Home » Kelas XII » Dualisme Kepemimpinan Nasional
Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 adalah adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto menganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka.
Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno,
Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.
Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara”(sembilan pokok persoalan yang dianggap penting). Anggota MPRS tidak puas karena isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya G30S/PKI.
Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelengkap Nawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September.
Pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.
Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967. Soeharto membahas surat Presiden dan berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.
Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Soekarno memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967. Tepat pada tanggal 22 Pebruari 1967 pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Posted by Nanang_Ajim
You're Reading a Free Preview
Pages 5 to 7 are not shown in this preview.
Ukuran Huruf:
Risang Tunggul Manik
Dualisme kepemimpinan Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967 identik dengan adanya dua pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan yaitu Soekarno yang menjabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret. Meningkatnya wewenang Pengemban SP 11 Maret inilah yang menjadi fokus utama kajian dalam pembahasan Dualisme kepemimpinan 1966-1967 hingga berakhirnya. Alasan peneliti mengkaji dualisme kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto karena masih belum adanya penelitian terdahulu yang lebih memfokuskan pada topik dualisme kepemimpinan secara lebih mendalam. Pentingnya penelitian ini juga terkait dengan permainan politik yang terjadi dalam MPRS dan DPRG yang didominasi oleh AD untuk meningkatkan wewenang Soeharto dan mengikis kekuasaan Presiden Soekarno. Peneliti juga tertarik membahas dualisme kepe-mimpinan, hal ini dikarenakan penulisan sejarah sebelumnya banyak didominasi penguasa Orde Baru. Oleh sebab itu, munculnya berbagai interpretasi mengenai tulisan sejarah saat ini diharapkan mampu memberikan keterbukaan akan inter-pretasi baru. Permasalahan yang peneliti kaji dalam penelitian ini ialah pertama, bagaimanakah situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 sebagai latar belakang dualisme kepemimpinan, kedua bagaimanakah terjadinya dualisme kepemimpinan antara Soekarno-Soeharto dan yang ketiga bagaimanakah akhir dari dualisme kepemimpinan tersebut. Jenis penelitian dalam kajian ini ialah penelitian sejarah dengan menggunakan metode studi kepustakaan dan metode historis. Metode studi kepustakaan (library research) yaitu menggali sumber data dengan merujuk dari bahan-bahan pustaka dan referensi lain yang relevan. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber pustaka yang kemudian disajikan dengan cara baru dan atau untuk keperluan baru. Peneliti juga menggunakan metode historis dengan tahapan penelitian sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah mengenai situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 yang memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan Darat dalam pemerintahan. Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan PKI karena AD merasa bahwa PKI dapat mengancam politiknya. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD dapat mengancam kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD. Pada akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung politik Soekarno. Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto Please register PDFcamp on //www.verypdf.com/, thank you.menganggap bahwa SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP 11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka. Tindakan Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret seperti pembubaran PKI secara de facto merupakan suatu dualisme kepemimpinan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 bahwa sebenarnya Presiden yang berwenang membubarkan partai, sedangkan isi dari SP 11 Maret sebenarnya hanyalah merupakan perintah Presiden dan tidak menunjukkan peningkatan wewenang Soeharto. Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang dan menghasilkan Ketetapan yang menimbulkan dualisme kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai jalannya pemerintahan. Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu berhasil mempersatukan politik AD dalam Doktrin Tri Ubaya Cakti dan konsep Orde Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung terdekat Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam pengadilan tersebut, Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G 30 S/PKI yang menyebabkan semakin berkurangnya pendukung dirinya. Soekarno kemudian merasa terdesak dan menyerah pada keadaan yang terjadi, ia menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto. Akhirnya MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang Istimewa yang mencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden Soekarno. Berakhirlah Dualisme Kepemimpinan yang terjadi dengan diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar sumber-sumber primer dapat digali kembali sehingga diharapkan dapat menemukan sesuatu yang
baru mengenai Dualisme Kepemimpinan 1966-1967.