Apa yang dimaksud tembang dan kawih jelaskan juga perbedaannya

Oleh Dian Hendrayana

(Sastrawan, dosen di Departemen Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI Bandung. Alamat email: )

Hingga saat ini kerap terjadi kekeliruan penggunaan istilah kawih dan tembang dalam pengajaran. Pendefinisian terhadap kawih dan tembang di sekolah-sekolah semua tingkatan nyaris memiliki kekeliruan yang seragam. Para pendidik kerap mengartikan bahwa kawih adalah kebalikan dari tembang, dan sebaliknya. Cara mengartikannya pun kemudian dinegasikan pula; bahwa kawih diartikan sebagai materi lagu yang memiliki irama tandak (terikat, memiliki aturan serta memiliki ketukan yang konstan), serta istilah tembang diartikan sebagai materi lagu yang memiliki irama merdeka (bebas, tidak memiliki aturan atau tidak memiliki ketukan yang konstan). Padahal, definisi kawih dan tembang tidak sesederhana itu. Kedudukan istilah kawih dan tembang juga tidak untuk dioposisikan. Keadaan yang keliru seperti ini juga berlaku di masyarakat luas, termasuk di dunia intelektual serta media-media publik. Dalam dunia pendidikan, kekeliruan dalam mendudukkan istilah kawih dan tembang tersebut tidak saja memunculkan pemahaman yang rancu, namun juga memunculkan kebingungan bagi para guru, dan terlebih bagi para anak didik. Kondisi ini sudah berlangsung lama. Dan karenanya kekeliruan dalam menerapkan istilah kawih dan tembang dalam kegiatan belajar mengajar pun telah berlangsung lama pula. Kenyataan seperti ini jelas harus diluruskan berdasarkan teori yang ada.

Kata kunci: kawih, tembang, irama tandak, irama merdeka, pupuh

Pendahuluan

Istilah kawih dan tembang yang berkembang di masyarakat serta di kalangan pendidikan, kerap diartikan bahwa di antara keduanya memiliki sifat berlawanan. Masyarakat menganggap bahwa kawih merupakan kebalikan dari tembang, serta sebaliknya. Istilah kawih lebih mengarah kepada lagu-lagu yang memiliki irama teratur dan konstan seperti lagu ‘Kalangkang’ ciptaan Nano S atau lagu ‘Es Lilin’ gubahan Bi Mursih, sebagaimana yang terdengar pada kawih degung, kawih kacapian, dan pop Sunda. Sedangkan istilah tembang lebih mengarah kepada lagu-lagu yang memiliki irama bebas dan tidak teratur (tidak memiliki ketukan konstan) sebagaimana yang terdengar pada lagu-lagu ‘pokok’ [1]) cianjuran.

Anggapan seperti di atas cukup membumi dalam waktu yang cukup lama; setidaknya sejak istilah ‘tembang’ dibakukan dalam Musyawarah Tembang Sunda tahun 1962. Dari hasil musyawarah tersebut kemudian muncul istilah ‘tembang’ atau ‘tembang Sunda’ yang merujuk kepada apa yang dinamakan dengan seni cianjuran (Apung SW, 1964, 1994). Dan sejak saat itu, masyarakat menganggap bahwa pengertian ‘tembang’ sama artinya dengan ‘tembang sunda’, dan secara bersamaan pengertian keduanya sama dengan arti dari ‘cianjuran’. Maka, jika muncul istilah ‘tembang’ atau ‘tembang Sunda’, masyarakat akan serta-merta merujuk pada seni cianjuran.

Kaitannya dalam dunia pendidikan (dalam hal ini dunia pengajaran), istilah ‘tembang’ lebih mengarah pada lagu-lagu ‘pokok’ dalam cianjuran. Lagu-lagu pokok dalam seni cianjuran memiliki struktur musikal berirama merdeka; di mana lagu-lagu tersebut tidak memiliki aturan atau ketukan yang konstan. Sementara dalam mengartikan istilah ‘kawih’ masyarakat (dunia pendidikan) kerap mengarah pada lagu-lagu degung, kacapian wanda anyar, kliningan, atau pop Sunda, di mana lagu-lagu tersebut memiliki ketukan yang teratur dan konstan. Maka jadilah, simpulan sederhana yang menyebutkan bahwa tembang memiliki irama bebas-merdeka, sedangkan kawih memiliki irama yang teratur. Atau dengan kata lain, anggapan keliru itu berbunyi ‘kawih’ adalah kebalikan dari ‘tembang’. Juga sebaliknya, ‘tembang’ merupakan lawan kata dari ‘kawih’. Tembang memiliki irama merdeka, dan sebaliknya, kawih memiliki irama tandak (teratur, konstan). Dan inilah anggapan yang keliru itu.

Sejatinya, ‘kawih’ bukanlah kebalikan dari ‘tembang’, serta ‘tembang’ bukanlah lawan kata dari ‘kawih’. Tembang bukan pula untuk diartikan sebagai materi lagu berirama merdeka (bebas dari ketukan), serta kawih bukan pula untuk diartikan sebagai irama tandak (teratur).

Kekeliruan tadi sudah terlanjur memasyarakat. Bahkan nyaris di setiap media massa, para jurnalis kerap mencampur-adukkan kedua istilah tersebut. Tak jarang para jurnalis menuliskan tembang untuk seluruh materi lagu Sunda. Para jurnalis tersebut boleh jadi mengunduh istilah ‘tembang’ yang berlaku pada musik Indonesia, semisal penggunaan istilah ‘tembang kenangan’ untuk lagu-lagu bernuansa nostalgia; atau dalam penggunaan frasa ‘tembang-tembang hit’ untuk lagu-lagu populer mutakhir. Istilah ‘tembang’ yang dimaksud jelas merujuk pada lagu, apapun jenisnya itu.

Kawih

Setidaknya istilah kawih muncul pada naskah Sanghyang Siksakanda (Ng) Karesian (SSKK, 1518 M). Istilah ini diduga kuat memiliki arti sebagai seni suara khas Sunda di mana di dalamnya terdiri atas berbagai kawih seperti terungkap pada teks SSKK Bagian XV (telah diterjemahkan), “Jika ingin mengetahui berbagai macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pangpeledan, bongbongkaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih bangbarongan, kawih tangtung, kawih sasambatan, kawih igel-igelan: serta berbagai lagu lainnya, maka tanyakanlah kepada paraguna”.

Sayang, jenis serta bentuk kawih-kawih yang tertulis pada naskah SSKK tersebut tak lagi dikenali. Hanya saja, sebagaimana yang diungkapkan Ayatrohaedi (Makalah, 2005:4), beberapa kawih bisa ditelusuri ihwal amsalnya, semisal kawih sisindiran yang dicurigai sebagai lagu yang bersumber pada sisindiran (puisi pantun dalam bahasa Indonesia), kawih sasambatan yang dicurigai sebagai lagu bertemakan kepedihan hati hingga harus nyambat (minta tolong) sambil terisak dan merajuk.

Sastrawan Sunda yang juga sangat mengerti seni karawitan, MA Salmun, dalam Musyawarah Tembang Sunda 1962 menyebutkan nyanyian yang biasa dilantunkan pada seni pantun sebagai kawih pantun (Sukanda, 1990: 12). Kawih pantun sendiri merupakan golongan kawih kolot (lagu orang dewasa) di samping kawih dalam dongeng, kawih untuk menimang, kawih kamonesan, dan kawih roronggengan. Adapun materi kawih kolot yang kemudian menjadi populer di masyarakat adalah kawih pantun, kawih kamonesan, dan kawih roronggengan.

Yang sangat menarik adalah apa yang oleh MA Salmun disebut sebagai ‘kawih pantun’. Yang dimaksud kawih pantun adalah lagu pada seni pantun terutama pada bagian rajah pamuka, nataan, serta rajah pamunah. Baik rajah pamuka, maupun bagian nataan, serta rajah pamunah jika ditransliterasi akan jelas terlihat berbentuk puisi (oktasilabik). Sang juru pantun, dalam melantunkan ketiga bagian tersebut menggunakan lagu berirama merdeka, bebas dari ketukan yang konstan. Sekali lagi, terhadap lagu pada seni pantun tersebut MA Salmun menyebutnya sebagai kawih pantun, di mana kontur melodinya memiliki pola musikal irama merdeka.

Selain kawih pantun, peninggalan leluhur masyarakat Sunda yang berbentuk kawih berirama merdeka adalah beluk. Beluk itu sendiri sejatinya adalah teriakan yang melengking. Dalam tradisi masyarakat Sunda, beluk digunakan di saat seseorang yang tengah bekerja di ladang atau di hutan (Sukanda, 1975:12). Untuk mengetahui apakah seseorang yang tengah berada di ladang atau di hutan tersebut masih berkawan atau sendirian, maka seseorang itu akan berteriak dengan suara melengking sebagai kode. Biasanya teriakan yang melengking itu memiliki nada-nada atau struktur melodi yang khas. Jika kebetulan seseorang itu masih berkawan, maka sang kawan akan menyahutinya dengan teriakan melengking pula.

Teriakan melengking yang memiliki nada-nada serta kontur melodi yang khas tersebut kemudian berkembang dan dibubuhi nilai estetika berupa kontur melodi yang lebih sempurna. Maka menjelmalah teriakan melengking tersebut menjadi komposisi melodi yang lebih utuh bernilai musikal. Itulah beluk. Contoh lantunan dengan menggunakan gaya beluk yang lebih tegas akan terdengar (diterapkan) dalam komposisi melodi (non verbal) lantunan ‘ngawuluku’ (membajak sawah), di mana sang pembajak sawah akan melantunkan melodi-melodi tersebut secara bebas dan penuh improvisasi; memiliki struktur melodi berirama merdeka. Gaya lantunan beluk juga kerap diterapkan pada lantunan kawih pantun dan tembang wawacan.[2]

Yang patut dicatat di sini adalah bahwa kawih dalam pantun dan kawih dalam beluk memiliki bentuk irama merdeka. Dalam perkembangannya, dari kawih pantun berkembang menjadi papantunan. Materi papantunan tersebut dikreasikan oleh sang jenius Kangjeng Dalem Pancaniti (RAA Kusumaningrat, Bupati Cianjur 1832-1864 M), berbentuk lagu berirama merdeka.

Jenis-jenis kawih Sunda yang berkembang hingga saat ini sudah begitu banyak. Pembeda dari berbagai jenis tersebut bisa jelas terlihat di antaranya dari alat musik yang mengiringinya. Maka dikenallah kawih degung, kawih celempungan, kawih kacapian, kawih calung, kawih reog, kawih jaipongan, hingga kawih pop Sunda. Dalam perkembangannya, kerap kali ditemukan ada materi kawih degung diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Kalangkang’ karya Nano S; ada lagu kawih kacapian yang diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Dalingding Asih’ karya Ubun Kubarsah; ada juga lagu dari kawih kliningan yang kemudian diadopsi menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi pada lagu ‘Bangbung Hideung’. Ataupun sebaliknya, lagu ‘Ulah Ceurik’ karya Oon B yang kita kenal sebagai lagu pop Sunda kemudian diadopsi menjadi lagu kliningan (album ‘Ulah Ceurik’ dengan sinden Uun, produksi Jugala Recording).

Tembang

Merujuk pada apa yang ditulis Ajip Rosidi (1982:55), materi tembang bukanlah asli milik masyarakat Sunda. Materi ini merupakan kiriman dari Mataram saat invansi ke tatar Sunda pada abad XVII. Materi ini berbentuk aturan puisi yang disebut pupuh. Pupuh yang dikenal di masyarakat Sunda terdiri atas 17 aturan, di mana masing-masing aturan memiliki nama tersendiri yang kita tahu sebagai Asmarandana, Kinanti, Magatru, Mijil, Dangdanggula, Sinom, dan sebagainya. Di Jawa, pupuh hanya terdiri atas 15 (lima belas) jenis saja. Sedangkan di Bali hanya dikenal 10 (sepuluh) pupuh saja.

Dalam Kamus Umum Basa Sunda LBSS (1985:521), ditulis bahwa ‘tembang, lemesna sekar, basa dangdingan make aturan pupuh. Nembang, lemesna mamaos, ngalagukeun tembang’. Sementara itu dalam Kamus Sacadibrata (2004) dituliskan ‘tembang, nembang (mamaos  [3]) ngalagu nurutkeun aturan pupuh (Sinom, Asmarandana, jst)’. Sedangkan Kamus Danadibrata (2004) menuliskan bahwa ‘tembang, lagu jelema dina pupuh’.

Dari pengertian tembang yang diambil dari ketiga kamus bahasa Sunda tadi, diperoleh gambaran bahwa yang dimaksud tembang adalah lagu yang menggunakan lirik berbentuk dangdingan (aturan pupuh). Dalam khazanah kesusatraan Sunda, bentuk dangdingan terdiri atas bentuk wawacan (bentuk kisahan menggunakan aturan pupuh) dan guguritan (ekpresi liris menggnakan aturan pupuh). Artinya jika ada lagu yang menggunakan lirik dari wawacan atau guguritan, maka serta merta lagu tersebut disebut tembang.

Di beberapa daerah di Jawa Barat tradisi membaca wawacan kerap disebut sebagai mamaca. Kata ‘mamaca’ sendiri memiliki arti ‘membaca’. Kegiatan membaca yang dimaksud adalah membaca naskah wawacan (biasa beraksara pegon serta beraksara Jawa). Bentuk halus dari kata mamaca adalah ‘mamaos’. Terutama di Cianjur, kata mamaos lebih banyak digunakan dibanding dengan kata mamaca.

Materi tembang (mamaos) yang ada pada seni cianjuran mengacu pada wanda (jenis) Rarancagan serta wanda Dedegungan. Kedua materi ini dalam prakteknya menggunakan lirik berupa pupuh. Berbeda dengan wanda Papantunan dan Jejemplangan (wanda lain di samping Rarancagan dan Dedegungan pada seni cianjuran), liriknya menggunakan puisi pantun (puisi oktasilabik, sebagai mana yang bisa kita temui pada teks [hasil transliterasi] kawih pantun). Karenanya, sangat keliru jika terhadap seni cianjuran, serta merta menyebutnya sebagai tembang atau tembang Sunda. Alasannya, tidak semua wanda dalam seni cianjuran menggunakan lirik bebasis pupuh.

Sedikitnya, masyarakat Sunda mengenal tiga materi tembang Sunda; yakni tembang ciawian, tembang cigawiran, serta tembang cianjuran. Khusus tembang cianjuran, seperti yang sudah diutarakan di atas, merujuk pada materi wanda Rarancagan dan Dedegungan.

Tembang Ciawian adalah lagu pasantrenan dari daerah Ciawi Tasikmalaya, sedangkan tembang cigawiran adalah lagu pasantrenan dari daerah Limbangan Garut. Baik tembang ciawian maupun tembang cigawiran keduanya merupakan lagu di lingkungan pesantren dengan bersumber pada materi pupuh (dangdingan), baik wawacan maupun guguritan. Keduanya dibedakan oleh lagam dan gaya.

Tradisi tembang bagi masyarakat Sunda baru populer setelah Pajajaran runtuh dan terkena pengaruh Mataram (Sumardjo, 2011:108). Budaya membaca terhadap naskah wawacan tentu saja merupakan pengaruh Mataram, setelah kesultanan Mataram di era Sultan Agung merangsek ke wilayah pulau Jawa bagian Barat di pertengahan paruh pertama abad XVII.

Pada prakteknya, materi tembang ada yang memiliki irama merdeka, ada juga yang memiliki irama tandak. Demikian halnya dengan materi kawih, yang secara kodrati memiliki komposisi musikal irama tandak dan irama merdeka. Materi tembang yang berirama tandak di antaranya seperti yang bisa kita temui pada lagu panambih Cianjuran, yakni lagu yang berpupuh Kinanti ‘Campaka’, ‘Ditilar’, ‘Soropongan’, ‘Sukingki’, ‘Lembur Singkur’, ‘Padepokan’, ‘Padesan’, ‘Kapigandrung’, Panembrama’, ‘Tablo’, ‘Panineungan’, ‘Gaya Sari’, ‘Duh Asih’, ‘Ceurik Abdi’, dll; Asmarandana ‘Candana’, ‘Duda’, ‘Lumengis’, ‘Midangdam’, ‘Panglejar’, ‘Puspawangi’, ‘Toropongan’, ‘Sungkawa Manah’, ‘Lara-lara’, ‘Haliwawar’, ‘Kasawang’, ‘Kumalayang’, dll; Sinom ‘Rénggong Gedé’, ‘Puspawana’, ‘Gandrung Gunung’, ‘Bulan Pangharepan’, ‘Iraha’, ‘Karang Gantung’, ‘Lalagasan’, ‘Pageuh Tekad’, ‘Muntang Ngeumbing’, ‘Pangrumat’, ‘Sangkuriang’, dll; Dangdanggula ‘Gunung Putri’, ‘Méga Malang’, ‘Déwi Asri’, serta ‘Udeg-udeg’. Bahkan lirik lagu kawih kacapian ‘Wengi Enjing Tepang Deui’ karya Mang Koko (lirik Tatang Sastrawiria) menggunakan pupuh Kinanti.

Yang harus digarisbawahi di sini adalah, jika dilihat dari kacamata musikal materi tembang memiliki irama merdeka dan juga irama tandak. Sekali lagi, pendefinisian tembang sejatinya bukan dari asumsi bahwa tembang merupakan lagu berirama merdeka. Pemahaman demikian adalah keliru. Yang tepat adalah, bahwa tembang merupakan lagu dengan bersumber pada dangding (aturan pupuh), bisa bersumber pada wawacan bisa pula bersumber pada puisi guguritan.

Kedudukan Kawih dan Tembang

Merujuk pada data dan fakta yang ada, materi kawih sejatinya telah ada sebelum abad XVI (sebelum naskah SSKK ditulis dalam bentuk naskah berbahasa dan beraksara Sunda Kuno di tahun 1518 M). Jika ditelusuri dengan pendekatan sosiologis yang menyebutkan bahwa kegiatan menyanyi adalah fitrah setiap manusia yang berbudaya (Sumardjo, 2002:43), maka bisa dipastikan bahwa kawih yang disebutkan dalam naskah SSKK merupakan materi lagu yang berkembang dan populer di masyarakat saat itu. Adapun istilah kawih tersebut berindikasi pada materi lagu yang memiliki irama merdeka dan irama tandak, yang secara kodrati (materi berstruktur irama bebas dan irama konstan) berlaku hampir di seluruh daerah. Jejak bahwa kawih memiliki irama merdeka bisa ditemukan pada kawih pantun dan kawih beluk. Sedangkan jejak bahwa kawih memiliki irama tandak (konstan) banyak ditemukan pada lagu-lagu kakawihan barudak, kawih sisindiran, kawih panambih cianjuran, kawih reog, kawih celempungan, kawih kliningan, dan sebagainya.

Materi tembang sendiri baru datang ke tanah Sunda satu abad kemudian, yakni abad XVII. Berbentuk karya puisi yang terikat dengan guru lagu (bunyi di akhir baris), guru wilangan (jumlah sukukata pada setiap baris), dan guru gatra (jumlah baris pada satu bait). Aturan puisi yang mengikat ini biasa disebut pupuh, di mana di masyarakat Sunda dikenal dengan 17 (tujuh belas) pupuh. Pupuh ini biasa digunakan untuk karya puisi berbentuk wawacan dan guguritan.

Simpulan, tembang merupakan bagian dari kawih. Dilihat dari bentuk, kawih melingkupi kawih kiliningan, kawih degung, kawih kacapian, Cianjuran, tembang Ciawian, tembang Cigawiran, pop Sunda, beluk, tembang wawacan, kawih pantun, kawih calung, kawih celempungan, kawih roronggéngan, tarling, dermayonan, dan sebagainya.

Sedangkan dilihat dari sifanya ada  yang berirama merdéka ada pula yang berirama tandak. Yang termasuk irama merdéka (tidak terikat ketukan) di antaranya ‘lagu pokok’ dalam Cianjuran, ‘bawa sekar’ dalam gamelan (kiliningan), kawih pantun (rajah, serta bagian nataan), beluk, tembang rancag, tembang Ciawian, juga tembang Cigawiran. Yang termasuk ke dalam irama tandak (terikat oleh ketukan) di antaranya lagu panambih dalam Cianjuran, lagu jalan dalam kiliningan, sisindiran, kawih celempungan, kawih degung, kawih kacapian, pop Sunda, kawih calung, dan sebagainya. ****

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi,2005. Mataholang: Benih dan Bentuk Kesenian Sunda. Bandung: Makalah Seminar Seni Budaya Sunda Buhun.

Rosidi, Ayip, 1966. Kesusatraan Sunda Dewasa Ini. Jakarta: Tjupumanik

  • Ngalanglang Kasusatraan Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya

Sasaki, Mariko. 2007. Laras pada Karawitan Sunda. Bandung: P4ST UPI

Sopandi, Atik. 1985. Kamus Istilah Karawitan Sunda. Bandung: Satu Nusa

Sukanda, Enip. 1975. Sejarah Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: Pancaniti

  • Penelusuran Seni Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: STSI Press

Sumardjo, Jakob. 2002. Filsafat Seni. ITB Press

  • Sunda:Pola Rasionalitas Budaya. Bandung: Kelir

SW, Apung. 1994. Pamanggih jeung Papanggihan. Bandung: Kencana Press

  • Sumbangan Asih kana Tembang Sunda. Bandung: Ganaco
  • Unak-anik Tembang Sunda. Bandung: YPK Press
  • Salawe Sesebitan Hariring. Bandung: Kiblat

[1] Lagu pokok dalam cianjuran dilantunkan sebelum lantunan lagu panambih. Lagu pokok bisa berupa wanda papantunan, wanda jejemplangan, wanda dedegungan, wanda rarancagan, serta wanda kakawen, di mana kontur lagunya memiliki formula irama merdeka. Khusus lagu wanda dedegungan dan wanda rarancagan liriknya berupa guguritan (tembang).

[2] Terhadap seni tembang wawacan masyarakat kerap menyebutnya sebagai seni beluk. Padahal yang terjadi adalah tembang wawacan yang menggunakan gaya lantunan beluk.

[3] Istilah mamaos dikenal di daerah Cianjur untuk menyebut wanda rarancagan dan dedegungan pada seni cianjuran. Istilah ‘mamaos’ merupakan bentuk halus dari kata ‘mamaca’ yang memiliki arti ‘membaca’. Yang dimaksud dengan istilah ‘membaca’ adalah membaca puisi dangdingan, baik berupa wawacan maupun guguritan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA