Apa yang harus kita lakukan ketika melihat sebuah kemungkaran

Assalamu’alaikum. Ustadz, kita tahu bahwa perilaku zina adalah sebuah dosa besar karena sudah melanggar norma agama, beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi tentang zina dan hubungan sesama jenis atau LGBT. Padahal Indonesia adalah mayoritas penduduknya muslim, apakah ini tanda akhir zaman. Bagaimana pendapat Ustadz? Wassalamu’alaikum.

Berlyanullah, Kelapa Gading.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Kalau kita melihat fenomena putusan MK terkait LGBT memang inilah salah satu bukti dimana ketika norma agama itu tidak lagi dijadikan dasar, ketika hukum agama itu tidak mewarnai satu, katakanlah putusan di negeri ini. Negara kita yang mayoritas muslim semestinya menjadikan norma-norma agama itu sebagai dasar utama, sebagai dasar yang melandasi putusan hukum. Masalah LGBT itu sendiri jelas diterangkan dalam Al-Quran di surat Al-Isra, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (QS. Al-Isra:32).

Inilah yang mestinya harus menjadi dasar. Kita lihat fenomena lokalisasi untuk perbuatan maksiat, itu kan sudah ada di negeri kita ini yang mayoritas muslimin. Ini hal yang sangat ironi dan menghawatirkan. Kalau kita melihat dalam persfektif agama, ini sebenarnya tinggal nunggu masa kehancuran atau datangnya bala dari Allah.

Saya sangat prihatin, ketika putusan MK melihat LGBT dianggap yang biasa. Diakui atau tidak kemungkaran dan kemaksiatan sudah banyak. Semua agama bahkan tidak menyetujui adanya kejahatan, adanya kemungkaran. Tapi lagi-lagi dengan wadah atau lembaga hukum di negara melalui MK, realitanya peradilan di negeri ini memang memarjinalkan hukum agama itu sendiri, khususnya kita umat Islam.

Makanya, kalau mengikuti perintah Rasul, ketika kita melihat kemungkaran itu ada tiga langkah yang bisa kita lakukan sebagai seorang muslim. Pertama, kalau kamu melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tanganmu. Artinya, peran tangan di sinilah yang kita harapkan sesungguhnya komposisinya itu di aparatur negara kita.

Kedua, kalau pun memang tidak bisa mengubah kemungkaran tadi, maka bisa diubah dengan lisan kita. Nah peran lisan ini adalah kapasitas ulama, kapasitas dari dai untuk memberikan pencerahan, untuk memberikan sesuatu bahwasanya inilah yang semestinya kita hindari, inilah mestinya yang harus kita jalankan.

Dan yang ketiga, ketika kemungkaran itu juga tidak bisa diuubah dengan lisan, maka ubahlah dengan doa kita. Tapi inilah serendah-rendahnya iman. Karena memang sudah tidak berkuasa untuk melakukan perubahan, akhirnya kita minta kekuatan doa tadi supaya Allah yang mengubah.

Banyak peristiwa di negeri kita ini yang justru karena sudah mentoknya umat Islam, akhirnya Allah yang berbicara, Allah yang turun tangan. Di Aceh kita sudah melihat, bahkan menjadi sejarah di negeri kita. GAM yang sebegitu luar biasa, aparat negara tidak bisa bertindak, tidak bisa melakukan perubahan, akhirnya Allah dengan ‘tangan-Nya’, terjadilah Tsunami.

Kita tidak tahu nanti, apa cara Allah untuk menghilangkan kemaksiatan LGBT dan segala macamnya itu. Kita berharap mudah-mudahan jangan sampai murka Allah dulu yang datang, tapi kita umat Islam mampu merapatkan shaf kita dan kita tanamkan pada diri kita pemahaman Islam yang benar. []

Senin , 04 Apr 2016, 13:00 WIB

Red:

Rasul SAW bersabda, "Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman." (HR Muslim). Hadis tersebut cukup populer di kalangan umat Islam. Kedudukannya juga sahih. Ia menjadi dalil dan panduan umat terkait dengan urgensi dan prosedur mengubah kemungkaran. Di antara pelajaran yang bisa diambil dari hadis di atas adalah sebagai berikut. Pertama, ukuran keimanan seseorang ternyata tidak hanya dilihat dari ibadahnya , shalatnya, puasanya, hajinya, dan seterusnya. Akan tetapi, juga dilihat dari sikapnya ketika melihat dan merespons kemungkaran. Saat melihat kemungkaran, seorang mukmin tidak boleh diam, abai, apalagi sampai ridha dan mendukung. Namun, ia harus menunjukkan pembelaan dan loyalitasnya kepada Allah dengan berusaha mengubah kemungkaran tersebut. Itulah ciri dari mukmin sejati. Allah berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran," (QS Ali Imran: 110). Kedua, Nabi SAW menyebut kemungkaran dalam bentuk nakirah (indefinit). Apa maknanya? Maknanya, kemungkaran yang dimaksud berlaku umum. Berlaku pada semua jenis kemungkaran. Berlaku pada semua tindakan yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul SAW. Dengan demikian, ia tidak hanya terbatas pada urusan akidah, ibadah mahdah, dan seterusnya. Ketiga, mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) diletakkan oleh Nabi SAW dalam urutan pertama. Pasalnya, kekuasaan itulah yang memiliki peran efektif dan strategis dalam mengubah kemungkaran. Apalagi, kemungkaran yang terjadi saat ini begitu masif. Betapa banyak dakwah, nasihat, dan petuah agama disampaikan tetapi menjadi kurang efektif saat dirusak oleh tayangan media dan regulasi kebijakan yg menyimpang. Mengubah kemungkaran menjadi sangat efektif ketika dilakukan lewat kekuasaan. Karena itu, dari sini dapat dipahami mengapa agama menyuruh memilih penguasa yang beriman, yang islam, yang berakhlak, yang taat, dan pintar karena ia akan bisa melakukan proses amar makruf dan nahi mungkar.

Namun, jika kekuasaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, yang tidak layak, yang tidak beriman, maka tunggu saat kehancurannya. Rasul SAW bersabda, "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya, "Bagaimana maksud amanat disia-siakan?" Nabi menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada orang yang tidak tepat, tunggulah kehancuran itu." (HR al-Bukhari).  Oleh Fauzi Bahreisy

  • republika
  • koran
  • mengubah kemungkaran

Baca pembahasan sebelumnya: Hadits Arbain #33: Yang Menuduh Harus Datangkan Bukti

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara bijak dalam mengingkari kemungkaran. Kita bisa banyak mengambil pelajaran dari hadits Arbain berikut ini.

Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah #34

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]

Keterangan hadits

  • man ra-a: siapa yang melihat, maknanya adalah siapa yang mengetahui, walaupun tidak melihat secara langsung, bisa jadi hanya mendengar berita dengan yakin atau semisalnya.
  • munkaran: segala yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelakunya diingkari untuk melakukannya. Kemungkaran di sini disyaratkan: (1) jelas kemungkaran yang disepakati oleh pihak yang mengingkari dan yang diingkari; atau (2) orang yang diingkari punya hujah yang lemah.
  • minkum: yang dilihat dari kaum muslimin yang sudah mukallaf (yang sudah dikenai beban syariat).
  • fal-yughayyirhu biyadihi: maka hendaklah mengubah dengan tangannya. Contoh, seseorang yang punya kuasa–misal: ayah pada anak–, ia melihat anaknya memiliki alat musik (tentu tidak boleh digunakan), maka ayahnya menghancurkannya.
  • fainlam yas-tathi’ fa bi lisaanih: jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Yang mengingkari tetap bersikap hikmah dengan tetap melarang. Mengingkari dengan lisan termasuk juga mengingkari dengan tulisan.
  • fabi-qalbihi: mengingkari dengan hatinya, yaitu menyatakan tidak suka, benci, dan berharap tidak terjadi.
  • adh-‘aful imaan: selemah-lemahnya iman, yaitu menandakan bahwa mengingkari dalam hati itulah selemah-lemahnya iman dalam mengingkari kemungkaran.

Baca Juga: Lima Dampak Mendiamkan Kemungkaran

Faedah hadits

Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan siapa saja yang melihat kemungkaran untuk mengubahnya sesuai kemampuan.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Pengingkaran dengan lisan dan tangan wajib dilakukan dengan melihat pada kemampuan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:245)

Kedua: Tidak boleh melarang kemungkaran sampai diyakini hal itu kemungkaran, di mana dilihat dari dua tinjauan:

(1) perbuatan yang dilakukan diyakini mungkar,

(2) perbuatan tersebut dianggap sebagai kemungkaran oleh pelaku. Karena ada sesuatu termasuk kemungkaran, namun pelaku tidak memasukkannya sebagai kemungkaran.

Contoh: Makan dan minum siang hari bulan Ramadhan adalah kemungkaran. Namun ada orang yang sakit boleh saja dia makan, atau ia termasuk musafir boleh saja ia tidak berpuasa.

Ketiga: Kemungkaran harus dinilai sebagai kemungkaran oleh yang mengingkari dan pelaku yang diingkari. Jika perkara yang diingkari adalah perkara khilafiyah (masih ada beda pendapat), tidak ada pelarangan kemungkaran pada orang yang mengira bahwa hal itu tidak termasuk kemungkaran.

Contoh: Kita melihat ada seseorang yang memakan daging unta, setelah itu ia langsung shalat. Yang ia lakukan tidak perlu diingkari. Masalah ini masuk dalam perkara silang pendapat. Sebagian ulama menyatakan, wajib berwudhu ketika memakan daging unta. Sebagian ulama mengatakan tidaklah wajib berwudhu. Namun, jika ingin membahas hal ini dan ingin menjelaskan kebenaran, tidaklah masalah.

Keempat: Apakah mengubah dengan tangan dilakukan untuk setiap keadaan? Jawabannya, tidak. Jika ada masalah, kita tidak perlu melarang kemungkaran dengan tangan. Kerusakan yang besar bisa saja terhindar, caranya dengan menerjang kerusakan yang lebih ringan.

Contoh: Ada yang melihat kemungkaran pada pemerintah. Kalau ia mengubahnya dengan tangannya, ia sebenarnya mampu. Namun, jika itu ditempuh, kerusakan akan terjadi. Kerusakan tersebut bisa jadi pada orang yang mengingatkan, pada keluarganya, pada orang-orang dekatnya yang mendukung dakwahnya. Jika kita takut kerusakan seperti itu, kemungkaran yang terjadi tak perlu diingkari. Hal ini sama maknanya dengan ayat,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)

Kelima: Tangan adalah aalatul fi’li (organ untuk berbuat) sehingga disebutkan dalam hadits ubahlah dengan tangan. Oleh karena itu, perbuatan seseorang disandarkan pada tangannya seperti ayat,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30)

Keenam: Ajaran Islam itu tidak ada kesulitan. Kewajiban itu tetap melihat pada kemampuan seseorang (istitha’ah).

Ketujuh: Jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, ia mengubahnya dengan lisan. Jika tidak bisa dengan lisan, ia mengubahnya dengan hati. Bentuk mengubah dengan hati adalah tidak suka dan bertekad saat memiliki kemampuan akan mengubahnya dengan lisan atau dengan tangan.

Ulama lain menyebutkan bahwa mengingkari kemungkaran dalam hati dengan cara:

  1. Benci akan kemungkaran tersebut.
  2. Berpindah dari tempat kemungkaran tadi.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Pengingkaran suatu kemungkaran dengan hati adalah wajib bagi setiap muslim dalam segala keadaan. Adapun pengingkaran dengan tangan dan lisan dipandang dari kemampuan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:246)

Kedelapan: Hati juga memiliki amalan. Hadits di atas menyebutkan, ubahlah dengan tangan, selanjutnya menyebutkan ubahlah dengan hati.

Kesembilan: Iman itu terdiri dari amal dan niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan dalam mengubah kemungkaran ada amal dan niat. Mengubah kemungkaran dengan tangan termasuk amal. Mengubah kemungkaran dengan lisan termasuk amal. Mengubah kemungkaran dengan hati termasuk dalam niat.

Kesepuluh: Kemungkaran diingatkan dengan cara yang halus dan lemah lembut. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan,

لاَ يَأْمُرُ بِالمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ المُنْكَرِ إِلاَّ مَنْ كَانَ فِيْهِ خِصَالٌ ثَلاَثٌ : رَفِيقٌ بِمَا يَأْمُرُ ، رَفِيْقٌ بِمَا يَنْهَى ، عَدْلٌ بِمَا يَأْمُرُ ، عَدْلٌ بِمَا يَنْهَى ، عَالِمٌ بِماَ يَأْمُرُ ، عَالِمٌ بِمَا يَنْهَى

“Hendaklah memerintah pada yang makruf dan melarang dari kemungkaran dengan tiga hal:

  1. Lemah lembut ketika memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.
  2. Bersikap adil ketika memerintah dan melarang.
  3. Berilmu pada apa yang akan diperintahkan dan yang akan dilarang.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)

Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan perkataan Imam Ahmad berikut ini,

وقال أحمد : النّاسُ محتاجون إلى مداراة ورفق الأمر بالمعروف بلا غِلظةٍ إلا رجل معلن بالفسق ، فلا حُرمَةَ له ، قال : وكان أصحابُ ابن مسعود إذا مرُّوا بقومٍ يرون منهم ما يكرهونَ ، يقولون : مهلاً رحمكم الله ، مهلاً رحمكم الله .

“Imam Ahmad berkata, ‘Manusia itu membutuhkan sikap lemah lembut (mudaaroh) dan lemah lembut ketika diingatkan pada kebaikan dan kemungkaran. Hal yang dikecualikan adalah orang yang terang-terangan dalam kefasikan, maka ia tidak dimuliakan. Para murid Ibnu Mas’ud jika melewati sekelompok orang yang mereka pandang sedang berbuat jelek, mereka mengatakan, ‘Tak perlu tergesa-gesa, tak perlu tergesa-gesa, semoga Allah merahmati kalian.’” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)

Dilanjutkan oleh Imam Ibnu Rajab, Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يأمر بالرِّفقِ والخضوع ، فإن أسمعوه ما يكره ، لا يغضب ، فيكون يريدُ ينتصرُ لنفسه .

“Perintah lemah lembut dan halus tetap ada walaupun sedang mendengar kemungkaran yang tidak disukai. Saat itu, janganlah dahulukan emosi. Itulah orang yang disebut meraih kemenangan pada momen tersebut.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:256)

Baca Juga: Benarkah Shalat Dapat Mencegah dari Perbuatan Keji dan Mungkar?

Kaedah dari hadits

  1. Mengingkari kemungkaran itu sama dengan menasihati, bukan menjelekkan.
  2. Mengingkari kemungkaran itu berdasarkan apa yang dilihat, bukan dari tajassus (mencari-cari aib orang beriman).
  3. Hendaklah mengajak yang baik dengan cara yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran dengan cara yang mungkar.
  4. Masalah khilafiyah tidak diingkari dengan meninjau:
    1. khilafnya kuat; sehingga tidak boleh mengatakan pada yang berbeda dengan kita sebagai orang yang menyelisihi sunnah.
    2. orang yang kita kira terjatuh dalam kemungkaran menganggapnya masih boleh.

Walhamdulillah, penuh faedah dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luar biasa. Moga kita semakin bijak dalam berdakwah dan amar makruf nahi mungkar.

Referensi:

  1. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Baca pembahasan selanjutnya: Hadits Arbain #35: Kita itu Bersaudara

Disusun @DarushSholihin, 9 April 2020, 15 Syakban 1441 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA