Bagaimana adab kita terhadap pemberian hadiah yang tidak berkesan

ADAB MEMBERIKAN HADIAH

1. Hadiah, Pemberian, Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa ganti.

2. Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

 أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ

“Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan pula memukul orang Islam”.[1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبََْلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”.[2]

3. Dan di antara kemuliaan akhlaq Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi maka beliau mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi diberikan semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka menikmati hadiah tersebut bersama beliau.[3]

4. Apabila dihadiahkan kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi buah panenan pertama (untuk awal musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a:

اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فَِي مَدِيْنََتِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ

“Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan bersama keberkahan.”,

Kemudian beliau memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.[4]

5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam atau umatnya, maka Nabi tetap memberikannya sampai orang tersebut rela.

6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamselalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”.[5]

7. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamselalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya”.[6]

8. Memberikan hadiah kepada orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.[7]

9. Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرً

 (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah cukup memadai dalam memuji”.[8]

Baca Juga  Keutamaan dan Manfaat Sedekah

10. Memberikan hadiah kepada tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits ’Aisyah radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya paling dekat denganmu”.[9] Jawab beliau.

11. Memberikan hadiah menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa khandak.

12. Di antara hadiah yang mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula membebankan, sebab Nabi tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda:

مَـنْ عَـرَضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ

“Barangsiapa yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum baunya”.[10]

13. Apabila hadiah tersebut berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya.

14. Apabila hadiah tersebut berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada padamu maka janganlah kau menerimanya.

15. Seseorang dianjurkan untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan hadiah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamberupa keju, samin dan daging biawak, maka Nabi memakan samin dan keju serta meninggalkan daging biawak.[11]

16. Apabila seseorang ingin memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik, bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi, mereka menunggu hari giliran setelah Aisyah.

17. Jika seseorang menolak suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut.

18. Apabila orang yang akan diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya.

19. Memberikan hadiah kepada kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya.

20. Orang tua boleh memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang diwajibkan.

21. Di antara hadiah yang terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah SAW?. Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab: Bacalah:

اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ …حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan Yang Maha Terpuji dan Mulia”.

22. Hadiah seorang peminang dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar.

23. Tidak memberikan hadiah dengan tujuan mendapat balasan.

24. Adapun hadiah untuk memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan makruh dilakukan, seperti yang dikatakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika orang tersebut memberikan balasan yang setimpal.

25. Hadiah karena telah memberikan syafa’at[12] (pertolongan dan bantuan) tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ شَفَّعَ ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا

“Barangsiapa yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka satu pintu dari pintu-pintu riba”.[13]

Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu.

26. Seorang hakim tidak diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamhadiah adalah hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan.

27. Bagi pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan.

28. Hadiah dari orang-orang musyrik, imam Bukhari rahimahullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits yang membolehkannya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah dalam syarahnya mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahasan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku telah memberikan bagi Nabi seekor onta, maka beliau bertanya : Apakah engkau telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan : Aku dilarang menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,[14] …kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar mengutip perkataan sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berlaku bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan bisa dijinakkan hatinya untuk Islam.

[Disalin dari آداب الهدية  Penulis Majid bin Su’ud al-Usyan, Penerjemah : Muzafar Sahidu bin Mahsun Lc. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430] ______ Footnote

[1] Shahihul Adab: 117.


[2] HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187.
[3] Shahihut Targib no: 3303.
[4] HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315.
[5] Shahihul Jami’ no: 3331
[6] Shahihul Jami’ no: 4999.
[7] Al-Silsilatus Shahihah no:416
[8] Shahihul Jami’ no: 6368
[9] Shahihul Adab: 79.
[10] Shahihul Jami’ no:2392
[11] Shahihun Nasa’i no: 4029.
[12] Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah instansi atau lembaga. Pen.
[13] Al-Silasilatus Shahihah: 3465.
[14] Shahih Abu Dawud no: 2630

Page 2

ORANG-ORANG YANG DIKABULKAN DO’ANYA

Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Banyak orang yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan untuk berdoa, padahal boleh jadi seseorang itu tergolong yang mustajab doanya tetapi kesempatan baik itu banyak disia-siakan. Maka seharusnya setiap muslim memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berdoa sebanyak mungkin baik memohon sesuatu yang berhubungan dengan dunia atau akhirat.

Diantara Orang-Orang Yang Doanya Mustajab. 1. Doa Seorang Muslim Terhadap Saudaranya Dari Tempat Yang Jauh

Dari Abu Darda’ bahwa dia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لأَِخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوْكِلُ بِهِ آمِيْنَ وَلَكَ بِمِثْلِ

“Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata : “Amin, dan bagimu seperti yang kau doakan“. [Shahih Muslim, kitab Doa wa Dzikir bab Fadli Doa fi Dahril Ghalib].

Imam An-Nawawi berkata bahwa hadits di atas menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Oleh sebab itu sebagian ulama salaf tatkala berdoa untuk diri sendiri dia menyertakan saudaranya dalam doa tersebut, karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya. [Syarh Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi 17/49]

Dari Shafwan bin Abdullah bahwa dia berkata : Saya tiba di negeri Syam lalu saya menemui Abu Darda’ di rumahnya, tetapi saya hanya bertemu dengan Ummu Darda’ dan dia berkata : Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini ? Saya menjawab : Ya. Dia berkata : Doakanlah kebaikan untuk kami karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya terkabulkan dan disaksikan oleh malaikat yang ditugaskan kepadanya, tatkala dia berdoa untuk saudaranya, maka malaikat yang di tugaskan kepadanya mengucapkan : Amiin da bagimu seperti yang kau doakan”. Shafwan berkata : “Lalu saya keluar menuju pasar dan bertemu dengan Abu Darda’, beliau juga mengutarakan seperti itu dan dia meriwayatkannya dari Nabi. [Shahih Muslim, kitab Dzikir wa Doa bab Fadlud Doa Lil Muslimin fi Dahril Ghaib 8/86-87]

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa jika seorang muslim mendoakan saudaranya kebaikan dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara tersebut, maka doa tersebut akan dikabulkan, sebab doa seperti itu lebih berbobot dan ikhlas karena jauh dari riya dan sum’ah serta berharap imbalan sehingga lebih diterima oleh Allah. [Mir’atul Mafatih 7/349-350]

Catatan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa Imam Karmani menukil dari Al-Qafary bahwa ucapan doa seorang : “Ya Allah ampunilah dosa semua kaum muslimin” adalah doa terhadap sesuatu yang mustahil sebab pelaku dosa besar mungkin masuk Neraka dan masuk Neraka bertolak belakang dengan permohonan pengampunan, bisa saja pelaku dosa besar di doakan, sebab yang mustahil adalah mendoakan pelaku dosa besar yang kekal di Neraka, selagi masih bisa keluar karena syafaat atau dimaafkan, maka itu termasuk pengampunan secara keseluruhan.

Ucapan orang di atas bertentangan dengan doa Nabi Nuh ‘Alaihis Salam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Ya Rabb! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang-orang mukmin yang masuk ke rumahku dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan“. [Nuh/71: 28].

Dan juga bertentangan dengan doa Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

“Ya Rabbi, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab“. [Ibrahim/14 : 41]

Serta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperintahkan seperti itu yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan“. [Muhammad/47 : 19]

Yang jelas permohonan dengan lafazh umum tidak mengharuskan permohonan untuk setiap orang secara kolektif. Mungkin yang dimaksud oleh Al-Qafary bahwa mendoakan kaum muslimin secara kolektif dilarang bila seorang yang berdoa menginginkan keseluruhan tanpa pengecualian dan bukan pelarangan terhadap syariat doanya. [Fathul Bari 11/202]

Baca Juga  Apakah Boleh Seseorang Berdo'a Ketika Shalat Fardhu?

2. Orang yang Memperbanyak Berdoa Pada Saat Lapang Dan Bahagia
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَيَكْثُرُ الدَّعَاءَ فِى الرَّخَاءِ

“Barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah, maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang“. [Sunan At-Tirmidzi, kitab Da’awaat bab Da’watil Muslim Mustajabah 12/274. Hakim dalam Mustadrak. Dishahihkan oleh Imam Dzahabi 1/544. Dan di hasankan oleh Al-Albani No. 2693].

Syaikh Al-Mubarak Furi berkata bahwa makna hadits di atas adalah hendaknya seseorang memperbanyak doa pada saat sehat, kecukupan dan selamat dari cobaan, sebab ciri seorang mukmin adalah selalu dalam keadaan siaga sebelum membidikkan panah. Maka sangat baik jika seorang mukmin selalu berdoa kepada Allah sebelum datang bencana berbeda dengan orang kafir dan zhalim sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya ; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu“. [Az-Zumar/39 : 8].

Dan firman Allah.

وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَسَّهُ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya“. [Yunus/10 : 12]. [Mir’atul Mafatih 7/360]

Wahai orang yang ingin dikabulkan doanya, perbanyaklah berdoa pada waktu lapang agar doa Anda dikabulkan pada saat lapang dan sempit.

3. Orang Yang Teraniaya
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اِتَّقِ دَعْوةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Takutlah kepada doa orang-orang yang teraniyaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan)“. [Shahih Muslim, kitab Iman 1/37-38]

Dari Abu Hurairah bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda.

دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ مُسْتَجَابَةُ وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُوْرُهُ عَلَى نَفْسِهِ

“Doanya orang yang teraniaya terkabulkan, apabila dia seorang durhaka, maka kedurhakaannya akan kembali kepada diri sendiri“. [Musnad Ahmad 2/367. Dihasankan sanadnya oleh Mundziri dalam Targhib 3/87 dan Haitsami dalam Majma’ Zawaid 10/151, dan Imam ‘Ajluni No. 1302]

4.5. Doa Orang Tua Terhadap Anaknya Dan Doa Seorang Musafir.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga orang yang doanya pasti terkabulkan ; doa orang yang teraniyaya; doa seorang musafir dan doa orang tua terhadap anaknya“. [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Do’a bi Dhahril Ghaib 2/89. Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-Bir bab Doaul Walidain 8/98-99. Sunan Ibnu Majah, kitab Doa 2/348 No. 3908. Musnad Ahmad 2/478. Dihasankan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 596]

6. Doa Orang Yang Sedang Puasa
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَتُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Tiga doa yang tidak ditolak ; doa orang tua terhadap anaknya ; doa orang yang sedang berpuasa dan doa seorang musafir”. [Sunan Baihaqi, kitab Shalat Istisqa bab Istihbab Siyam Lil Istisqa’ 3/345. Dishahihkan oelh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah No. 1797].

7. Doa Orang Dalam Keadaan Terpaksa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu menginga(Nya)“. [An-Naml/27 : 62]

Imam As-Syaukani berkata bahwa ayat diatas menjelaskan betapa manusia sangat membutuhkan Allah dalam segala hal terlebih orang yang dalam keadaan terpaksa yang tidak mempunyai daya dan upaya. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang terpaksa adalah orang-orang yang berdosa dan sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud terpaksa adalah orang-orang yang hidup dalam kekurangan, kesempitan atau sakit, sehingga harus mengadu kepada Allah. Dan huruf lam dalam kalimat Al-Mudhthar untuk menjelaskan jenis bukan istighraq (keseluruhan). Maka boleh jadi ada sebagian orang yang berdoa dalam keadaan terpaksa tidak dikabulkan dikarenakan adanya penghalang yang menghalangi terkabulnya doa tersebut. Jika tidak ada penghalang, maka Allah telah menjamin bahwa doa orang dalam keadaan terpaksa pasti dikabulkan. Yang menjadi alasan doa tersebut dikabulkan karena kondisi terpaksa bisa mendorong seseorang untuk ikhlas berdoa dan tidak meminta kepada selain-Nya. Allah telah mengabulkan doa orang-orang yang ikhlas berdoa meskipun dari orang kafir, sebagaimana firman Allah.

Baca Juga  Doa Meminta Perlindungan Dari Sirnanya Nikmat

هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Sehingga tatkala kamu di dalam bahtera, dan meluncurkan bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya semata-mata’. (Mereka berkata) : ‘Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur“. [Yunus/10 : 22]

Dan Allah berfirman dalam ayat lain

فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alla)“. [Al-Ankabut/29: 65].

Dari ayat di atas Allah mengabulkan doa mereka, padahal Allah tahu bahwa mereka pasti akan kembali kepada kesyirikan. [Fathul Qadir 4/146-147]

Imam Ibnu Katsir berkata bahwa Imam Hafizh Ibnu ‘Asakir mengisahkan seorang yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Daud Ad-Dainuri yang terkenal dengan kezuhudannya. Orang tersebut berkata : “Saya menyewakan kuda tunggangan dari Damaskus ke negeri Zabidany, pada satu ketika ada seorang menyewa kuda saya dan meminta untuk melewati jalan yang tidak pernah saya kenal sebelumnya”, Dia berkata : “Ambillah jalan ini karena lebih dekat”. Saya bertanya : “Bolehkah saya memilih jalan ini”, Dia berkata : “Bahkan jalan ini lebih dekat”. Akhirnya kami berdua menempuh jalan itu sehingga kami sampai pada suatu tempat yang angker dan jurangnya yang sangat curam yang di dalamnya terdapat banyak mayat. Orang tersebut berkata : “Peganglah kepala kudamu, saya akan turun”. Setelah dia turun dan menyingsingkan baju lalu menghunuskan golok bermaksud ingin membunuh saya, lalu saya melarikan diri darinya, akan tetapi dia mampu mengejarku. Saya katakan kepadanya : “Ambillah kudaku dan semua yang ada padanya”. Dia berkata : “Kuda itu sudah milikku, tetapi aku ingin membunuhmu”. Saya mencoba menasehati agar dia takut kepada Allah dan siksaan-Nya tetapi ternyata dia seorang yang tidak mudah menerima nasehat, akhirnya saya menyerahkan diri kepadanya.

Saya berkata kepadanya : “Apakah anda mengizinkan saya untuk shalat?” Dia berkata : “Cepat shalatlah!” Lalu saya beranjak untuk shalat akan tetapi badan saya gemetar sehingga saya tidak mampu membaca ayat Al-Qur’an sedikitpun dan hanya berdiri kebingungan. Dia berkata : “cepat selesaikan shalatmu!”, maka setelah itu seakan-akan Allah membukakan mulut saya dengan suatu ayat yang berbunyi.

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadanya, dan yang menghilangkan kesusahan“. [An-Naml : 62]

Tidak terduga muncul dari mulut bukit seorang satria datang ke arah kami dengan menggemgam tombak di tangannya, lalu melempar tombak tersebut ke arah orang tadi dan tombak pun mengenai jantungnya lalu seketika itu orang tersebut langsung mati terkapar. Setelah itu, maka saya memegang erat-erat satria tersebut dan saya bertanya : “Demi Allah siapakah engkau sebenarnya?” Dia mejawab : “Saya adalah utusan Dzat Yang Maha Mengabulkan permohonan orang-orang yang dalam keadaan terpaksa tatkala dia berdoa dan menghilangkan segala malapetaka”. Kemudian saya mengambil kuda dan semua harta lalu pulang dalam keadaan selamat. [Tafsir Ibnu Katsir 3/370-371]

[Disalin dari buku Jahalatun nas fid du’a, edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdoa oleh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih, hal 168-174, terbitan Darul Haq, penerjemah Zaenal Abidin, Lc]

  1. Home
  2. /
  3. Dzikir : Adab Do'a...
  4. /
  5. Orang-Orang Yang Dikabulkan Do’anya

🔍 Akibat Durhaka Kepada Orang Tua, Ayat Makkiyah, Visi Misi Pernikahan Islami, Bab Talak

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA