Apa yang menjadi penyebab kemunduran umat Islam menurut gerakan Mujahidin?

Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah salah satu tokoh pembaharuan Mesir. Selain itu, ia adalah seorang bangsawan dan memiliki hubungan nasab mulia dengan Husein ibn Ali ibn Abi Thalib.

Ia lahir pada 1254 H atau 1838 M di Kabul Afghanistan (wacana lain menyatakan di Mazandaran Persia). Ironinya, banyak kalangan muslim awam yang beranggapan bahwa al-Afghani adalah pengikut Syiah Persia hanya dikarenakan dari banyak ceramah dan tulisanya yang mengandung Filsafat Islam (Abd. Al-Munta’ali al-Shoidi, hlm. 490).

Hal ini disebabkan pada masa itu khususnya filsafat pemikiran Ibnu Sina lebih berkembang pesat di lembaga dan kajian-kajian pendidikan Syiah ketimbang Sunni. Padahal kenyataannya,  al-Afhgani sangat memahami secara menyeluruh permasalahan di antara keduanya (Sunni dan Syiah). Ia pun tidak pernah menggubris pernyataan tersebut dan lebih fokus pada tujuan awalnya, yakni membangkitkan peradaban Islam.

Di samping itu, Al-Afghani dalam perjalanan hidupnya juga pernah menjadi seorang pembantu di Afghanistan bagi pangeran Dost Muhammad Khan. Sekalipun Ia keturunan bangsawan, al-Afghani benar-benar memulai karir intelektualnya dari bawah.

Namun tak berselang lama, tepatnya pada tahun 1864, al-Afghani dewasa telah menjadi penasehat dari Sher Ali Khan dan hanya dalam hitungan beberapa tahun ke depan Ia menjadi seorang Perdana Mentri yang diangkat oleh Muhammad Azam Khan (Murthada Muthahhari, 1996: 41-42).

Sayangnya, pada masa itu Inggris sudah sering terlibat dalam masalah perpolitikan di Afghanistan. Sedang dalam pergolakan itu, al-Afghani memutuskan untuk pergi ke India. Yakni setelah pihak yang melawan keras dominasi Inggris yang Ia dukung kalah pada tahun 1869.

Tapi sama halnya di Afghanistan, India telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris. Al-Afghani kemudian memutuskan untuk meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada tahun 1871.

Baca Juga  Mu'ti: Tuduhan Pak Din Radikal itu Salah Alamat

Pertemuan Al-Afghani dengan Muhammad Abduh

Di Mesir al-Afghani lebih memusatkan perhatiannya pada sastra Arab, kajian-kajian ilmiah, dan sebisa mungkin menjauh dari hal-hal yang berbau politis. Rumah yang ia tinggali pun menjadi tempat diskusi murid-murid sekaligus para pengikutnya. Di mana, dari beberapa muridnya adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar di Mesir ke depan. Salah satunya adalah Muhammad Abduh (Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, 2018:3).

Penyebab Kemunduran Umat Islam (1): Salah Paham tentang Qada’ dan Qadar

Di sinilah letak bertemunya antara al-Afghani dengan Muhammad Abduh. Bersamaan dengan mereka berdua mulai menyadari bahwa yang menyebabkan umat Islam Mesir menjadi terbelakang adalah rusaknya pemaknaan terkait Qada’ dan Qadar.

Dengan kata lain, penyerahan diri yang sifatnya menyeluruh kepada Tuhan telah membuat kaum muslimin menjadi statis dan cenderung fatalisme.

Hal ini juga dengan tidak sadar telah menuntun dan mengarahkan kaum muslimin ke paham Jabariyah, dimana dalam aliran teologis ini meyakini bahwa manusia tidak memiliki kehendak sekaligus kuasa mutlak dalam menjalani hidupnya.

Sehingga, dampak yang lebih jauh yang dapat dirasakan adalah kaum muslimin cenderung berpikir pesimis dan tidak memiliki kemauan yang kuat untuk menjemput kemajuan dalam rangka kebangkitan Islam.

Akan tetapi, kedunya (al-Afghani dan Abduh) tidak kemudian menjadikan penyimpangan makna dalam akidah mengenai Qada’ dan Qadar satu-satunya penyebab mundurnya umat Islam di Mesir.

Penyebab Kemunduran Umat Islam (2): Maraknya Bid’ah dan Khurafat

Di samping itu, al-Afghani juga berpendapat hal lain tentang penyebab kemunduran umat Islam.

Yakni masih banyaknya kaum muslimin yang menerima ajaran-ajaran yang sebenarnya sangat asing bagi jati diri Islam, semacam bid’ah dan khurafat.

Penyebab Mundurnya Umat Islam (3): Maraknya Bid’ah dan Khurafat, dan Taklid Buta

Semangat Ijtihad pun menurut al-Afghani menurun drastis dalam hal penafsiran atau interpretasi hadis dan Al-Qur’an.

Baca Juga  Tiga Catatan untuk Majalah Tabligh dan Buya Risman

Di samping itu, kaum muslimin juga lebih sering mengambil sikap taklid buta terhadap semua peninggalan nenek moyangnya.

Keadaan ini pun kemudian diperburuk oleh kurangnya fanatisme keagaaman yang setiap harinya semakin menipis dan renggangnya persatuan antar umat Islam (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 1992: 52).

Penyebab Kemunduran Umat Islam (3): Iklim Intelektual Terlalu Tekstual

Sama halnya dengan pendapat Muhammad Abduh. Ia dengan tegas mengatakan bahwa Iklim intelektual kaum muslimin Mesir pada masa itu terlalu tekstual, sehingga kurang adaptif dalam merespon gagasan-gagasan perubahan.

Hal ini menurutnya disebabkan karena umat Islam yang masih berpegang teguh dengan Tradisi, disamping itu paham jumud juga banyak ditemui diantara kalangan kaum muslimin yang lain. Dalam artian paham jumud disini adalah stagnan atau membeku (tidak berkembang).

Padahal dalam ajaran Islam sendiri tidak pernah mengutuk sebuah perubahan, bahkan Islam disini diharuskan untuk selalu relevan dalam setiap problematika kemajuan zaman. Dalam artian, berkembang bukan berarti Islam kemudian tidak lagi orisinal.

Antara tradisi sebagai sebagai salah satu  identitas Islam dan modernitas, keduanya harus melalui pembacaan secara kritis. Dengan demikian, Islam tidak akan menjadi agama yang asing dan bisa tetap eksis dalam menyelesaikan setiap problematika peradaban.

Editor: Yahya FR

Pangkal Pinang, NU Online

Syekh Sa’id Nursi Badi’uzzaman menyebut kemunduran umat Islam dalam kehidupan disebabkan oleh setidaknya beberapa faktor. Faktor itu adalah ketika kaum Muslimin tidak mau berjuang lagi karena keputusasaan yang telah mencapai puncaknya.

Kehidupan Kaum Muslimin juga akan mundur jika kerusakan akhlak sudah melanda dan kejujuran dalam kehidupan sosial politik hilang. Ditambah lagi bertebarannya rasa permusuhan dan kebencian dalam barisan kaum Muslimin serta hilangnya ikatan cinta kasih, saling tolong, dan solidaritas di antara kaum Muslimin. 

"Kemunduran umat Islam juga disebabkan tirani yang tersebar luas sebagaimana mewabahnya penyakit menular dan lebih memprioritaskan kemaslahatan individu atas kemaslahatan umum," kata Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Kamis (28/2).

Menurut Kiai Ishom kondisi ini menjadi tantangan nyata yang dihadapi umat Islam saat ini. Sementara kondisi ideal yang diharapkan umat Islam adalah keharmonisan kehidupan bersama antarpenduduk Indonesia yang berbeda identitas. 

"Perbedaan identitas dan keragaman yang nyata tak terbantahkan itu akan harmonis, bisa hidup berdampingan dengan damai hanya bila diiringi sikap toleran (tasamuh)," tambahnya.

Toleransi, lanjutnya, dapat dimaknai sebagai sikap membiarkan, menenggang, dan menghormati pendapat dan sikap pihak lain meskipun pihak yang membiarkannya itu tidak sependapat dengannya. 

Satu hal yang perlu diingat menurutnya bahwa toleransi tidak dilakukan dengan mengorbankan prinsip-prinsip keyakinan (aqidah) agama, sebagaimana keyakinan agama tidak boleh dikorbankan demi toleransi. 

"Setiap agama berbeda dengan agama lainnya, baik dalam ajaran pokok maupun rincian-rinciannya. Setiap orang beragama berkewajiban meyakini kebenaran ajaran agamanya tanpa memaksakan keyakinannya itu kepada pihak lain yang berbeda agama," ujarnya.

Terhadap penganut agama yang berbeda, Islam mengajarkan “lakum dinukum wa liya din (bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku). Sedangkan terhadap sesama Muslim berpegang pada (lana a’maluna wa lakum a’malukum (bagi kami amal kami dan bagimu amalmu).

Kondisi ideal hidup berdampingan antara orang yang berbeda agama akan damai, tenang, dan harmonis, selain karena umat menjauhi sikap intoleransi, juga terwujud jika umat beragama menghindari sikap radikal (keras berlebihan, ghuluw, tatharruf) dalam beragama.

"Sikap berlebihan (ghulluw) bukan otentik berasal dari Islam, melainkan dari sikap Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Sebab Islam mengajarkan kepada para penganutnya untuk bersikap tawassut (moderat) tidak radikal dan tidak pula liberal," pungkasnya. 

Pewarta: Muhammad Faizin

Editor: Syamsul Arifin

Sorry for the inconvenience but we’re performing some maintenance at the moment. If you need to you can always contact us, otherwise we’ll be back online shortly!

— The Team Lembaga Sistem Informasi UMY

Penyebab kemunduran umat Islam bisa internal dan eksternal.

Rabu , 14 Oct 2020, 23:13 WIB

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Penyebab kemunduran umat Islam bisa internal dan eksternal. Ilustrasi umat Islam

Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Seperti disadari banyak kalangan, kaum Muslimin sedunia saat ini umumnya didera beragam persoalan, mulai dari dekadensi moral, ketimpangan pendapatan, konflik, hingga perang saudara. 

Baca Juga

Penyelidikan atas hal tersebut dapat dimulai dari sisi internal dan eksternal umat Islam. Jika ajaran-ajaran agama ini mendorong kebangkitan peradaban Islam pada zaman dahulu, mengapa tidak demikian halnya dengan masa sekarang? 

Apakah penyebab kemalangan umat Islam merupakan rongrongan pihak luar, tetapi siapa pihak yang patut disalahkan? 

Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform merupakan salah satu karya yang patut diperhi tungkan. Buku karangan intelektual Pakistan, Muhammad Umar Chapra, itu dengan tajam menganalisis sejumlah dugaan yang menyebabkan surutnya pengaruh Islam di kancah global.

Bagi Chapra, pertanyaan-pertanyaan krusial semacam itu patut disoroti terlebih da hulu, sehingga dapat ditemukan langkah-langkah apa yang seharusnya dikerjakan untuk memperbaiki kondisi para pemeluk agama ini.

Kebanyakan peneliti, menurut dia, menjadikan abad ke-12 sebagai patokan. Artinya, sebelum kurun waktu tersebut umat Islam pada umumnya belum begitu tertinggal.

Beberapa di antara mereka menyebutkan bahwa faktor terpenting dari kemunduran umat Islam adalah kemerosotan moral dan hilangnya sikap dinamis di tengah komunitas ini.

Hal tersebut diperparah dengan meluas nya sikap dogmatis dan kekakuan (rigidity). Beberapa juga menilai faktorfaktor yang lebih bersifat fisik, semisal munculnya peperangan dan invasi atas banyak wilayah umat Islam. Dugaan lainnya adalah menurunnya aktivitas intelektual dan sains, sedangkan golongangolongan non-Islam justru berpacu melakukannya.

Di tengah nuansa suram itu, Chapra menyuarakan optimisme yang mendasar. Sebab, jarang sekali ada komunitas di dunia yang hidup berkelanjutan selama lebih dari 1.400 tahun. 

Umat Islam terbukti merupakan suatu komunitas yang mampu bertahan, tidak kunjung punah, meski diterpa macam-macam tantangan zaman.

Maka dari itu,kata dia, perlu dipahami juga bahwa kemunduran kaum pengikut Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah fenomena yang terjadi serta-merta. 

Mereka masih memiliki potensi yang besar. Bila diibaratkan dengan seseorang yang mengikuti perlombaan maraton, umat Islam bukanlah pelari yang lumpuh sama sekali atau tersungkur di tepi gelanggang.

Dia hanya sedang terluka, sehingga untuk sementara waktu hanya mampu berjalan cepat, belum sampai berlari melesat. Semangat menyongsong masa depan, itulah pesan yang coba dihadirkan dalam buku setebal 210 halaman itu.

Untuk dapat melangkah dengan baik, menurut penulisnya, umat Islam juga perlu menyadari arti penting dua hal ini, yakni sumber ajaran dan pengalaman sejarah. Ihwal yang pertama tentu saja berkaitan dengan Alquran dan sunnah.

Secara eksplisit, Chapra meng ajak pembaca karyanya untuk memiliki kecenderungan kembali pada esensi agama ini. Dia mengutip sejumlah ayat Alquran yang menegaskan bahwa manusia sendiri merupakan arsitek takdir yang dijalaninya.

Di antaranya, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra'd: 11). 

Rasulullah SAW sendiri telah melarang umatnya untuk menjadi fatalis. Dengan pemahaman demikian, mengkaji sebab-sebab kemunduran justru men jadi langkah awal menuju kebangkitan.

Poin kedua, yakni jalannya sejarah yang telah dilalui umat Islam. Tentu saja ada banyak peristiwa yang saling berkaitan sehingga membentuk keadaan yang kini dialami mereka. 

  • islam
  • umat islam
  • jumlah umat islam
  • kemunduran umat islam
  • sejarah islam

sumber : Harian Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA