Bagaimana cara bekerja yang sesuai dengan aturan Islam?

BEKERJA adalah salah satu konsep yang menjadi perhatian dalam Islam. Bekerja merupakan hal mendasar dalam kehidupan. Hidup manusia dapat berjalan baik jika setiap orang mau bekerja, baik untuk kepentingan individu ataupun kepentingan sosial.

Dengan bekerja, seseorang dapat membangun kepercayaan dirinya. Seseorang yang bekerja tentu berbeda dengan orang yang tidak bekerja sama sekali atau pengangguran dalam masalah pencitraan dirinya. Bahkan dengan bekerja, seseorang akan merasa terhormat di hadapan orang lain. Karena dengan hasil tangannya sendiri, mereka mampu bertahan hidup. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan seorang pengemis yang selalu meminta belas kasih orang lain. Bekerja malahan akan menaikkan derajat suatu bangsa di hadapan bangsa lain.

Mengingat begitu pentingnya masalah bekerja dalam kehidupan, maka Islam memberikan perhatian khusus kepada umat manusia untuk bekerja. Bekerja merupakan upaya untuk melanggengkan kehidupan itu sendiri. Bahkan, bekerja dalam pandangan Islam selalu dikaitkan dengan masalah keimanan. Banyak kalam Allah SWT yang menyebutkan bahwa pembahasan tentang bekerja dengan cara terbaik (amal saleh) selalu disandingkan dengan keimanan kepada Allah SWT. Masalah keimanan selalu diletakkan di awal kalimat sebelum amal saleh. Dalam Al-Quran Surat  Al-‘Ashr ayat 1 – 3, yang artinya, : 1. Demi masa ; 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian ; 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 105 yang artinya : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, bekerja disejajarkan dengan keimanan, sekaligus sebagai wujud dari keimanan itu sendiri. Hal ini pulalah yang memberikan pemahaman bahwa bekerja hendaknya berada dalam bingkai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran Surat  Al-Insyiqaaq ayat 6 yang artinya : “Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”

Dalam Islam, bekerj abukan sekadar untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu. Bekerja sebagai upaya mewujudkan firman Allah sebagai bagian dari keimanan. Dengan demikian, bekerja merupakan aktivitas yang mulia. Dengan bekerja, seseorang dapat melaksanakan perintah-perintah Allah SWT lainnya, seperti zakat, infak, dan sedekah. Bahkan Rasulullah SAW menempatkan posisi terhormat bagi mereka yang berinfak dari hasil kerjanya sendiri. Sabda Rasulullah SAW : “Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

Malahan mereka yang bekerja atas dasar niat untuk menafkahi keluarganya dikategorikan sebagai mujahid (pejuang) di jalan Allah. Allah SWT pun menempatkan mereka sebagai syahid (dunia) apabila meninggal saat bekerja untuk mencari penghidupan yang terbaik bagi keluarganya. Sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja dan barangsiapa yang bekerja keras untuk keluarganya, maka ia seperti mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad)

Dalam Islam, bekerja juga merupakan wujud syukur akan nikmat dan karunia Allah SWT. Selain itu, bekerja juga sangat dianjurkan, karena dapat menjaga wibawa dan kehormatan diri. Dengan bekerja, seseorang tak kan meminta-minta dan mengharapkan pemberian orang lain. Allah SWT dan Rasul-Nya melarang para peminta-minta, yaitu mereka yang tidak bekerja dan hanya berpangku tangan. Ibnu Mas’ud mengatakan : “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur, tidak ada usahanya untuk kepentingan dunia dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”

Bekerja di dunia merupakan salah satu jembatan menuju akhirat. Karena itu, bekerja bukan semata-mata mencari penghidupan dunia. Cara kerja kita akan menentukan, apakah kita akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat atau tidak? Maka, setiap langkah kerja kita akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT kelak.

Allah berfirman dalam Al-Quran Surat  Al-Qashash ayat 77, yang artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Begitu banyak kalam Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW yang secara khusus memberikan motivasi untuk bekerja. Bekerja dengan cara terbaik demi mendapatkan rezeki halal dan penghidupan terbaik. Di antaranya dalam Al-Quran Surat  Al-Jumu’ah ayat 10, yang artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi ; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

 Juga hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Baihaqi : “Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan secara professional.” (HR. Baihaqi)

Banyak orang memaknai rezeki begitu sempit, yaitu sekadar uang atau materi. Pemahaman yang umum melekat adalah rezeki merupakan hasil kerja seseorang dan bukanlah pemberian dari Sang Pemilik Rezeki. Ketika kita mendapatkan kesehatan yang baik, masih bisa menghirup udara dengan bebas, mata masih bisa melihat dengan jernih, telinga masih bisa mendengar dengan jelas, mulut masih bisa berbicara dengan indah, tangan masih bisa digerakkan, dan kaki masih bisa diayunkan untuk melangkah, seakan semua kenikmatan itu bukanlah sebuah rezeki.

Semua itu hanya dianggap sebuah kewajaran biasa. Padahal, di saat salah satu bagian tubuh tidak dapat difungsikan dengan baik, tentu akan banyak mengeluarkan biaya untuk menormalkannya kembali. Untuk itu, tidakkah sesungguhnya kesehatan yang melekat pada diri merupakan rezeki terbesar (setelah keimanan) dari Allah SWT?

Tetapi kebanyakan manusia tidak memahami dan menyadarinya. Untuk itulah, Rasulullah SAW bersabda : “Dua hal yang sering manusia lupakan adalah kesehatan dan kesempatan.”

Rezeki menurut para ulama ialah apa saja yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan atau dinikmati) oleh manusia. Rezeki dapat berupa uang, makanan, ilmu pengetahuan, rumah, kendaraan, pekerjaan, anak-anak, istri, kesehatan, ketenangan, serta segala sesuatu yang dirasa nikmat dan membawa manfaat bagi manusia. Rezeki merupakan kelengkapan hidup yang pasti Allah karuniakan kepada mahluk hidup di dunia, khususnya manusia. Sebagaimana ajal, keberadaan rezeki telah dijamin Allah SWT. Tidak ada manusia yang hidup di dunia tanpa dilengkapi rezeki.

Sayangnya, kebanyakan orang memahami rezeki sebagai harta dan materi belaka. Bahkan, lebih sempit lagi, yaitu berupa uang. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa jika seseorang tidak memiliki uang berarti dia tidak mendapatkan rezeki. Begitu pula jika seseorang bekerja dan hanya mendapatkan sejumlah kecil uang, dianggap hanya mendapat sedikit rezeki. Sementara itu, pengalaman masa kerja, kebahagiaan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah rezeki.

Ada pula pemahaman masyarakat bahwa peluang tempat untuk mengais rezeki hanya dengan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara pekerjaan selain PNS bukanlah tempat yang layak untuk mendapatkan rezeki. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Padahal, dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan, 99 pintu rezeki manusia diperoleh dari berdagang.

Banyak kalangan memiliki pemahaman berbeda terhadap makna rezeki ini. Pemahaman makna tersebut akan menentukan cara seseorang dalam memperlakukan rezeki yang ada padanya.

Berikut ini tiga model pemahaman tentang makna rezeki :

  1. Sebagian orang memahami bahwa rezeki yang didapat menjadi miliknya sepenuhnya. Tidak ada campur tangan pihak lain dalam mendapatkan rezeki tersebut, baik orang lain ataupun Allah SWT. Baginya, segala sesuatu yang diperoleh adalah hasil kerja kerasnya semata. Orang yang berpaham demikian jauh dari rasa syukur dan sangat sulit untuk membagi rezekinya dengan orang lain. Bagi mereka, berbagi hanya akan mengurangi rezeki yang dimiliki. Mereka tidak sadar bahwa segala sesuatu sesungguhnya hanya milik Allah SWT.
  2. Para ulama memahami makna rezeki sebagai atho’ atau pemberian. Makna tersebut merupakan makna dasar dari kata ar-rizqu dalam bahasa Arab. Dengan pengertian atho’, segala rezeki yang diperoleh seseorang di dunia adalah semata-mata pemberian Allah SWT. Rezeki bukanlah hasil kerja dari seseorang. Sementara, kerja hanyalah sebatas haal (jalan) atau perantara untuk mendapatkan rezeki. Sedangkan, sebab utama diperolehnya rezeki adalah pemberian dari Allah SWT. Ada banyak perantara bagi seseorang untuk mendapatkan rezeki. Bisa melalui kerja yang dilakukan, melalui orang lain, atau menemukan sesuatu di jalan, dan lain sebagainya. Coba renungkan jika rezeki adalah hasil dari kerja kita, tentunya mereka yang bekerja keras dan banting tulang saja yang mendapatkan hasil banyak. Pemahaman tentang rezeki sebagai pemberian Allah SWT akan memudahkan seseorang untuk memenuhi segala aturan-Nya dan berbagi dengan orang lain.
  3. Pemahaman lainnya adalah rezeki yang dimiliki seseorang semata-mata amanah dari Allah SWT. Sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Inilah pemahaman sesungguhnya tentang rezeki. Pemahaman ini akan mengantarkan seseorang pada rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rezeki. Lantaran, Sang Pemilik Rezeki dapat mengambil kembali semua rezeki, kapan pun Dia berkehendak. Jika seseorang telah memiliki pemahaman ini, tentunya ia tak kan menolak kehendak-Nya dan tak kan membuatnya stress atau bingung. Mereka pun akan berhati-hati dalam mengelola rezekinya. Jangan sampai menyinggung perasaan Sang Pemilik Utamanya. Apa pun kehendak Sang Pemilik Rezeki, tentu akan dipenuhinya dengan senang hati sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang dipercayakan pada dirinya. Kalaupun tidak ada rezeki padanya, mereka paham bahwa –mungkin– itulah yang terbaik menurut Sang Pemilik. Meskipun belum diberi kepercayaan, mereka akan terus berupaya menampilkan yang terbaik dalam kehidupan ini. Seraya selalu mendekatkan diri pada-Nya dan menarik simpati-Nya, sehingga Sang Pemilik mempercayakan rezeki pada dirinya.

Bekerja dengan hati nurani adalah bekerja dengan berlandaskan pada pusat kesadaran manusia, yaitu kalbu. Hati nurani adalah hati yang telah diwarnai atau dipenuhi cahaya kebenaran. Sedangkan kalbu merupakan dasar kefitrahan diri. Pada dasarnya, kalbu cenderung pada panggilan kesucian, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah SWT. Dalam bekerja, hendaknya mendengarkan suara hati nurani sebagai pengambil kebijaksanaan.

Penanaman nilai-nilai spiritual di dunia kerja diyakini mampu mendorong munculnya motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi atas dasar ibadah. Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih, penuh kesadaran, bertanggung jawab, bersemangat, dan bersungguh-sungguh karena merasa dinilai Allah SWT, suci bersih dari penyimpangan, penyelewengan dan kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang terbaik, serta menjadi teladan, contoh terbaik dalam kebaikan bagi lainnya. Berbagai sikap ini harus dibina dan dikembangkan dalam keseharian kerja kita.

Ketika bekerja dengan kesadaran spiritual, seseorang selalu merasa dilihat, dinilai, dan diawasi Allah SWT, sehingga tidak membutuhkan penilaian dari manusia. Ada atau tidak ada pimpinan yang mengontrol, selalu menampilkan sikap yang terbaik dalam setiap langkah pekerjaannya. Kerja spiritual inilah yang diyakini mampu memotivasi sekaligus menjadi modal utama sebuah kesuksesan dalam pencapaian visi perusahaan atau instansi.  (wawan dari berbagai sumber/ DK)