Apakah istinja menggunakan batu sama kedudukannya dengan istinja menggunakan air

Beristinja’ artinya menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya air seni atau kotoran. Terambil dari kata an-najaa’ yang berarti bersih atau selamat dari penyakit. Dinamakan demikian karena orang yang melakukan istinja’ ia mencari keselamatan dari penyakit dan berbuat untuk menghilangkannya (lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 45).Beristinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air mutlak atau air yang suci dan mensucikan saja atau dengan menggunakan batu saja. Namun yang paling utama bila istinja’ dilakukan dengan menggunakan batu pada awalnya, kemudian disempurnakan dengan menggunakan air. Ini dikarenakan batu dapat menghilangkan wujud najisnya sedangkan air dapat menghilangkan bekasnya dengan tanpa bercampur dengan najisnya karena telah dihilangkan oleh batu.Bila orang yang beristinja’ dengan menggunakan salah satunya saja maka beristinja’ hanya dengan menggunakan air lebih utama daripada beristinja’ hanya dengan menggunakan batu, karena air dapat menghilangkan wujud najis sekaligus bekasnya, sedangkan selain air tidak bisa.Namun bila orang yang beristinja’ hanya akan menggunakan batu saja maka ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi sehingga istinja’nya dianggap sah.

Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyebutkan 8 (delapan) syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:

شروط اجزاء الحجر ثمانية: أن يكون بثلاثة أحجار وأن ينقي المحل وألا يجف النجس ولا ينتقل ولا يطرأ عليه أخر ولا يجاوز صفحته وحشفته ولا يصيبه ماء وأن تكون الأحجار طاهرة

“Syarat beristinja; hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni (1) dengan menggunakan tiga buah batu (2) batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis (3) najisnya belum kering (4) najisnya belum pindah (5) najisnya tidak terkena barang najis yang lain (6) najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah (7) najisnya tidak terkena air (8) batunya suci.”(lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safiinatun Najaa, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).Kedelapan syarat itu beserta penjelasannya disampaikan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut:1. Dengan menggunakan tiga buah batu atau tiga buah sisi dari satu batu. Meskipun dengan satu batu atau satu sisi batu tempat yang dibersihkan dari najis telah bersih, tetap ada keharusan untuk terus melakukannya sampai batas minimal tiga buah batu atau tiga sisi batu. Sebaliknya bila dengan tiga batu itu tempat yang dibersihkan masih belum bersih dari najis maka wajib hukumnya untuk menambah hingga tempatnya benar-benar bersih. Dalam hal penambahan ini disunahkan dengan bilangan ganjil meskipun telah bersih pada saat dibersihkan dengan bilangan genap.2. Batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis.Dengan batasan bahwa najis yang dibersihkan tak lagi tersisa pada temat keluarnya kecuali hanya sekedar bekasnya saja yang tidak bisa dihilangkan selain dengan air atau lainnya.3. Najisnya belum mengering.Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu tidak bisa menghilangkan najis tersebut setelah kering. Maka bila najis telah mengering secara keseluruhan atau sebagiannya harus dibersihkan dengan menggunakan air.4. Najisnya belum berpindah dari tempat yang ia kenai ketika keluar. Bila ada najis yang berpindah dan masih menyambung dengan tempat tersebut maka wajib menggunakan air untuk menghilangkan najis tersebut secara keseluruhan. Namun bila najis yang berpindah itu tidak menyambung dengan tempat keluarnya maka yang wajib dibersihkan dengan air hanyalah najis yang berpindah saja, sedangkan najis yang masih tetap berada pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu saja.5. Najisnya tidak terkena barang najis yang lain atau barang suci yang basah selain air keringat. Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang kering seperti batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengenainya adalah barang najis baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka istinja’ mesti dilakukan dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan menggunakan batu saja.6. Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan menempel satu sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang keluar tidak melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan harus dengan air, tidak bisa hanya dengan batu saja.7. Setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak terkena air yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun air tersebut suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda cair tersebut bisa menjadi najis. Beranjak dari ini maka apabila beristinja’ dengan menggunakan batu yang basah tidak sah istinja’nya, karena dengan basahnya batu tersebut dapat menjadikan batu itu najis dengan najisnya tempat yang dibersihkan, kemudian batu yang telah jadi najis itu dipakai untuk beristinja’ sehingga mengotori tempat yang dibersihkan tersebut. Bila ini yang terjadi maka istinja’ harus dilakukan dengan air, tidak cukup dengan batu saja.8. Batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci.Maka tidak cukup bila beristinja’ hanya dengan batu namun batunya mutanajis (batu yang terkena najis).Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga mengemukakan:

واعلم أن كل ما هو مقيس على الحجر الحقيقي وهو ما اذا وجدت القيود الأربعة فيسمى حجرا شرعيا يجوز الاستنجاء به


“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu secara hakiki—yakni apapun yang padanya terdapat empat batasan—maka dapat digunakan untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.”(lihat Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah, 2008), hal. 34).Dari ungkapan tersebut dapat diambil satu pemahaman bahwa selain menggunakan batu ada barang-barang lain yang juga dapat dijadikan alat untuk beristinja’. Barang-barang ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, secara syar’i disamakan dengan batu bila memenuhi empat buah syarat sebagai berikut:1. Barangnya suci.Tidak bisa beristinja’ dengan menggunakan suatu barang najis atau mutanajis (barang yang terkena najis). Tentunya ini justru akan lebih menambah kenajisan tempat yang akan dibersihkan, bukan malah membersihkannya.2. Barangnya padat.Tidak cukup beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang basah baik berupa batu atau lainnya seperti minyak bunga mawar atau air cuka.3. Barang yang dipakai beristinja’ berupa sesuatu yang dapat menghilangkan dan menyerap najisnya. Maka tidaklah cukup beristinja’ dengan kaca atau bambu yang licin.4. Bukan sesuatu yang dihormati.Seperti beristinja’ dengan menggunakan makanan manusia semisal roti dan lainnya atau beristinja’ denganmenggunakan makanannya jin yaitu tulang belulang.Apa pun yang memenuhi keempat syarat tersebut maka dapat dijadikan pengganti batu untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata dan lain sebagainya bisa digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat syarat di atas.Sebagai penutup Syaikh Nawawi menyatakan:

واذا استنجى بالماء سن تقديم قبله على دبره وعكسه في الحجر


“Bila beristinja’ dengan air disunahkan mendahulukan membersihkan bagian qubul dari pada dubur, sebaliknya bila menggunakan batu disunahkan mendahulukan bagian dubur dari pada qubul”.Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Penjelasan Lengkap soal Zakat Fitrah

ﺷُﺮُﻭﻁُ ﺇِﺟْﺰَﺍﺀِ ﺍﻟْﺤَﺠَﺮِ ﺛَﻤَﺎﻧِﻴَﺔٌ : ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺑِﺜَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﺣْﺠَﺎﺭٍ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻘِﻲ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞَّ ، ﻭَﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﻒَّ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲُ ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻨْﺘَﻘِﻞَ ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻄْﺮَﺃَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺁﺧَﺮُ ، ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺠَﺎﻭِﺯَ ﺻَﻔْﺤَﺘَﻪُ ﻭَﺣَﺸَﻔَﺘَﻪُ ، ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺼِﻴﺒَﻪُ ﻣَﺎﺀٌ ، ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟْﺄَﺣْﺠَﺎﺭُ ﻃَﺎﻫِﺮَﺓً 

Adapun syarat-syarat mencukupinya istinja’ dengan batu ada delapan;

Menggunakan tiga batu, dapat membersihkan tempat (keluarnya najis), najisnya belum kering, najisnya tidak berpindah, tidak ada najis lain, najisnya tidak melewati pantat dan hasyafah, tidak terkena air, dan batu yang digunakan suci.

Salah satu keistimewaan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ adalah perhatiannya yang besar terhadap masalah kebersihan. Diantaranya adalah syari’at tentang istinja’.

Allah ﷻ berfirman

ﻓِﻴﻪِ ﺭِﺟَﺎﻝ ﻳُﺤﺒّﻮﻥَ ﺃﻥْ ﻳَﺘَﻄَﻬَّﺮُﻭﺍ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻳُﺤﺐّ ﺍﻟﻤُﻄﻬَﺮِﻳﻦَ

Di dalamnya terdapat orang-orang laki-laki yang senang bersuci dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci (At-Taubah:108)

Ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan penduduk Quba’ yang istinjak dengan menggunakan batu dan air sekaligus (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan:

ﻋَﻦْ ﺳَﻠْﻤَﺎﻥَ ﻗَﺎﻝَ ﻗِﻴﻞَ ﻟَﻪُ ﻗَﺪْ ﻋَﻠَّﻤَﻜُﻢْ ﻧَﺒِﻴُّﻜُﻢْ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻛُﻞَّ ﺷَﻰْﺀٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻟْﺨِﺮَﺍﺀَﺓَ . ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺟَﻞْ ﻟَﻘَﺪْ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧَﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔَ ﻟِﻐَﺎﺋِﻂٍ ﺃَﻭْ ﺑَﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﺃَﻥْ ﻧَﺴْﺘَﻨْﺠِﻰَ ﺑِﺎﻟْﻴَﻤِﻴﻦِ ﺃَﻭْ ﺃَﻥْ ﻧَﺴْﺘَﻨْﺠِﻰَ ﺑِﺄَﻗَﻞَّ ﻣِﻦْ ﺛَﻼَﺛَﺔِ ﺃَﺣْﺠَﺎﺭٍ ﺃَﻭْ ﺃَﻥْ ﻧَﺴْﺘَﻨْﺠِﻰَ ﺑِﺮَﺟِﻴﻊٍ ﺃَﻭْ ﺑِﻌَﻈْﻢٍ

“ Dari Salman, beliau berkata; ditanyakan padanya Nabimu benar-benar telah mengajari kalian segala hal hingga masalah cebok. Salman menjawab; benar. Sungguh ia telah mencegah kami menghadap kiblat ketika berak atau kencing, cebok dengan tangan kanan, cebok dengan kurang dari tiga batu, cebok dengan kotoran atau dengan tulang “.

Isitnja’ berasal dari kata najawtu – ﻧﺠﻮﺕ ﺍﻟﺸﻲﺀ – yang berarti “aku menyingkirkan sesuatu”. Isitnja’ berarti usaha untuk menghilangkan kotoran yang keluar waktu buang air. Istinja’ hukumnya wajib. Cara yang terbaik dalam beristija’ adalah dengan memakai batu kemudian diikuti dengan air. Namun diperbolehkan istinja’ hanya dengan memakai batu saja atau air saja. Istinja’ dengan batu dianggap mencukupi bila memenuhi beberapa syarat yang disebutkan oleh Syekh Salim bin Abdillah diatas.

1. Menggunakan Tiga Batu

Penggunaan tiga batu ini didasarkan pada beberapa hadits, diantaranya adalah hadits Salman sebagaimana di atas.

Selain hadits di atas para ulama juga mendasarkan ketentuan ini dengan hadits

ﺇِﺫَﺍ ﺫَﻫَﺐَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ ﻓَﻠْﻴَﺬْﻫَﺐْ ﻣَﻌَﻪُ ﺑِﺜَﻼَﺛَﺔِ ﺃَﺣْﺠَﺎﺭٍ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻴﺐُ ﺑِﻬِﻦَّ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗُﺠْﺰِﺉُ ﻋَﻨْﻪُ

Jika diantara kalian pergi buang air maka hendaklah ia pergi dengan membawa tiga batu dimana ia membersihkan kotoran dengan nya. Tiga batu itu cukup untuknya . (HR. Abu Dawud)

2. Tempat Keluarnya Kotoran Harus Bersih

Penggunaan tiga batu yang ada pada syarat pertama adalah syarat minimal. Artinya, tiga batu tersebut harus sudah bisa membersihkan kotoran yang ada pada qubul atau dubur. Jika kotoran masih belum hilang maka penggunaannya harus ditambah hingga bersih sekalipun lebih dari tiga.

3. Batu Yang Digunakan Harus Suci

Maksud dari istinjak adalah menghilangkan atau meringankan najis, sudah semestinya menghilangkan najis itu dengan benda yang suci bukan dengan benda najis.

4. Najisnya Belum Kering

Najis yang sudah kering yang tidak bisa dihilangkan dengan batu maka harus menggunakan air.

Selain syarat-syarat diatas, perlu juga digarisbawahi bahwa penggunaan batu merupakan keringanan sebagai pengganti air dalam istinja’ bukan untuk menghilangkan najis. Ulama’ menyebutnya sebagai thaharah takhfif yakni bersuci untuk meringankan keberadaan najis. Artinya, secara kasat mata najis tidak bisa hilang secara sempurna dengan menggosoknya dengan batu. Sekalipun sedikit, pasti masih menyisakan bekas. Berbeda dengan air, air oleh para fuqoha’ disebut muzil, maksudnya air itu berfungsi menghilangkan kotoran hingga tak berbekas. Karena sebuah keringanan, maka batu hanya bisa difungsikan sebagaimana yang telah diajarkan oleh pembawa syari’at yaitu untuk istinja saja, bukan untuk menghilangkan najis. Karena itu ulama’ menambahkan beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Syekh Salim al-Hadlrami. Syarat-syarat tersebut adalah:

5. Najisnya Tidak Berpindah Dari Tempat Keluarnya Ke Bagian Lain Tubuh.

6. Tidak Ada Najis Lain

7. Najis Tidak Melewati Hasyafah Dan Pantat

8. Tidak Terkena Air

Kotoran yang sudah berpindah dari tempat asal keluarnya, atau ada najis lain, atau melewati pantat dan

hasyafah (kepala kemaluan laki-laki), atau najisnya terkena air hukumnya telah menjadi najis lain (tidak dihukumi berak atau kencing yang bisa disucikan dengan batu). Dengan demikian tidak berlaku ketentuan istinja’. Dalam keadaan demikian yang berlaku adalah ketentuan izalatunnajasah atau menghilangkan najis. Menghilangkan najis ketentuannya adalah menggunakan air bukan batu.

MENGQIYAS TISU DENGAN BATU

Melihat kepada fungsi dan sifat kebendaan batu, maka segala sesuatu yang mempunyai fungsi dan sifat yang sama dengan batu dalam menghilangkan kotoran seperti tisu dan lainnya dapat diqiyaskan atau disamakan hukumnya dengan batu. Para ulama’ telah menjelaskan bahwa segala sesuatu bisa digunakan istinja’ bila memenuhi ketentuan:

1. Suci

2. Dapat menyerap atau menghapus kotoran. Karena itu tidak mencukupi istinja’ dengan menggunakan benda yang halus seperti kaca atau bambu karena benda seperti ini tidak bisa menghapus kotoran.

3. Bukan benda yang dimuliakan. Tidak boleh dan tidak mencukupi istinja’ dengan benda yang dimuliakan seperti makanan, baik makanan manusia atau makanan jin seperti tulang.

Wallahu a’lam bisshowab

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA