Arti ayat akan kami pandu di jalan allah

  • oleh adminpanjatan
  • 30 Juni 2022 19:54:57
  • 14111 views

Arti ayat akan kami pandu di jalan allah

Artikel- Bahwa manusia itu berasal dari diri yang satu, dari dulu sampai sekarang disamping berasal dari diri yang satu juga merupakan umat yang satu. Selanjutnya Allah membangkitkan nabi-nabi yang kepadanya diberikan kitab untuk menerangkan tentang perselisihan. Perselisihan yang tidak bisa diselesaikan karena terjadi kedengkian diantara manusia.

Asal usul manusia berasal dari diri yang satu, mestinya tidak bisa terpisahkan sebab berasal dari unsur yang sama, berpasang-pasangan dan bergenerasi atas kehendak Allah. Saling membantu saling melengkapi dan tidak saling mencaci, bertengkar kemudian berpisah. Semua Nabi ditugaskan oleh Allah untuk memberi kabar gembira untuk orang yang taat dan peringatan  kepada orang yang membantah petunjuk Allah. Sirothol mustaqim adalah petunjuk Allah, andai petunjuk itu diikuti dan ditaati niscaya tidak akan terjadi perselisihan.

Mari ikuti petunjuk Allah Al qur’an dan jangan ikuti garis hukum yang lain karena akan mencerai beraikan manusia.

(QS4. An Nisaa' ayat 1)

1. Wahai manusia, taqwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu. Dan Dia ciptakan daripadanya pasangannya, dan Dia kembang biakkan dari keduanya, lelaki dan perempuan yang banyak. Dan taqwalah (insyaflah) pada Allah yang kamu meminta pada-NYA dan berkasih sayang. Sesungguhnya Allah adalah penjaga (pengawas) atasmu. (2/223, 3/14, 3/102, 7/189, 30/21, 39/6, 49/13).

(QS49. Al Hujuraat ayat 13)

13. Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia dari kamu pada Allah adalah kamu yang taqwa (insyaf). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi pemberi kabar. (4/1, 7/189, 30/21, 6/133, 30/22, 2/177, 6/103, 50/16, 23/62).

Allah memberi pelajaran melalui ayat di atas bahwa seandainya manusia menyadari bahwa dulunya diciptakan dari diri yang satu, mestinya memiliki sifat saling membutuhkan, saling kasih sayang, saling membantu. Akibat terkontaminasi oleh lingkungan, maka sifat itu ambyar, yang ada justru sebaliknya. Manusia saling bergesekan, saling menyakiti, saling memfitnah, saling menghujat, bahkan terjadi pertumpahan darah dan tidak sedikit berujung pada kematian akibat kedengkian di antara sesama Bani Adam.

Sebenarnya Allah memberi petunjuk melalui Al Qur’an sebagai solusi dan pegangan hidup agar manusia senantiasa berada di rel garis hukum Allah. Akibat dari kebanyakan manusia mengabaikan petunjuk dan mengambil petunjuk selain Al Qur’an, terjadilah pemahaman dan penafsiran yang keliru. Ini menjadi keprihatinan bersama, perbuatan jahat justeru dianggap jihad, menebar teror, membunuh. Akibat ulah beberapa gelintir manusia yang sesat fikir, maka umat Islam terkena getahnya. Menjadi kurban stikmatisasi radikal.

Kita mesti faham, Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Salah satu media untuk saling mengenal antar bangsa yaitu melalui ibadah haji, napak tilas ke tanah leluhur asal kakek moyang manusia bumi. Dengan demikian menjadi tahu sejarah perkembangan manusia. Dengan media ta’aruf di tanah suci maka akan menemukan kembali persaudaraan yang hilang. Mestinya di tanah suci tidak hanya  melakukan ritual ibadah haji saja, tetapi bisa membahas berbagai persoalan baik ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum yang ada di masing-masing negara. Didiskusikan, dibahas dalam acara tersebut. Orang yang tidak mempunyai Al Qur’an saja bisa membuat PBB, kenapa orang muslim tidak bisa. Mari kita renungkan.

ARROHMAH.CO.ID – Al-Hafizh Said bin Manshur al-Khurasani menyitir sebuah riwayat yang menakjubkan dalam kitabnya, as-Sunan. Riwayat ini statusnya hasan li ghairihi, yakni sebetulnya memiliki sanad dhaif (lemah) namun meningkat menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya.

Disebutkan bahwa Ibnu Masud berkata, ” Sesungguhnya di dalam (surah) an-Nisa terdapat lima ayat, dimana dunia dan seisinya ini tidak akan menyenangkanku dibanding dengan kelimanya. Aku sungguh tahu bahwasannya para ulama ketika membacanya mereka pasti mengetahuinya.”

Mungkin, ini terdengar seperti gurauan. Sebab, lima ayat itu nilainya begitu menakjubkan. Tetapi, Ibnu Masud adalah salah seorang seorang Sahabat yang menjadi guru dan rujukan dalam bacaan Al-Quran. Beliau pasti tidak bercanda dengan pernyataannya.

Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa ingin membaca Al-Quran yang segar sebagaimana ia diturunkan, maka bacalah menurut (tatacara dan sikap) bacaan Ibnu Ummi Abd.”(Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih). Yang dimaksud Ibnu Ummi Abd tidak lain adalah Ibnu Masud.

Lalu, apa sajakah kelima ayat dalam surah an-Nisa itu?


Pertama, Ayat ke-31


“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).”

Artinya, jika kita berharap Allah menghapus dan memaafkan kesalahan-kesalahan kecil kita, maka jauhi dan tinggalkan dosa-dosa besar. Lalu, apakah dosa besar itu? Dalam Tafsir Fathul Qadir, Imam Syaukani mengutip pernyataan Ibnu Masud, Dosa-dosa besar adalah semua yang dilarang oleh Allah dalam surah (an-Nisa) ini, sampai ayat ke-33. Ibnu Abbas berkata, Dosa besar adalah setiap dosa yang telah divonis oleh Allah dengan neraka, kemurkaan, laknat, atau siksaan.


Kedua, Ayat ke-40.


“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”

Allah Maha Adil, dan tidak mungkin berbuat aniaya. Nabi bersabda, “Kelak Allah akan membebaskan salah seorang dari umatku di hadapan banyak orang. Digelarlah untuknya 99 gulungan catatan, masing-masing sepanjang mata memandang, lalu Allah bertanya padanya, “Apakah engkau mengingkari sedikit saja dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat amal-Ku telah menzhalimimu?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki alasan atau kebaikan.” Maka, diam tanpa dayalah orang itu, lalu menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman, “Sebaliknya, sebenarnya engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami. Tidak ada kezhaliman sedikit pun atas dirimu di hari ini. Maka, dikeluarkanlah satu kartu (catatan yang tertulis) padanya: Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu. Lalu, semua catatan itu diletakkan pada satu sisi daun timbangan, dan selembar kartu itu pada daun timbangan lainnya. Maka, terangkatlah gulungan-gulungan catatan tersebut dan lebih berat yang selembar itu.” (Riwayat Ahmad, al-Hakim dan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amru bin al-Ash. Hadits shahih).


Ketiga, Ayat ke-48.


Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya….

Syirik adalah dosa tak termaafkan. Jika seorang hamba mati dan menjumpai Allah dalam keadaan musyrik, maka murka-Nya tak terpadamkan. Ia pasti masuk neraka selama-lamanya.

Imam al-Alusi meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini dalam tafsirnya: bahwa tatkala turun ayat, Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53), maka Nabi berdiri diatas mimbar dan membacakannya.

Ada seseorang yang berdiri dan bertanya, “Bagaimana dengan menyekutukan Allah (syirik)?” Maka, beliau pun diam. Orang itu kembali berdiri dan menanyakan hal yang sama, dua atau tiga kali, sementara beliau tetap diam. Maka, turunlah surah an-Nisa: 48 diatas.


Keempat, Ayat ke-64.


“…Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini berkenaan dengan beberapa orang yang mengadukan perkara kepada Rasulullah. Namun, setelah diberi putusan, mereka justru tidak puas dan ingin mencari hukum lain yang bisa memenuhi selera nafsunya. Allah menegur keras sikap tersebut, namun menjanjikan jalan keluar, yaitu: jika mereka mau bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, lalu mendatangi Rasulullah dan meminta agar dimaafkan serta dimohonkan ampunan, maka pasti Allah bersedia menerima mereka kembali.


Kelima, Ayat ke-110.


“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.”

Dalam Tafsir Zaadul Masir, Imam Ibnul Jauzi menyatakan bahwa yang dimaksud kejahatan disini adalah syirik, mencuri atau dosa-dosa lain secara umum. Sedangkan menganiaya dirinya adalah menuduh orang lain tanpa bukti atau dosa-dosa lain di bawah syirik.

Sesungguhnyalah, kita tidak pernah terlepas dari kesalahan dan dosa. Maka, inilah jalan-jalan emas yang diberikan Allah. Tentu saja, mendapatkan jaminan ampunan dari Allah nilainya akan jauh lebih baik dari dunia dan seluruh isinya. Wallahu alam. [M. Alimin Mukhtar]

Apa dan bagaimana makna yang terkandung di dalam Surah Al Ankabut ayat 69?

Ayat ini menunjukkan, bahwa orang yang layak mendapatkan kebenaran adalah orang yang sungguh-sungguh, dan bahwa orang yang berbuat ihsan dalam melaksanakan perintah Allah, maka Dia akan membantunya serta memudahkan sebab-sebab hidayah.

Ayat yang artinya barang siapa yang bersungguh sungguh?

Ungkapan Arab "Man Jadda Wa Jadda" memiliki arti, barang siapa yang bersungguh-sungguh, dia pasti berhasil. Untuk bersungguh-sungguh harus diawali dengan niat yang baik atas segala yang kita inginkan.

Apa arti Subulana?

Jadi jalan yang ditunjukkan Tuhan untuk hambanya itu subulana (jalan-jalan kami), bukan sabili (jalan saya).

Surat Al Ankabut surat ke berapa?

Surat ini merupakan surah ke-29 dalam susunan mushaf Al Quran dan terdiri dari 69 ayat. Kata Al Ankabut dalam surat ini mengandung arti laba-laba yang merupakan analogi bagi orang-orang kafir. Melalui surat ini, Allah SWT mengibaratkan orang kafir sebagai laba-laba sedang membangun rumahnya yang lemah.