Apa saja perjanjian yang menandai respons atas proklamasi kemerdekaan Indonesia

Merdeka.com - Indonesia menyatakan kemerdekaannya atas penjajahan Belanda pada hari ini 73 tahun lalu. Selama 350 tahun sebelumnya VOC atau perusahaan dagang Belanda dan pemerintahannya berkuasa di Tanah Air serta pendudukan Jepang selama Perang Dunia Kedua.

Setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi, Belanda berkeras ingin kembali menguasai Indonesia. Perang revolusi tercatat menewaskan lebih dari 300 ribu orang Indonesia dan 6.000 orang di pihak Belanda.

Bagaimana sesungguhnya Belanda memandang peristiwa perang revolusi di Indonesia?

Dikutip dari laman the Conversation, Rabu (15/8), ilmuwan sosial di bidang studi Belanda, Annemarie Toebosch dari Universitas Michigan, Amerika Serikat menuliskan ulasannya.

Menurut dia Belanda mengabaikan penderitaan rakyat Indonesia pada perang revolusi atau perang kemerdekaan 1945-1949. Alasannya adalah perang kemerdekaan 1945-1949 diakhiri dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar pada 1949 yang salah satu syaratnya adalah Indonesia mengambil alih utang-utang pemerintahan Hindia Belanda dan harus membayar kepada pemerintah Belanda senilai 4,3 gulden untuk kemerdekaan. Pembayaran itu berlangsung hingga 2002.

relief pembantaian massal belanda terhadap rakyat indonesia ©AP Photo/Masyudi S. Firmansyah

Perjuangan untuk keadilan sejarah bagi rakyat Indonesia masih terus diupayakan hingga hari ini. Salah satunya melalui Hari Peringatan Belanda, 4 Mei. Itu adalah hari ketika Belanda mengenang korban Perang Dunia Kedua dan setelahnya. Hari itu diperingati dengan mengheningkan cipta secara nasional selama dua menit dan Raja serta Ratu Belanda menaruh karangan bunga di tugu peringatan.

Namun rakyat Indonesia yang berperang melawan Belanda dan gugur dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949 tidak diperingati dalam acara itu. Meski pada 1945-1949 itu Belanda menganggap mereka masih berkuasa di Indonesia.

Hari Peringatan Belanda memang bukan menjadi hari saat perjuangan rakyat Indonesia yang gugur dalam perang diabaikan. Perlu beberapa dekade, misalnya, bagi korban warga Belanda dalam peristiwa Holocaust untuk dikenang di hari nasional itu.

Hari ini ada gerakan 'No May 4, For Me' yang memprotes pengabaian korban tewas dari pihak Indonesia pada perang kemerdekaan.

Belanda secara resmi tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945. Mereka baru mengakuinya pada 1949 ketika perjanjian Konferensi Meja Bundar pada 1949.

Mengapa Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945? Jawabannya adalah karena Belanda menganggap pada saat itu Indonesia belum merdeka dan masih dikuasai Belanda. Artinya jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945 itu artinya Belanda menyerang sebuah negara yang berdaulat setelah Perang Dunia Kedua. Belanda berperang dengan Indonesia pada 1945-1949 untuk kembali berkuasa. Peristiwa pembantaian pada masa itu menurut Belanda adalah 'tindakan polisi' belaka, bukan kejahatan perang, seperti yang dijelaskan dalam buku Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee yang akan diterbitkan.

Proklamasi RI ©2016 Merdeka.com

Menurut sejarah resmi versi Belanda, Indonesia masih merupakan negara Belanda ketika masa 'tindakan polisi' dan pembunuhan pada waktu itu bukanlah kejahatan perang melainkan penegakan hukum yang berlebihan.

Pada kenyataannya 'tindakan polisi' itu yang melakukan bukan polisi melainkan tentara kerajaan Belanda.

Komite Hari Peringatan Belanda menulis sejarah tentang peristiwa itu sebagai 'tindakan polisi'. Namun konflik pada masa itu kerap ditulis sebagai tindakan militer. Ini suatu hal inkonsistensi.

"Di masa yang disebut 'tindakan polisi', Belanda merebut sejumlah wilayah Indonesia dan menyatakannya sebagai daerah kekuasaan Belanda," kata pernyataan dalam teks sejarah itu.

Dengan kata lain Belanda menganggap korban tewas di pihak Indonesia dibunuh oleh aparat, bukan kejadian perang. Namun di saat yang sama Belanda tidak mau memperingati korban tewas 'warganya sendiri'.

Alasan di balik ini semua ada diskriminasi ras.

Kolonial Belanda tidak memberi status kewarganegaraan kepada orang Indonesia asli atau pribumi pada masa penjajahan.

(mdk/pan)

Baca juga:
4 Fakta di balik foto proklamasi kemerdekaan Indonesia yang legendaris
Kisah di balik bendera Indonesia berwarna merah dan putih
Jejak 'penculikan' Soekarno-Hatta di Rumah Rengasdengklok
11.233 Napi di Sumut dapat remisi Hari Kemerdekaan, 349 langsung bebas
Peringati HUT RI ke-73, Blue Bird beri paket wisata spesial
Warga Depok lahir 17 Agustus bisa perpanjang SIM secara gratis!

tirto.id - Dini hari tanggal 21 Juli 1947, tepat hari ini 71 tahun lalu, ibu kota Republik lebih ramai dari biasanya. Belanda mengerahkan ratusan serdadu untuk mengambilalih paksa daerah-daerah di wilayah Sumatra dan Jawa yang, menurut kesepakatan sebelumnya, merupakan wilayah Republik Indonesia.

Penjajah yang kembali datang ke Nusantara itu melancarkan aksi brutalnya: Agresi Militer Belanda I.

Ini adalah aksi polisionil resmi Belanda sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook menyebut aksi militer ini dengan istilah “Operatie Product". Van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati yang resmi disepakati pada 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.

Belanda punya perbedaan tafsir terkait status kemerdekaan RI dan juga hasil Perundingan Linggarjati sehingga agresi militer pun dilakukan. Dan ini bukan yang terakhir. Nantinya, kendati Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) ikut turun tangan, Belanda kembali menggencarkan operasi militernya setelah aksi tanpa etika yang pertama ini.

Tak Rela Kehilangan Jajahan

Pada 1942, Belanda harus meninggalkan wilayah luas yang telah sangat lama dikangkanginya karena kekalahan dari Jepang dalam Perang Asia Timur Raya atau salah satu fragmen penting Perang Dunia II. Bumi pertiwi gantian dijajah Jepang hingga pada 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Baru beberapa hari rakyat Indonesia menikmati alam merdeka, penjajah dari Barat datang lagi. Belanda yang kali ini beralih-rupa dengan nama NICA (Netherland Indies Civil Administration) membonceng pasukan Sekutu selaku pemenang Perang Asia Timur Raya.

Baca juga: Pardjo, Ajudan Jenderal yang Dua Kali Jadi Menteri

Tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Selanjutnya, mereka tiba di Jakarta pada 15 September 1945 (Akhmad Iqbal, Perang-perang Paling Berpengaruh di Dunia, 2010:139). Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa kepentingan lain.

Van Mook bertugas menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait staatkundige concept atau konsepsi kenegaraan di Indonesia. Pidato pada 6 Desember 1942 melalui siaran radio itu menyebut bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda (Efendi & Doloksaribu, Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1950, 2005: 298).

Namun, van Mook harus gigit jari karena respons rakyat Indonesia tidak seperti yang dibayangkannya. Indonesia kini sudah menjadi negara berdaulat, punya tatanan pemerintahan yang berfungsi nyata, serta didukung puluhan juta rakyat yang siap mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan.

Bahwa ada orang-orang Indonesia yang menginginkan kembali kekuasaan Belanda itu juga benar. Namun kenyataan yang gamblang, bahwa rakyat yang dulunya merupakan kawula Hindia Belanda juga menginginkan kemerdekaan, sungguh tidak bisa disangkal van Mook—betapa pun ia mencoba menutup-nutupinya.

Baca juga: Ali Anyang, Putra Dayak Penegak NKRI

Meskipun sempat digelar perundingan, namun van Mook tetap tidak rela kehilangan wilayah jajahan yang dulu menghidupi Belanda selama beratus-ratus tahun lamanya. Ia pun mempersiapkan serangan serentak untuk menduduki wilayah-wilayah vital.

Silang Tafsir Berakhir Getir

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan itulah yang telah dinyatakan lewat Proklamasi 17 Agustus 1945. Berdasarkan proklamasi kemerdekaan tersebut, Indonesia menjadi negara berdaulat dan berhak mempertahankan kedaulatannya atas seluruh wilayah bekas wilayah Hindia Belanda (G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, 1960: 87).

Di sisi lain, Belanda juga merasa masih berhak memiliki bekas wilayah jajahannya dulu, secara de jure atau berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dilihat dari segi hukum internasional, pendudukan suatu negara dalam perang memang tidaklah mengubah kedudukan hukum wilayah yang (sebelumnya) diduduki (T. Suherly, Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, 1971: 8).

Baca juga: Latief Hendraningrat, Garda Terdepan Proklamasi Kemerdekaan

Atas dasar itulah, dengan menyerahnya Jepang, Belanda merasa berhak menguasai kembali wilayah bekas jajahannya meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan. Apalagi Belanda sudah bersepakat dengan Sekutu, dalam hal ini adalah Inggris, melalui Civil Affairs Agreement yang digelar di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, atau sepekan setelah proklamasi kemerdekaan RI.

Dalam kesepakatan itu, Inggris yang akan mengurusi tawanan perang dan melucuti tentara Jepang memperbolehkan Belanda (NICA) ikut serta untuk menduduki wilayah Indonesia, terutama bagian barat (S.A. Djamhari, Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran: Zaman Jepang dan Zaman Republik, 2011: 27). Inggris berjanji akan menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda pada 30 November 1945.

Baca juga: Muradi Dipenggal Mati Karena Jepang Ingkar Janji

Sementara untuk wilayah Indonesia bagian timur, Belanda akan masuk bersama pasukan Australia yang merupakan sekutu setia Inggris, dan selanjutnya menerima kekuasaan atas kawasan tersebut. Kehendak itu tentu saja bertentangan dengan kedaulatan yang telah dicapai oleh rakyat Indonesia dan berujung pada terjadinya aksi militer Belanda (F. Sugeng Istanto, Death and Ritual in Renaissance Florence, 1992: 141).

Ingkar Janji Demi Ambisi

Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.

Perundingan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan: (1) Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto; (2) Belanda meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat); (4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda (Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164).

Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai adalah pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki Indonesia.

Baca juga: Gugurnya Walikota Padang di Medan Juang

Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1991:439).

Kehendak Belanda tersebut tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin murka dan pada 20 Juli 1947 ia menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.

Jalan Terjal Demi Pengakuan Resmi

Pemerintah RI melaporkan agresi itu kepada PBB bahwa Belanda telah melanggar Perundingan Linggarjati. PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB bahkan mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama “Indonesia", bukan “Netherlands Indies" atau “Hindia Belanda" dalam setiap keputusan resminya.

Desakan PBB dan dunia internasional membuat nyali Belanda ciut. Tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan akan menerima resolusi DK-PBB untuk menghentikan agresi militernya (Nyoman Dekker, Sejarah Revolusi Indonesia, 1989: 75).

Baca juga laporan mendalam Tirto tentang berlikunya proses dekolonisasi Indonesia:

  • Menolak Republik Karena Kangen Zaman Normal
  • Betapa Susah Belanda Mengakui Proklamasi 1945
  • Dan Hubertus van Mook pun Kehilangan Tanah Airnya
  • Cara Belanda Merespons Proklamasi 1945
  • Kegagapan & Kebebalan Belanda Memahami Aspirasi Kemerdekaan
  • Termakan Mitos "Indisch Verloren, Rampspoed Geboren"

Gencatan senjata memang akhirnya tercipta, tapi hanya untuk sementara. Belanda kembali mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. Inilah yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.

Setelah melalui berbagai polemik yang berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret 1949 dan semakin membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada dan sanggup berdiri sendiri sebagai negara merdeka, Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI secara penuh pada 27 Desember 1949.

==========

Artikel ini pernah ditayangkan pada 21 Juli 2017 di bawah judul "Saat Belanda Membatalkan Sepihak Perjanjian Linggarjati". Kami menyuntingnya kembali untuk ditampilkan di rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/ivn)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA