Apa maksud menjual ayat2 allah q.s albaqarah

Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Maa-idah Ayat 3 yang artinya “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]. Islam sebagai agama yang sempurna telah mencangkup segala aspek kehidupan manusia, sebagai pedoman hidup manusia agar dapat memperoleh kebahagian dunia dan akhierat. Salah satu aspek yang diatur dalam Islam adalah yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan. Salah satu kegiatan ekonomi yang sering dilakukan oleh manusia adalah kegiatan jual beli.

Allah SWT telah menghalalkan praktek jual beli yang sesuai dengan ketentuan dan syari’atNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:” …Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba…(Q.S. al-Baqarah: 275). Rasullullah SAW bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Maka berdasarkan hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan. Namun disisi lain, Rasullullah SAW juga bersabda “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah. Oleh karena itu seseorang muslim yang melaksanakan transaksi jual beli, sebaiknya mengetahui syarat-syarat praktek jual beli berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits, agar dapat melaksanakannya sesuai dengan syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan yang dilarang dan diharamkan.
Syarat-syarat praktek jual beli yang sesuai dengan syariat Islam yaitu:

  1. Transaksi jual beli dilakukan dengan Ridha dan sukarela

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak, hendaknya dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, dan dilakukan dengan ridha dan sukarela tanpa ada paksaan dari pihak manapun, sehingga salah satu pihak (baik penjual maupun pembeli) tidak ada yang dirugikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 29 yang artinya : ““… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (Q.S. An-Nisaa: 29). Berdasarkan ayat ini juga, maka diketahui bahwa transaksi jual beli harus dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten yaitu orang-orang yang paham mengenai jual beli, dan mampu menghitung atau mengatur uang. Sehingga tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang tidak pandai atau tidak mengetahui masalah jual beli.

  1. Objek jual beli bukan milik orang lain

Objek jual beli merupakan hak milik penuh salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli. Seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila telah mendapatkan ijin dari pemilik barang. Rasullullah SAW bersabda: Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

  1. Transaksi jual beli dilakukan secara jujur

Transaksi jual beli hendaknya dilakukan dengan jujur. Rasullulah SAW bersabda: “Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban).
Salah satu contoh transaksi jual beli yang jujur adalah dengan cara penjual menyempurnakan takaran. Hal ini dapat diketahui dalam Allah berfirman asy Syu’araa ayat 181-183 yang artinya adalah ”Sempurnakanlah takaran jangan kamu termasuk orang-orang yang merugi, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus, dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”(Q.S. Asy Syu’araa: 181-183). Allah SWT juga berfirman dalam surat Al Muthaffifiin ayat 1-6 yang artinya: ”Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan di bangkitkan, pada suatu hari yang besar (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini” (Q. S. Al Muthaffifiin; 1-6). Transaksi jual beli juga dikatakan dilakukan dengan jujur apabila seorang penjual menjelaskan dengan jujur kondisi barang yang dijualnya kepada pembeli. Penjual akan memberitahukan kepada pembeli apabila terdapat cacat pada barang yang dia jual. Hal ini sesuai dengan sabda Rasullullah SAW yang artinya: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

  1. Transaksi jual beli barang yang halal

Transaksi jual beli yang dilakukan haruslah barang atau jasa yang halal dan atau tidak di larang oleh syariat Islam, seperti jual beli narkoba, dan minuman keras. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad).

  1. Objek jual beli dapat diserahterimakan

Barang yang menjadi objek jual beli, haruslah barang yang dapat diserah terimakan segera dari penjual kepada pembeli. Rasullullah bersabda: Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim). Sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, hasil sawah yang belum dipanen, dan lain-lain. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung spekulasi atau judi. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 219 dan Surat Al Maidah ayat 90-91 yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (Al-Baqarah: 219). Hai orang–orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dengan khamr dan judi, menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maidah: 90-91)

Sedangkan jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah:

  1. Transaksi jual beli yang menjauhkan dari ibadah

Transaksi jual beli yang dilakukan, hendaklah tidak melupakan kewajiban manusia untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumuah ayat 9-10 yang artinya” “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumuah : 9-10). Allah SWT juga berfirman dalam Surat Annur ayat 37 yang artinya: laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.

  1. Transaksi jual beli barang yang haram

Transaksi jual beli yang dilarang menurut syari’at Islam adalah jual beli barang yang diharamkan seperti jual beli minuman keras, narkoba, barang hasil pencurian dan lain-lain. Karena hal ini juga berarti ikut serta melakukan dan menyebarluaskan keharaman di muka bumi. Rasullullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatukaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya” (HR Abu Daud dan Ahmad)

  1. Transaksi jual beli harta riba

“Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba, yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda : “Mereka itu sama”. (HR. Muslim). Dalam hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa Islam melarang transaksi jual beli harta riba.

  1. Transaksi jual beli hasaath

Rasulullah SAW bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim). Transaksi jual beli hasaath  dilarang karena jual beli dengan kerikil yang dilempar untuk menentukan barang. Membuat pembeli tidak bisa memilih, memilah barang yang sesuai keinginan dan sesuai kualitas barangnya. Sehingga ada salah satu pihak (pembeli) yang dirugikan dalam transaksi jual beli ini. Itulah mengapa jual beli hasaath tidak diharamkan dalam Islam.

Pnulis: Wahyudhi Sutrisni, ST., MM.

Dosen Prodi Teknik Industri

14963 Hits

وَآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. ( Qs Al Baqarah : 41 )

Beberapa pelajaran dari ayat di atas :

Pelajaran Pertama :

َوآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ

” Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran )” Ayat ini menunjukkan empat hal :

1/ Menunjukkan bahwa Bani Israil diperintahkan untuk beriman terhadap apa yang diturunkan Allah di dalam Al Qur’an, termasuk di dalamnya beriman kepada nabi Muhammad saw

2/ Ayat ini merupakan dakwah atau ajakan kepada Bani Israel agar masuk dan memeluk Islam, setelah pada ayat sebelumnya mereka diingatkan tentang nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada nenek moyang mereka ([1]).Ini merupakan cara Al Qur’an berdakwah, yaitu mengingatkan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, atau mengingat kelebihan yang diberikan Allah kepada mereka, setelah itu baru diajak untuk mengikuti ajaran Allah. Atau dengan kata lain : Mengingatkan tauhid rubiyah, kemudian baru diajak untuk bertauhid uluhiyah. Dan cara seperti ini, sangat banyak kita dapatkan dalam Al Qur’an, sebagiannya sudah diterangkan.

3/ Allah dalam ayat ini tidak menyebut Al Qur’an secara langsung, akan tetapi menyebut dengan ” apa yang Aku turunkan, ” hal ini dimaksudkan bahwa alasan kenapa Bani Israel diperintahkan untuk beriman kepada Al Qur’an ? karena Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan Allah sama dengan kitab Taurat yang juga diturunkan dari Allah. ([2])

4/ Menunjukkan juga bahwa Tajdid al Iman atau pembaharuan Iman, atau bahkan Tazkiyah Nafs ( pembersihan diri ) yang paling efektif adalah dengan menggunakan Al Qur’an. ( [3] )Dalam sebuah ceramah yang disampaikan oleh seorang ulama di Madinah Munawarah, salah seorang pendengar bertanya tentang buku terbaik dalam tazkiyah nafs, maka syekh tersebut mengatakan bhawa sebaik –baik buku untuk tazkiyah nafz adalah Al Qur’an.

Pelajaran Kedua :

مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ

” yang membenarkan apa yang ada padamu, yaitu Taurat ”

(1) Ayat ini menunjukkan bahwa Bani Israil dilarang untuk menyembunyikan kebenaran yang terdapat dalam kitab Taurat, yaitu berita diutusnya nabi Muhammad saw di akhir zaman untuk membenarkan apa yang ada di dalam Taurat dan Injil. Mereka merubah sifat-sifat nabi Muhammad saw karena ingin mengambil keuntungan dunia darinya ( [4] )

(2) ” yang membenarkan apa yang ada padamu ” maksudnya Al Qur’an yang dibawa oleh nabi Muhammad saw ini membenarkan kitab suci-kitab suci yang diturunkan kepada Bani Israel , yang meliputi : At Taurat, Injil, Zabur, Asy’iya’ , Armiya’, Hazqiyal, Danial, dan lain-lainnya

( 3 ) Yang dimaksud ” membenarkan ” adalah bahwa isi Al Qur’an mencakup petunjuk yang dibawa oleh para nabi sebelumnya, seperti ajakan kepada ajaran Tauhid, dan perintah untuk berbuat baik, menjauhi kejelekan, menegakkan keadilan. Jika terjadi perbedaan, itupun hanya karena perbedaan zaman, keadaan dan tempat, akan tetapi semuanya berasal dari satu sumber yaitu Allah swt. Oleh karenanya, Al Qur’an dikatakan menghapus hukum-hukum yang ada pada kitab-kitab sebelumnya, karena perbedaan tempat, zaman dan maslahat. Penghapusan ini dalam istilah ushul fiqh disebut ” Naskh ” , dan tidak dikatakan ” Ibthal ” ( pembatalan ) ataupun ” takdzib ” ( pendustaan ) . Inilah arti bahwa Al Qur’an merupakan ” pembenar ” dari kitab-kitab sebelumnya . ([5])

Pelaran Ketiga :

وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ

” Janganlan kalian menjadi orang-orang pertama yang mengkafirinya “, Maksudnya : wahai Bani Israel yang di Madinah janganlah kalian menjadi golongan pertama dari orang-orang Yahudi yang mengkafiri Al Qur’an ini. Karena sebelum mereka orang-orang Quraisy telah terlebih dahulu mengkafiri Al Qur’an ini sebelum mereka. ( [6] )

Pelajaran Keempat

وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً

” janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah ”

( 1 ) Ayat ini diturunkan karena sebagian pendeta Bani Israil tidak mau mengajarkan kebenaran yang mereka ketahui kepada manusia, kecuali dengan meminta uang dari pekerjaannya tersebut, maka Allah melarang mereka untuk berbuat seperti itu.

( 2 ) Sebagian ulama mengatakan bahwa Bani Israil tidak mau beriman kepada Al Qur’an karena kecintaan mereka kepada dunia. ( [7] ) Mereka mengira bahwa dengan beriman kepada Al Qur’an dan mengikuti apa yang dibawa nabi Muhammad saw, mereka akan menjadi golongan yang tersingkir, karena nabi Muhammad saw berasal dari keturunan Arab, sedang mereka dari keturunan Yahudi, yang selama ini menjadi golongan yang terhormat di kota Yastrib ( Madinah ). Itulah yang disebut menukar keimanan dengan dunia, atau menukar keimanan dengan jabatan yang harganya sangat sedikit.

Pelajaran Kelima:

Ayat di atas walaupun diturunkan kepada Bani Israel, akan tetapi berlaku kepada siapa saja yang mempunyai sifat seperti sifat Bani Israel. Berkata Imam Al Qurtubi : ” Dan ayat ini , walaupun khusus untuk Bani Israel, akan tetapi juga mencakup semua orang yang berbuat seperti perbuatan mereka. Maka barang siapa yang mengambil uang suap untuk memanipulasi suatu hak, atau menghilangkannya, atau tidak mau mengajar sesuatu yang wajib diajarkannya kepada orang lain, padahal itu menjadi kewajibannya kecuali dengan meminta upah dari pekerjaannya itu,maka sungguh termasuk dalam larangan ayat di atas. Wallahu A’lam . ( [8] )

Oleh karenanya, kita sebagai umat Islam dilarang untuk belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi justru kita mencari ilmu tersebut demi mencari keuntungan dunia yang sedikit itu. Dalam suatu hadist Rosulullah saw pernah bersabda :

من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا

“ Barang siapa yang belajar suatu ilmu yang seharusnya dilakukan dengan ikhlas, tetapi dia menuntutnya demi untuk mencari keuntungan dunia darinya, maka dia tidak akan bisa menyium baunya syurga pada hari kiamat “ ( HR Abu Daud no : 3664 )

Maka, orang seperti ini ada kesamaannya dengan orang-orang Yahudi yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.

Dari situ timbul suatu pertanyaan : Bagaimana hukum belajar di perguruan tinggi atau sekolahan untuk mencari ijazah ? Jawabannya adalah bahwa hukumnya tergantung kepada niat, jika ia berniat dengan ijzahnya tersebut hanya sekedar untuk mencari pekerjaan, maka ia termasuk yang dilarang dalam hadits tersebut. Sebaliknya jika ia berniat dengan ijazah tersebut untuk menegakkan kebenaran dan mengajarkan Islam kepada masyarakat, maka tidak termasuk dalam larangan dalam hadits tersebut. ( [9] )

Pelajaran Ke-enam:

Disana ada beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan ayat di atas , diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :

Pertanyaan Pertama : Bolehkah kita mengajar Al Qur’an kepada orang lain dan mengambil gaji darinya ?

Jawabannya adalah : menurut mayoritas ulama, diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’I, dan Ahmad menyatakan bahwa hal itu dibolehkan, adapun alasan mereka sebagai berikut : ( [10] )

( 1 ) Dalil Pertama : Sabda Rosulullah saw :

إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله

“ Sesungguhnya yang paling berhak untuk diambil upahnya adalah mengajar Al Qur’an. “ ( HR Bukhari no : 2276 )

(2 ) Dalil Kedua : Bahwa mengajar Al Qur’an bukan semata-mata ibadat ansich, akan tetapi juga mengandung unsur memberikan manfaat kepada orang lain, seperti halnya mengajar menulis Al Qur’an

( 3 ) Dalil Ketiga : Larangan untuk menjual ayat Allah di atas ditujukan kepada orang yang memang sangat dibutuhkan untuk mengajar Al Qur’an dan tidak ada yang lain, kemudian dia menolaknya kecuali dengan mengambil gaji darinya, khususnya bagi orang-orang yang sebenarnya kurang membutuhkan upah tersebut. Adapun bagi orang yang mengajar Al Qur’an bukan suatu kewajiban baginya, apalagi dia sangat membutuhkan uang untuk hidup, maka dalam hal ini dibolehkan.

( 4 ) Dalil Keempat : Ketika Abu Bakar As Siddiq diangkat menjad khalifah, dia sangat membutuhkan uang untuk nafkah keluarganya, sehingga ia terpaksa pergi ke pasar berjualan baju. Mengetahui hal tersebut , para sahabat sepakat untuk memberinya gaji atas pekerjaannya sebagai khalifah.

( 5 ) Ibnu Katsir ( [11] ) menambahkan dalil yang kelima , yaitu kisah seorang sahabat yang menikah dengan mahar yaitu dengan mengajarkan Al Qur’an, Rasulullah bersabda :

زوجتكها بما معك من القرآن

” Saya menikahkan kamu dengan perempuan ini dan maharnya adalah mengajarkannya Al Qur’an “ ( HR Ahmad : 5/ 315 )

Pertanyaan kedua : Bagaimana hukum membaca Al Qur’an kemudian mengambil upah darinya ?

Jawabannya : Para ulama membedakan antara mengajar dengan membaca, mereka membolehkan mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an , karena manfaatnya langsung bisa dirasakan oleh yang diajar, ini dikuatkan dengan adanya contoh dari dari sahabat pada zaman Rosulullah saw sebagaimana yang dijelaskan di atas. Adapun membaca Al Qur’an sebenarnya manfaatnya kembali kepada diri pembaca, maka tidak kita dapatkan para ulama salaf melakukan hal tersebut. Apalagi dikuatkan dengan suatu hadist yang menyebutkan :

عن عمرا بن حصين أنه مر على قاص يقرأ ثم سأل ، فسترجع ثم قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من قرأ القرآن فليسأل الله به ، فإنه سيجئ أقوام يقرءون القرآن يسألون به الناس

” Dari Imran bin Hushain, pada suatu hari dia melewati tukang cerita yang membaca Al Qur’an kemudian meminta upah dari bacaannya, makanya dia segera mengucapkan : Inna lillah wa inna ilahi rojiun, kemudian berkata : ” Aku pernah mendengar Rosulullah saw bersabda : ” Barang siapa yang membaca Al Qur’an, hendaknya meminta Allah dengannya, karena akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur’an dan meminta upah dari manusia darinya. “ ( HR Tirmidzi , no : 2926, Ahmad : 4/ 432 )

Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa mengambil upah dari pekerjaan membaca Al Qur’an hukumnya Khilaf Al –Sunnah ( menyelisihi Sunnah ) dan sebaiknya dihindari. ( [12] )

Pertanyaan ketiga : Bagaimana hukumnya menjual Mushaf Al Qur’an ? Jawabannya : Mayoritas ulama, yang diwakili oleh madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan riwayat dari madzhab hambali membolehkan jual beli mushaf Al Qur’an. Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

وأحل الله البيع والربا

” Dan Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba ” ( Qs Al Baqarah : 275 )

Menjual mushaf Al Qur’an termasuk dalam keumuman ayat di atas.

Mereka juga beralasan bahwa yang dijual dalam hal ini bukanlah ayat-ayat Al Qur’an, akan tetapi yang dijual adalah kertas, tinta, dan sampul yang ada dalam mushaf. ( [13] )

Pelajaran Ke-tujuh :

ثَمَناً قَلِيلاً

“dengan harga yang sedikit “

maksudnya adalah dunia dengan seluruh kesenangannya. ( [14] ) Kenikmatan dan kesenangan dunia ini menurut pandangan kebanyakan orang adalah kenikmatan yang sangat banyak, akan tetapi menurut pandangan Allah adalah sesuatu yang berharga rendah dan sedikit, karena sifatnya yang menipu dan tidak kekal. Sebagai contoh saja, kalau seseorang membeli makanan yang sangat mahal dan hanya ada di luar negri, maka ketika ia memakannya, nikmat yang ia rasakan hanya beberapa menit, tepatnya ketika makanan itu melewati tenggorakan, setelah itu sirna kembali. Bukanlah ini adalah nikmat yang sedikit dan menipu, dan begitu seterusnya.

Pelajaran Ke-delapan :

وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

” dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa ”

( 1 ) Taqwa menurut Talq bin Habib adalah beramal dengan mentaati Allah, mengharapkan rahmat Allah, dengan pijakan cahaya Allah, sambil meninggalkan maksiat kepada Allah, di atas pijakan cahaya Allah, serta takut dengan siksaan Allah.( [15] )

( 2 ) Pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan Bani Israel untuk takut hanya kepada Allah, sedang dalam ayat ini Allah memerintahkan bani Isarel untuk bertaqwa kepada Allah , apa rahasianya ? Paling tidak ada dua hal yang bisa dipetik darinya :

- Pertama : Sebuah ketaqwaan harus didahului dengan rasa takut kepada Allah, karena ketaqwaan itu sendiri merupakan hasil dari rasa takut kepada Allah swt. .( [16] )

- Kedua : Karena ayat sebelumnya mengandung perintah untuk menepati janji,maka Allah mengancam kepada siapa saja yang menyelesihi janji tersebut, sehingga diakhiri dengan perintah untuk takut hanya kepada Allah saja. Sedang ayat ini mengandung perintah untuk beriman kepada Al Qur’an yang banyak didustakan oleh para pemimpin mereka, sehingga sangat tepat kalau Allah memerintahkan agar mereka bertaqwa kepada Allah saja. ([17])

( 3 ) Ayat ini juga merupakan ancaman kepada siapa saja yang menyembunyikan kebenaran padahal dia mengetahuinya .( [18] )

Kairo, 2 Juli 2007 M

( [1] ) Ibnu Asyur, Al Tahrir wa Al Tanwir, juz I , hlm : 259

( [2] ) Ibid

( [3] ) Al Biqa’I, Nudhumu al Durar fi Tanasub al Ayat wa al Suwar, juz I , hlm : 77

( [4] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132

( [5] ) Ibnu Asyur, Op.Cit,

( [6] ) Ibnu Katsir, Op. Cit.

( [7] )Tafsir Syekh Ibnu Utsaimin

( [8] ) Al Qurtubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an ,( Beirut : Dar Al Kutub Ilmiyah ) 1996, Cet, ke V, Juz I, hlm : 228-229

( [9] ) Tafsir Syekh Ibnu Utsaimin

( [10] ) Al Qurtubi, Op. Cit, hlm : 229

( [11] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 132

( [12] ) Fatawa Kibar Ulama Al Ummah, ( Kairo : Al Maktabah Al Islamiyah ), 2002, Cet ke : II, hlm : 1013

( [13] ) Syekh Adil Yusuf Al Azazy, Tamam Al Minnah fi Fiqh Al Kitab wa Shohih As Sunnah,Kitab Al Buyu’ ( Kairo : Muasyasyah Qurtubah ),2005, Cet. I, hlm : 78

( [14] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133

( [15] ) Ibid

( [16] ) Al Biqa’i, Op. Cit .

( [17] ) Ibnu Asyur, Op. Cit, , hlm : 267

( [18] ) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Adhim, Juz I, hlm : 133

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA