinfak dan sedekah serta berat menolong orang, memiliki sifat angkuh, egois, iri, dengki dan suka menghasut, tidak senang pada kelebihan orang, mudah berkata bohong, senang ghibah, namimah, dan lainya.‎

"Sifat-sifat seperti ini yang lalu menjadi akhlak buruk sehari-hari, bisa berubah dengan jalan memperbaiki diri, misalnya dari bakhil berganti dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, ‎iri dengki dengan qanaah. Proses pembiasaan ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara instan tapi membutuhkan waktu, perjuangan, dan kesabaran yang tinggi dengan terus membiasakan diri mengikuti kajian-kajian keagamaan dan lingkungan yang baik," sebutnya.

Tgk. Fakhruddin memberikan contoh, jangankan manusia yang memiliki akal dan pikiran, binatang buas saja seperti Harimau dapat berubah sifat-sifatnya‎ yang ganas ketika dilatih dengan baik.

‎"Binatang yang memiliki karakter liar, ganas dan buas namun setelah dilatih berubah menjadi jinak.‎Lihatlah sirkus dimana Singa, Harimau atau gajah liar dapat berubah menjadi jinak. Dengan apa mereka berubah? Tentu saja dengan latihan.‎

Begitu juga akhlak dapat berubah walaupun hal ini memerlukan perjuangan yang berat karena mengubah kebiasaan itu berat," jelasnya.‎

Ada istilah tabiat dan kebiasaan, sebagaimana ada sebuah perkataan, 'Seseorang itu tumbuh besar menurut kebiasaan yang dibiasakan orangtuanya'.‎Dalam hal ini pengaruh lingkungan berpengaruh sangat besar terhadap perilaku dan tabiat seseorang.‎Lihatlah orang-orang yang tumbuh di tengah-tengah keluarga yang tidak memperhatikan akhlak. Mereka sangat jauh dari akhlak mulia. ‎‎Ketika diingatkan untuk memperbaiki akhlak, maka orang yang serta merta dia menjawab, 'Memang sudah seperti ‎inilah karakter/tabiatku sejak ayah dan kakek buyutku, tidak bisa berubah, mau bagaimana lagi?' Dengan kata lain dia merasa sudah tidak berpeluang lagi untuk mengubah karakternya. ‎

"Dengan jawaban tersebut dia seolah-olah berkata, akhlak adalah sesuatu yang baku dan memiliki harga mati yang tidak bisa diubah lagi. ‎Selain itu dia menjadikan jawaban tersebut sebagai dalil untuk menutupi keburukan yang ada pada dirinya. Ini tentu tidak baik dipelihara," terangnya.‎

Tgk. Fakhruddin juga mencontohkan waktu Rasulullah diutus, masyarakat Arab Jahiliyah yang dulunya jahat, kebiasaan buruk minum khamar, berzina, membunuh, suka berperang dan perangai jahat lainnya bisa diubah oleh Rasulullah sampai mereka menjadi terbaik akhlaknya saat itu.

Perbaikan akhlak juga memerlukan istiqamah, yaitu komitmen yang tinggi untuk selalu berpihak kepada yang baik dan benar. Perbaikan akhlak berbeda dengan perbaikan pada sektor-sektor lain. Perbaikan akhlak tidak dapat diwakilkan karena keputusan untuk berpihak kepada yang baik dan benar itu harus datang dan lahir dari kita sendiri.‎

‎Istiqamah seperti itu menjadi lebih penting lagi, karena daya tarik kebaikan pada umumnya dikalahkan oleh daya tarik keburukan dan kesenangan duniawi. Pemihakan pada kebaikan sebagai inti dari ajaran akhlak benar-benar membutuhkan komitmen dan tekad yang kuat agar kita sanggup melawan dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan nafsu. Inilah sesungguhnya makna Sabda Rasulullah SAW, "Surga dipagari oleh kesulitan-kesulitan yang berat dan tidak menyenangkan jiwa, sedangkan neraka dipagari oleh kesenangan-kesenangan nafsu syahwat".

Ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang itu tidak akan masuk surga sehingga mengamalkan perkara-perkara yang dibenci jiwa, begitu pula sebaliknya seseorang itu tidak akan masuk neraka sehingga ia mengamalkan perkara-perkara yang disenangi oleh syahwat. 

Demikian itu dikarenakan ada tabir yang menghiasi surga dan neraka berupa perkara-perkara yang dibenci ataupun yang disukai jiwa. Barangsiapa yang berhasil membuka tabir maka ia akan sampai ke dalamnya. Tabir surga itu dibuka dengan amalan-amalan yang dibenci jiwa dan tabir neraka itu dibuka dengan amalan-amalan yang disenangi syahwat. 

Diantara amalan-amalan yang dibenci jiwa seperti halnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah serta menekuninya seperti shalat berjamaah, membaca Alquran dan bersedekah, bersabar di saat berat menjalankannya, menahan amarah, memaafkan orang lain, berlaku lemah lembut, bersedekah, berbuat baik kepada orang yang pernah berbuat salah, bersabar untuk tidak memperturutkan hawa nafsu dan yang lainnya. 

Sementara perkara yang menghiasi neraka adalah perkara-perkara yang disukai syahwat yang jelas keharamannya seperti minum khamar, berzina, memandang aurat wanita yang bukan mahramnya, menggunjing, dan lainnya.‌‎‎

"Betatapun tingkat kesulitan yang dihadapi, perbaikan akhlak harus tetap kita upayakan. Soalnya, agama itu pada akhirnya adalah akhlak. Dalam perspektif ini, seseorang tak dapat disebut beragama jika ia tidak berakhlak," pungkasnya. 

GENERASI MILLENIAL

Oleh: Rusmanto

Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam yang menjelaskan baik buruknya suatu perbuatan manusia, sekaligus menjadi pola hidup dalam menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri manusia dan bisa bernilai baik atau bernilai buruk. Manusia akan menjadi sempurna jika mempunyai akhlak terpuji serta menjauhkan segala akhlak tercela[1].

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al din mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[2] Ketinggian budi pekerti atau dalam bahasa Arab disebut akhlakul karimah yang terdapat pada seseorang yang menjadi seseorang itu dapat melaksanakan kewajiban dengan baik dan sempurna, sehingga menjadikan seseorang itu dapat hidup bahagia. Sebaliknya apabila manusia buruk akhlaknya, kasar tabiatnya, buruk prasangkanya terhadap orang lain, maka itu sebagai pertanda bahwa orang itu akan hidup resah sepanjang hayatnya.

Akhlak ialah tingkah laku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang dan sikap yang menjadi sebahagian daripada keperibadiannya. Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualitas individu dan masyarakat. Individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkah laku yang buruk, akan porak poranda dan kacau balau.

Pengertian akhlakul karimah

Secara etimologis akhlaq berasal dari kata Al-Huluq, akhlaq yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan. Secara istilah akhlaq berarti sesuatu yang melekat pada jiwa manusia yang daripadanyalah lahir perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa melalui proses pemikiran pertimbangan atau penelitian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.[3]Menurut Abuddin Nata akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan tersebut telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.[4]

Akhlakul Karimah adalah Akhlak yang baik dan terpuji yaitu suatu aturan atau norma yang mengatur hubungan antar sesama manusia dengan tuhan dan alam semesta. Akhlak mahmudah (akhlak terpuji) atau disebut pula dengan akhlak al karimah (akhlak yang mulia). Temasuk akhlak al karimah antara lain adalah ridha kepada Allah, cinta dan beriman kepada-Nya, beriman kepada malaikat, kitab Allah, Rasul Allah, hari kiamat, takdir Allah, taat beribadah, selalu menepati janji, melaksanakn amanah, berlaku sopan dalam ucapan dan perbuatan, qana’ah (rela terhadap pemberian Allah), tawakkal (berserah diri), sabar, syukur, tawadhu’ (merendahkan diri), berbakti kepada kedua orang tua, dan segala perbuatan yang baik menurut pandangan atau ukuran Islam.

Jenis Akhlakul Karimah

Akhlakul karimah lainnya adalah akhlak yang terpuji baik yang langsung terhadap Allah dengan melaksanakan ibadah yang wajib maupun yang sunah, dan melaksanakan hubungan yang baik terhadap sesama manusia yang meliputi antara lain :

  1. Husnudzhan hablumminallah wahablumminannas ( Hubungan Baik Kepada Alloh Dan Hubungan Baik Sesama Manusia )
  2. Qana’ah yaitu menerima segala pemberian Allah SWT.
  3. Ikhlas yaitu melaksanak sesuatu perbuatan yang baik hanya karena Alllah SWT.
  4. Sabar yaitu menerima pemberian dari Allah baik berupa nikmat maupun berupa cobaan.
  5. Istiqomah yaitu teguh pendirian terhadap keyakinannya.
  6. Tasammuh yaiitu memiliki sifat tenggang rasa, lapang dada, dan memiliki sifat toleransi.
  7. Ikhtiar yaitu berusaha atau kerja keras untuk mencapai tujuan.
  8. Berdoa yaitu memohon kepada Allah.

Selain itu, dalam QS. Al-Baqarah/2: 177:

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

Misi Rasulullah antara lain untuk memperbaiki akhlak. Adapun memperbaiki akhlak di sini bukan untuk masyarakat jahiliyyah saja, akan tetapi juga menanamkan prinsip-prinsip atau dasar pengetahuan, kaidah-kaidah akhlak yang bersumber dari Al-Quran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Bagaimana masyarakat Arab kala itu yang penuh kebatilan, kedzaliman, ketidakjujuran, anti kritik dan anti kemanusiaan.

Kemudian di dalam ayat:

خُذِ ٱلعَفوَ وَأمُر بِٱلعُرفِ وَأَعرِضعَنِ ٱلجَٰهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).

Ayat ini singkat namun padat dan mengandung arti yang begitu luas, dengan kalimatnya yang singkat ia sudah mencakup seluruh aspek akhlaqul karimah. Ayat ini memerintahkan kita kepada tiga hal:

Kata خذ العفو (maafkanlah) memerintahkan kita untuk memaafkan orang yang bersalah, menyambung tali silaturrahmi kepada saudara yang mememutuskannya, memperbaiki hubungan dengan orang lain, memaafkan orang yang menyakiti kita dan lain sebagainya. Kalimat ini mengandung segala bentuk memaafkan dan bersabar terhadap orang lain.

Kata وَأمُر بِٱلعُرفِ (suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf (baik).) mengandung perintah untuk menyeru kepada segala hal yang dianggap baik dalam syariat, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Kata وَأَعرِض عَنِ ٱلجَٰهِلِينَ (berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh) mengandung perintah untuk bersabar dan berpaling dari orang-orang bodoh serta memuliakan diri dengan tidak berdebat dengan mereka. Seorang penyair arab berkata:

  • Jika orang bodoh berbicara maka janganlah engkau menjawabnya,
  • Diam itu lebih baik daripada menjawabnya,
  • Saya bersikap diam terhadap seseorang yang bodoh,
  • Maka dia mengira aku tak bisa menjawabnya padahal aku bukan tak bisa menjawabnya.

Sumber Akhlakul Karimah

Sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik-buruk atau mulia dan tercela. Al-Quran dijadikan sebagai patokan utama untuk memperbaiki akhlak. Dimulai dari akhlak pribadi, keluarga dan seterusnya hingga lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaannya. Sumber akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat, sebagaimana pada konsep etika dan moral.[5] Dalam konsep akhlak, segala sesuatu dinilai baik-buruk, terpuji-tercela, semata-mata karena syara‟ (al-Qur’an dan Sunnah) menilainya demikian. Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menerangkan tentang Rasulullah SAW sebagai suri tauladan (uswatun khasanah) bagi seluruh umat manusia.

Dalam Alquran, Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرً

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab: 21).

Ibnu katsir menerangkan bahwa ayat yang mulia itu merupakan dalil pokok yang paling besar, yang menganjurkan kepada manusia yang beriman agar meniru Rasulullah SAW dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya. Karena itulah Allah SWT memerintahkan kepada kaum mukmin agar meniru sikap Nabi SAW dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan perjuangannya, serta tetap menanti jalan keluar dari Allah SWT. Semoga shalawat dan salam-Nya terlimpahkan kepada Rasulullah SAW sampai hari kiamat. Keluhuran akhlak Nabi SAW juga disebutkan dalam ayat lainnya. Allah SWt berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ 

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Al-Qalam: 4).

Akhlak yang mulia merupakan tolak ukur utama dalam menilai tingkat keimanan seseorang. Bahkan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau mengatakan:

تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Salah satu alasan diutusnya Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT di Arab tidak lain untuk membenahi akhlak masyarakat pada masa itu. Hal ini disebutkan dalam hadits.  

عَنْ أَبِي هُرَيرة قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّمَا بُعِثتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ”. 

Dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik. (HR. Ahmad  2/381)

Mengenai akhlak Nabi SAW, Siti Aisyah radhiyallahu anha  menjawab: 

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ 

Artinya: Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.

Rasulullah SAW sama sekali belum pernah memukulkan tangannya kepada seorang pun dari pelayannya, dan belum pernah memukul seorang pun dari istri (beliau), dan belum pernah memukulkan tangannya kepada sesuatu pun kecuali bila dalam berjihad di jalan Allah.  Baginda Nabi SAW juga tidak pernah melakukan suatu pembalasan yang pernah ditimpakan kepada dirinya, melainkan bila batasan-batasan Allah dilanggar, maka beliau baru melakukan pembalasan dan itu hanyalah karena Allah SWT.

Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia [HR. at-Tirmidzi no. 1987

Pentingnya memiliki akhlakul karimah

Dalam ajaran agama Islam, akhlakul karimah merupakan salah satu indikator dalam menilai tingkat keimanan seorang umat. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini:

تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Artinya:

“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Selain itu:


أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.” (HR At- Tirmidzi)

Dalam hadits lain beliau bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat tinggalnya denganku pada hari kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya” (HR. Tirmidzi, shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat pada timbangan (kebajikan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang mulia” (HR At-Tirmidzi)

Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa seseorang mukmin berusaha untuk melakukan amalan yang terbaik dengan timbangan yang terberat pada hari kiamat. Karena kita sadar bahwa umur dan kemampuan kita untuk beramal sholeh terbatas, maka Nabi mengarahkan kita untuk berakhlak yang mulia, karena akhlak mulia merupakan amal ibadah yang sangat berat timbangannya pada hari kiamat.

Generasi millennial

Milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X. Mereka lahir pada kisaran 1980 hingga 2000-an. Pada 2020, generasi milenial akan mendominasi populasi di Indonesia dengan porsi sekitar 34 persen. generasi milenial di Indonesia sangat kecanduan internet. Dalam sehari rata-rata generasi milenial bisa menggunakan internet dengan durasi lebih dari tujuh jam dalam sehari. loyalitas generasi milenial tergolong rendah. Saat ada produk yang lebih bagus, generasi milenial dengan mudah akan berpaling. Mayoritas milenial lebih memilih melakukan transaksi non-tunai. generasi milenial bisa bekerja dengan lebih cepat dan cerdas lantaran didukung oleh keberadaan teknologi. Perkembangan teknologi juga mendorong milenial memiliki kemampuan multi-tasking. Perilaku ini membuat milenial terbiasa melakukan dua hingga tiga pekerjaan sekaligus. Generasi milenial juga memiliki perilaku senang berwisata. 1 dari 3 millenial di Indonesia liburan minimal 1 kali dalam setahun. Di sisi lain, milenial terhitung gemar berbagi, peduli dan responsif terhadap masalah sosial.

Membangun Kultur Akhlakul Karimah di Kalangan Generasi Millenial

Untuk membangun budaya/kultur Akhlakul Karimah di Kalangan Generasi Millenial dapat dilakukan sebagai berikut:

  1. Memperbanyak kajian tentang keutamaan berkahlakul karimah. Kajian dapat dilakukan dengan online/ofline. Banyak situs/web yang menyuguhkan tentang keutamaan memiliki akhlak yang baik. Jika generasi millennial sudah faham tentang keutamaan berakhlak karimah, insyaAllah akan muncul dari dalam dirinya (motivasi internal) untuk berakhlakul karimah. Dan motivasi ini biasanya akan lebih lama, tidak mudah luntur, karena akhlak yang tercermin original dari dalam dirinya.
  2. Memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadah. Ibadah adalah bukti keimanan dan ketaqwaan seseorang. Nash-nya, jika ibadah seseorang bagus, akhlak yang keluar dari dirinya baik ucapan maupun perbuatan juga akan bagus. Pada prinsipnya, luaran dari ibadah adalah akhlak. Jika ibadahnya bagus, akhlaknya bagus, jika ibadahnya kurang bagus, akhlaknya juga kurang bagus.
  3. Memilah dan memilih komunitas yang bagus, yang memiliki kesamaan visi misi dan tujuan hidup. Lingkungan yang bagus akan menambah semangat seseorang untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
  4. Aktif dalam organisasi keagamaan/Muhammadiyah yang di dalamnya banyak kegiatan yang dapat memperdalam pemahaman keagamaan dan dialog antar anggota sehingga saling menguatkan nilai-nilai keislaman dalam dirinya.

Penutup

Akhlakul karimah adalah akhlak yang terpuji yang sumbernya dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akhlak seseorang dapat dilihat dari ucapan dan perilakunya sehari-hari. Untuk menumbuhkan akhlakul karimah, khususnya bagi generasi millennial, pertama dengan menambah intensitas dalam melihat dan mendengarkan kajian online sehingga memunculkan nilai-nilai keislaman dalam dirinya. Kedua, menigkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Ketiga, Memilah dan memilih komunitas yang bagus. Keempat, Aktif dalam organisasi keagamaan/Muhammadiyah.

[1] Dr. Mansur, MA, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) cet. 3, hlm.221

[2] Imam Al Ghozali, Ihya Ulum al Din, jilid III, (Indonesia: Dar Ihya al Kotob al Arabi,tt), hlm. 52

[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 178.

[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), hlm. 5.

[5] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam/LPPI, 2004), hlm. 4.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA