Apa maksud setuang air teh a.m.s.a.t syahmedi dean

  • Pencarian sederhana adalah pencarian koleksi dengan menggunakan hanya satu kriteria pencarian saja.
  • Ketikkan kata kunci pencarian, misalnya : " Sosial kemasyarakatan "
  • Pilih ruas yang dicari, misalnya : " Judul " .
  • Pilih jenis koleksi misalnya " Monograf(buku) ", atau biarkan pada pilihan " Semua Jenis Bahan "
  • Klik tombol "Cari" atau tekan tombol Enter pada keyboard

Judul : A.M.S.A.T – Apa Maksud Setuang Air Teh

Penulis: Syahmedi Dean

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Halaman : 304 halaman

Cetakan Pertama: Oktober 2009 

ISBN: 9789792250749

Tapi ternyata cantik itu bisa lebih kuat memancar dari dalam hati. Dari sinar mata. Yang di luar ini, pakaian ini, selalu berubah, selalu terjajah tren, cuma bikin capek aja – hal. 191

Meskipun tau kalau buku ini adalah tetralogi, tetep aja nekat buat baca tanpa banyak mikir. Sama saat membeli buku ini tanpa banyak mikir karena nemunya di rak obral seharga Rp 10.000. Sebenernya sempat deg-degan juga, bakal ngerti atau nggak alur ceritanya tanpa pernah tau buku-buku sebelumnya. Tapi demi mengurangi tumpukan buku dan nyelesaiin tantangan 100 Days Of Asian Reads Challenge, nggak apa-apa deh.

Dan ternyata memang tidak menyesal. Ceritanya tetap mudah dimengerti. Asumsi awal aku adalah cerita di masing-masing buku berbeda karena di A.M.S.A.T sepertinya nggak ngungkit-ngungkit kisah sebelumnya deh. It’s just my best guess ya...

Awalnya tertarik karena judulnya yang merupakan singkatan dari huruf depan masing-masing kata. Unik. Covernya juga aku suka. Untuk ceritanya sendiri sih biasa aja. Tentang sekelompok sahabat berprofesi sebagai jurnalis dunia fashion yang berniat mendirikan majalah. Konflik dimulai dari penyandang dana yang ternyata adalah seseorangnya sesuatu. Nggak hanya tentang media, dan kehidupan dunia fashion, ceritanya juga dikombinasikan dengan politik bahkan agama.

Persahabatan yang dibumbui cinta tetap menjadi jurus utama. Dan memang ini yang bikin seru. Semua konflik yang terjadi antar mereka diceritakan mengalir selayaknya hubungan antar sahabat yang tidak selalu mulus.

Penggambaran masing-masing karakter sebenarnya juga biasa saja. Meskipun begitu I’ve got a li’l surprise at the end of story dari tokoh Raisa dan Saidah.

Lalu apa hubungan setuang air teh dengan semua hal ini?

Ada, baca aja. You’ll find it (maybe) in a unique way.   

Copyright © 2021 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. All rights reserved.

Counter :

Copyright © 2021 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. All rights reserved.

Counter :

Sebuah akhir yang mencengangkanFantastis. Extra ordinary. So unpredictable. GOD, I just love this novel.Yeah, sejak Cewek Matre-nya Alberthiene Endah saya belum pernah lagi merasakan sebegitu bersemangatnya membahas dan berusaha keras menyimpan tiap detail isi dari sebuah buku, sampai terbitnya novel keempat (terakhirkah????) dari seri Fashion Journalistic-nya Syahmedi Dean ini. Rasanya sejumlah rupiah yang saya tukarkan dengan novel ini benar-benar terbayar impas. Wew…

Hahahaha. Nonobjective ban

Sebuah akhir yang mencengangkanFantastis. Extra ordinary. So unpredictable. GOD, I just love this novel.Yeah, sejak Cewek Matre-nya Alberthiene Endah saya belum pernah lagi merasakan sebegitu bersemangatnya membahas dan berusaha keras menyimpan tiap detail isi dari sebuah buku, sampai terbitnya novel keempat (terakhirkah????) dari seri Fashion Journalistic-nya Syahmedi Dean ini. Rasanya sejumlah rupiah yang saya tukarkan dengan novel ini benar-benar terbayar impas. Wew…Hahahaha. Nonobjective banget ya??? Belum apa-apa sudah memuji setinggi langit begitu. Don’t know why. My hands up! kalo kata Nelly Furtado,”manos al aire.” Novel ini memang keren. Sumpah! Sangat di luar perkiraan saya. Bagaimana tidak, tiga novel pendahulunya telah menjejakkan citra bagaimana saya harus menyimpulkan sebuah novel karya Syahmedi Dean. Yaitu, novel metro-urban-modern yang kebanyakan ngomongin barang fashion dengan segala detailnya berbau fashion. Dengan kata lain, novelnya cukup buat having fun. Just an entertainment book!Secara packaging, novel ini tidak meninggalkan cetakan dari tiga novel sebelumnya. Masih tetap sama banyaknya dalam hal menampilkan barang-barang fashion. Sebutan merk tas-baju-sepatu-lipstick and so on yang terkadang agak lebay. Tapi itulah istimewanya novel-novelnya Syahmedi Dean. Bagi sebagian pembaca perempuan, cukup dengan merampungkan serinya Syahmedi Dean, dijamin tidak bakal lagi dongo kalau mendengar orang menyebut Bally (bukan Bali), Birkin, atau Louis Vuitton. Minimal, tidak akan lagi shock dan berseru, “ih lucu, makanan apa itu?”Gaya bahasa yang lebay (berlebihan) yang digunakan Syahmedi memang bagai pisau bermata dua, bagi saya. Di satu sisi agak-agak annoying, tapi di sisi lain juga memberikan efek yang menyegarkan. Sama halnya ketika saya membaca She’ll Take It-nya Mary Carter. Penjelesannya mbleber kemana-mana, tapi sayang kalau dilewatkan.Biasanya pula, saya paling tidak suka dengan tokoh yang “mendadak” mendapat jatah aktualisasi diri padahal garis besar novel bercerita dengan sudut pandang orang pertama. Janggal saja, tiba-tiba si A diberikan line, sedangkan tokoh utama sama sekali tidak ada dalam adegan tersebut. Namun, dalam novel Syahmedi, cara pemberian porsinya cukup ‘mulus’. Tidak mengesankan narsisme dari tokoh tersebut, sehingga jauh dari kesan janggal.Dari keseluruhan empat novelnya, novel keempat ini memberikan kesan paling mendalam bagi saya. The best lah dari tiga lainnya. Terutama dari plot dan isinya.Dari novel pertama, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion), Syahmedi mengenalkan jungkir baliknya dunia balik layar dari produksi sebuah majalah lifestyle. Novel kedua, J.P.V.F.K. (Jakarta Paris via French Kiss), para tokohnya mulai dikenalkan pada konflik yang lebih beragam dengan tetap tak meninggalkan gemerlapnya dunia mode. Pada novel ketiga, P.G.D.P.C. (Pengantin Gipsy dan Penipu Cinta), para tokohnya dihujani dengan masalah-masalah pelik yang menguji sejauh mana persabahatan mereka. Dan, akhirnya, di novel pamungkasnya ini, A.M.S.A.T. (Apa Maksud Setuang Air Teh), para tokohnya bermetamorfosis mencapai kejatidirian mereka masing-masing. Menemukan jawab atas salah satu pertanyaan penting dalam hidup, “siapa aku yang sebenarnya?”Meskipun agak terlambat, novel ini cukup up to date dengan sentilan soal hiruk-pikuk panggung politik (pemilu dan caleg), sepak terjang KPK, kasus-kasus korupsi bertaraf nasional semacam kasus alih fungsi hutan lindung di Sumatera, dan demo pengrusakan kantor penerbitan yang menurunkan berita berbau pornografi (jadi ingat kasus majalah Playboy). Maka, lumrah saja ketika saya menyematkan pujian bahwa novel ini cukup padat berisi. Fashion-politik-relijius.Yup, yang membuat saya cukup terkagum adalah kepiawaian Syahmedi menyelipkan isu keagamaan dalam kilau dunia mode yang diciptakannya. Pun, cara penyampaiannya juga tidak terkesan menggurui dan terlihat sekali Syahmedi mencoba membahas masalah agama itu dari dua sisi, pro dan kontra. Kalau sudah begitu, tinggal pembaca sendiri yang menentukan, mau ikut yang pro atau yang kontra.Yang perlu dicatat lagi dari novel ini adalah banyaknya flashback dari masing-masing tokohnya. Saya sempat bosan (sedikit) ketika pada lembar-lembar awal, kebanyakan isi halamannya adalah renungan-renungan masa lalu dari masing-masing tokoh. Memang perlu sih untuk menjembatani dengan masa depan mereka, hanya saja, saya memang agak kurang sabaran kalau orang sudah cerita (melulu) tentang masa lalu. Apalagi, kebiasaan Syahmedi yang mendetailkan segala sesuatu, makin membuat saya ingin buru-buru skip dan lanjut ke halaman berikutnya.Anyway, terima kasih Syahmedi, terima kasih editor, terima kasih tim penerbitan Gramedia, saya luput mendapati adanya salah cetak pada novel ini. Thank GOD! Entah saya yang kurang awas karena terlalu excited terhadap novelnya atau memang benar-benar tidak ada masalah teknis begituan. Dunno.Hmm… dari novel ini saya punya dua part (quote) yang paling saya suka. Yang pertama, telah saya pampang di sidebar blog saya ini dalam kolom My Favorite Quote. Yang kedua, adalah ini: Bertolak belakang antara siang dan malam. Siang preman, malam ayah yang baik. Siang selingkuh, malam istri yang budiman. Siang karyawan yang rajin, malam menggampari istri. Halaman 183Menohok sekali. Tepat menggambarkan orang-orang yang secara sadar atau tidak seringkali menampilkan dua muka yang berbeda untuk dua waktu yang berbeda pula. Siang dan malam. Baik dan buruk. Salah dan benar. Termasuk saya juga, mungkin, hehehehe....Dua hal yang menjadi topik penting novel keempat Syahmedi ini adalah ‘bulan’ dan ‘teh’. Secara judulnya juga ada menyangkut teh-teh-nya, maka tak heran kalau teh menjadi primadona di novel ini, bahkan hampir seluruh tokohnya (utama atau figuran), disengaja atau tidak, setiap beradegan minum, pasti pesannya teh. Hmm… kenapa selera orang bisa digeneralisir begitu, ya? Dan, ngomong-ngomong sampai selesai membaca novel ini saya masih nggak tahu juga, apa maksud setuang air teh? Ahhh…mungkin saya harus membaca ulang sekali lagi sembari menuang secangkir teh aroma melati, baru saya tahu apa maksudnya. Hmm… sedap, kedengarannya.Selamat membaca. Dan, hey, jangan jantungan ya… novel ini benar-benar memberikan full of surprises!!!

-------------copas dari blog saia


...more

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA