Apa isi perjanjian Salatiga di akhir masa kerajaan Mataram

Foto : istimewa

Perjanjian Giyanti tidak memuaskan Raden Mas Said sebagai salah satu elemen kekuatan trah Mataram. Dengan tentara yang kuat, ia menuntut pembagian kekuasaan dari ketiga kekuatan yang ada saat itu sehingga lahir Perjanjian Salatiga.

Hari ini 262 tahun, tepatnya pada 17 Maret 1757 dilakukan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh para pewaris Kesultanan Mataram, yaitu Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi), Pakubuwono III (Raden Mas Suryadi), Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa dan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).Perjanjian ini ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Gedung Pakuwon yang kini terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Salatiga, Jawa Tengah. Perjanjian Salatiga untuk menyelesaikan serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan antar trah Amangkurat IV yang sekaligus mengakhiri Kesultanan Mataram.Perjanjian yang kemudian disebut Perjanjian Salatiga ini merupakan kelanjutan dari Perjanjian Giyanti, atau Prajanjèn ing Janti atau Verdrag van Gijanti dalam bahasa Belanda. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 13 Februari 1755, di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.Perjanjian Salatiga memutuskan kepada kedua belah pihak yaitu antara Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I untuk kedua kalinya memberi wilayah Mataram kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah Surakarta dibagi menjadi dua bagian yaitu Kasunanan serta Mangkunegaran.Mangkunegara sendiri gelar bagi adipati yang memimpin Kadipaten Mangkunegaran. Nama ini pertama kali dipakai oleh Pangeran Sambernyawa, kemudian disebut Mangkunegara I. Gelar lengkapnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I.Perjanjian Salatiga akhirnya memberikan pengakuan kepada Mangkunegara I sebagai penguasa kadipaten itu. Isi perjanjian menyatakan Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji atau pangeran yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa. Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (singgasana).Pangeran Miji berhak untuk menyelenggarakan acara penobatan adipati dan memakai semua perlengkapan adipati. Tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana. Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar. Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.Pemberian tanah lungguh seluas 4.000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.Isi perjanjian tersebut dilatarbelakangi ketidakpuasan Raden Mas Said terhadap Perjanjian Giyanti. Pada perjanjian itu Pangeran Mangkubumi memperoleh separuh area kekuasaan Mataram. Dari perjanjian ini kemudian mendapat gelar Sultan Hamengkubuwono I.Pangeran Raden Mas Said sebagai cucu dari Amangkurat IV, tidak menerima pemberian wilayah kekuasaan Mataram ini kepada Mangkubumi. Selanjutnya ia serta terus melancarkan perlawanan dengan memerangi ketiga pihak yaitu VOC, Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III.Ketangguhan Raden Mas Said dibuktikan dalam tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757 selalu memakan korban. kepiawaiannya dalam perang membuatnya dijuluki "Pangeran Sambernyawa." Ia yang mampu menciptakan pasukan yang militan dianggap sebagai penyebar maut bagi para musuh-musuhnya.VOC menyarankan agar Raden Mas Said untuk menyerah kepada salah satu dari saudaranya, Pakubuwono III dan Mangkubumi dengan sejumlah ancaman. Namun hal itu tidak diperdulikannya. Ia terus menekan ketiganya dan menuntut pembagian wilayah.

Penyeimbang Kekuasaan

Sebenarnya Raden Mas Said juga tidak pernah menang melawan tiga kekuatan sekaligus, namun perlawanannya cukup merepotkan. VOC yang saat itu sedang mengalami kesulitan finansial dan ingin mengamankan posisinya di Jawa akibat perang yang tak kunjung usai akhirnya menawarkan tawaran perdamaian kepada Sambernyawa.Bentuknya perdamaian berupa Perjanjian Salatiga yang membagi Mataram menjadi tiga wilayah, di bawah kepemimpinan berbeda yaitu Hamengkubuwono, Pakubuwono, dan Mangkunegaran. Bagi pihak Belanda, munculnya Mangkunegaran dianggap sebagai kutub kekuatan politik ketiga yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan.Sedangkan bagi Mas Said, sebenarnya hal ini merupakan kegagalan dirinya yang memiliki cita-cita menjadi raja yang menguasai seluruh tanah jawa, atau membangun kembali kejayaan Mataram, jika tidak terpecah. Sementara pihak Susuhunan dan Kasultanan menilai adanya keberadaan Mangkunegara bukan sesuatu masalah karena masih merupakan bagian dari keluarga.Namun konflik tampaknya masih berlanjut dalam hal gelar. Ketika Sunan Pakubuwono III wafat pada 1788, ia digantikan oleh Sunan PB IV yang piawai dalam berpolitik. Ia memberikan gelar Pangeran Mangkubumi kepada saudaranya sebagai usaha untuk merebut kekuasaan Hamengkubuwono I.

Hal itu membuat Sultan Hamengkubuwono I marah karena merasa gelarnya dahulu tersebut berlaku selama hidupnya. Hal ini sempat menimbulkan ketegangan kembali, ditambah dengan tuntutan Mangkunegara I kepada kepada VOC yang pernah menjanjikan tahta Kesultanan Yogyakarta kepada Mangkunegara I jika Pangeran Mangkubumi wafat.

Konflik Keluarga Amangkurat IV

Mataram merupakan negara berbentuk kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Pendirinya adalah Senopati yang mengangkat diri dengan nama Panembahan Senopati pada 1586. Dengan demikian ia menjadi raja pertama Kerajaan Mataram.Mataram merupakan negara berdaulat di akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa Mataram. Kejayaan Mataram ketika berada pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma.Di bawah Sultan Agung kerajaan ini menjadi satu negara terkuat di Jawa. Wilayahnya meliputi sebagian besar Pulau Jawa, kecuali Cirebon dan Banten, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di luar pulau Mataram menguasai Madura, dan Sukadana di Kalimantan Barat serta Palembang dan Jambi di Sumatra.Kesultanan ini terdiri dari beberapa wilayah inti mulai dari kutagara, negaragung, mancanegara, pesisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda ditandai dengan kedua pihak saling mengirim duta besar.Hanyakrakusuma di bawah kepemimpinannya tidak mengizinkan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang mendirikan loji-loji dagang di pantai utara karana jika dibiarkan akan membuat ekonomi di pantai utara akan dikuasai.Namun Kesultanan Mataram akhirnya bisa dikuasai oleh Belanda, dengan status kerajaan atau kesultanan dengan nama zelfbestuurende lanschappe. Hal ini terjadi setelah Perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta.Perjanjian Giyanti yang ditandatangani dan diratifikasi pada 13 Februari 1755 di Giyanti ini secara de jure menandai berakhirnya Mataram. Perjanjian ini membagi kerajaan itu menjadi dua yaitu wilayah yaitu Kasunanan Surakarta di bawah Pakubuwana III dan dan Kasultanan Yogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono IPerjanjian Giyanti dianggap menjadi akar dari konflik Kerajaan Mataram. Perjanjian yang ditandatangani oleh Mangkubumi, Pakubuwono III dan VOC di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah, selain mengakibatkan Kerajaan Mataram berakhir juga meluasnya kekuasaan Belanda di tanah Jawa melalui VOC.

Konflik Keluarga

Runtuhnya Mataram bermula dari konflik perpecahan antar-anggota atau pewaris kekuasaan keluarga Kasunanan Surakarta. Ketiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini ialah Susuhunan Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa."Konflik bermula setelah Keraton Kartasura hancur karena pemberontakan oleh Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 30 Juni 1742, pada masa pemerintahan Pakubuwono (PB) III," demikian dikutip dari sumber di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).PB III dan Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Amangkurat IV sedangkan Raden Mas Said adalah salah satu cucu raja itu. Konflik tidak berkesudahan antar ketiganya terjadi pada 1746 hingga akhirnya terbentuklah Perjanjian Giyanti, yang menandai berhentinya perlawanan Mangkubumi.Perjanjian Giyanti memberi keuntungan VOC. Perusahaan dagang ini berhasil masuk dalam urusan internal keluarga trah Kesultanan Mataram serta mengambil keuntungan dari pertikaian tersebut, sesuai prinsip pecah belah adu domba (devide et impera) dengan cara menghasut supaya saling curiga hingga terjadi perang saudara.

Namun setelah Perjanjian Giyanti konflik masih belum mereda. Raden Mas Said melakukan perlawanan. Dengan kemampuan yang kuat ia menuntut pembagian wilayah Mataram menjadi tiga, sehingga ditandatanganilah Perjanjian Salatiga. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Perjanjian Salatiga : Pengertian, Isi, Sejarah, Latar Belakang, Dampak & Gambarnya – DosenPendidikan.Com – Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai Apa isi perjanjian salatiga, yang dimana dalam hal ini mengetahui sejarah, latar belakang, isi dan dampaknya, nah untuk lebih dapat memahami dan mengerti simak ulasan selengkapnya dibawah ini.

Pengertian Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang membagi Surakarta menjadi dua bagian yaitu Kasunanan serta Mengkunegaran. Perjanjjian ini berlangsung terhadap tahun 1755 M. Perjanjian Salatiga ialah perjanjian bersejarah yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.

Perjanjian ini ialah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Dengan berat hati Hamengku Buwono I serta Paku Buwono III melepaskan sebagian wilayahnya buat Raden Mas Said “Pengeran Sambernyawa”, Ngawen di wilayah Yogyakarta serta beberapa Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian Salatiga ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Paku Buwono III, VOC, serta Sultan Hamengku Buwono I di gedung VOC yang kini dipakai sebagai kantor Walikota Salatiga. Dalam hal ini perjanjian Salatiga ini menghasilkan sesuatu kesepakatan jikalau berlangsung pembagian wilayah mataram menjadi 2 yakni Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I serta Surakarta yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwono III yang merupakan akhir dari serangkaian konflik di kesultanan Mataram, tapi yang berlangsung Pangeran Sambernyawa tetap melancarkan perlawanan serta menuntut wilayah Mataram dibagi menjadi 3, akhirnya timbullah perjanjian Salatiga.

Baca Juga : Perjanjian Versailles : Pengertian, Sejarah, Latar Belakang, Isi Dan Dampak

Sejarah Dan Latar Belakang Perjanjian Salatiga

Ketika Pangeran Mangkubumi memilih jalan perundingan damai dengan imbalan memperoleh separuh area kekuasaan Mataram dengan memakaikan Perjanjian Giyanti serta menjadi Sultan Hamengkubuwono I, Pangeran Sambernyawa “Raden Mas Said” tetap tak terima serta terus melancarkan perlawanan.

Dengan keberhasilan VOC bikin Pangeran Mangkubumi kedalam sekutunya tersebutkan perlawanan Pangeran Sambernya menjadi lebih susah pasal sesegera mungkin melawan Pangeran Mangkubumi, Sunan Paku Buwono III serta VOC dan merupakan juga. Namun Pangeran Sambernya tetap tak mau menyerah kepada mereka, ketika VOC memberi pilihan Pangeran Sambernyawa buat menyerah kepada salah satu dari dua penguasa “Surakarta, Yogyakarta” Pengeran Sambernyawa itu malah berikan tekanan kepada ketiganya supaya area bekas kekuasaan Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.

Keinginan VOC ialah supaya kondisi kembali damai agar bisnis VOC tetap berjalan lancar serta keberadaannya di tanah Jawa tetap aman, sedangkan peperangan tak juga menghasilkan pemenang diantara kubu yang berseteru. Gabungan kekuatan dari 3 kubu nyatanya masih belum juga dapat mengalahkan Pangeran Sambernyawa meskipun keadaan serupa juga berlaku bagi Pangeran Sambernyawa yang maish belum bisa mengalahkan ketiganya bersamaan.

Baca Juga : Perjanjian Bongaya : Pengertian, Latar Belakang, Sejarah Dan Isi Perjanjian

Maka karena itulah dibuat Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga, ini merupakan solusi dari keadaan perebutan kekuasaan untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Akhirnya denga terpaksa Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III merelakan beberapa wilayah kekuasaannya untuk diberikan kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah yang diberikan meliputi Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi daerah kekuasaan Pangeran Sambernya.

Perjanjian Salatiga Membagi Mataram Menjadi 3

Dengan keberhasilan VOC menarik Pangeran Mangkubumi kedalam kubunya maka perlawanan Pangeran Sambernyawamenjadi menghadapi Pangeran Mangkubumi,Sunan Paku Buwono III dan VOC.Pangeran Sambernyawa tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya atau semuanya.Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) Pangeran Sambernyawa bahkan memberi tekanan kepada ketiganya supaya Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.

VOC ingin keluar dari kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa sedang sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama.

Baca Juga : Perjanjian Tuntang : Pengertian, Sejarah, Latar Belakang, Isi Dan Dampak

Pihak Yang Terlibat Dalam Perjanjian Salatiga

Adapun pihak yang terlibat dalam menandatangani perjanjian ini diantaranya yaitu:

  • Pangeran Sambernyawa.
  • Kasunanan Surakarta.
  • Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja.
  • VOC.

Isi Perjanjian Salatiga

Perjanjian ini membuat Pangeran Sambernyawa mendapatkan separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup beberapa daerah yang sekarang termasuk dalam Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, eksklave di wilayah Yogyakarta i Ngawen dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran menggunakan gelar Mangkunegara I. Namun penguasa dari wilayah Mangkunegaran tidak berhak mendapat gelar Sunan atau Sultan dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati.

Baca Juga : Perjanjian Saragosa : Pengertian, Sejarah, Latar Belakang, Tujuan, Isi Dan Dampak

Dampak Perjanjian Salatiga

Kini sehabis wafatnya Pakubuwono III serta digantikan oleh Pakubuwono IV terhadap tahun 1788, politik yang agresif  kembali timbul lagi. Pakubuwono membagikan nama kepada saudaranya yakni Arya Mataram dengan nama Pangeran Mangkubumi. Perihal ini memicu protes dari Sultan Hamengkubuwono I yang merasa nama tersebut merupakan nama miliknya sampai ia mati. Gangguan ini setelah itu disiarkan kepada pihak Pemerintah Belanda tapi nyatanya tak membuahkan hasil.

Strategi politik Pakubuwono setelah itu dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yakni menolak hak suksesi Putera Mahkota Kesultanan Yogyakarta, kondisi politik akhirnya memanas kembali sehabis Mangkunegara I menagih janji kepada pemerintah Hindia Belanda terhubung janji bila Pangeran Mangkubumi yang menjadi Hamengkubuwono I wafat tersebutkan Mangkunegara I berhak menempati posisi Kesultanan Yogyakarta. Setelah itu pecahlah pertempuran dampak tak diberikannya tuntutan tersebut Pertempuran terjadi di Gunung Kidul.

Latar Belakang Perpecahan di Bumi Mataram

Bukan hal ihwal yang aneh lagi ketika sebuah kerajaan mengalami berbagai masalah terutama kaitannya dengan perebutan kekuasaan. Semenjak masa pemerintahan Amangkurat I di Plered, Mataram sudah mengalami pergolakan yang panjang. Tidak berbeda dengan keadaan di Mataram ketika dipindahkan ke Kartasuro dan diperintah oleh Amangkurat II. Begitu pula saat terjadi dua raja di tubuh Mataram, yaitu Amangkurat III dan Pakubuwono I. Hal tersebut semakin memanas ketika VOC ikut andil di dalam perpecahan Mataram.

Selama perpecahan Amangkurat III dan Pakubuwono I terjadi 3 kali perang besar, yang dinamakan Perang Suksesi Jawa. Perang Suksesi Jawa I di tahun 1704-1708. Perang Suksesi Jawa II di tahun 1719-1723. Perang Suksesi Jawa III berlangsung selama 3 tahun dan menggunakan taktik gerilya.

Di tahun 1755 terjadi sebuah kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini awalnya merupakan sebuah perundingan pribadi dari Sunan Mangkubumi dan Hartingh (wakil VOC), yang mana Mangkubumi menginginkan Mataram terbagi menjadi 2. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya perjanjian tersebut disepakati oleh VOC, Mangkubumi dan Pakubuwono III. Dengan hasil bahwa Mataram terbagi menjadi 2 wilayah politik yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan pemimpin Mangkubumi yang bergelar Hamengkubuwono I, dan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Dengan perjanjian itu pula terlihat bahwa 2 kerajaan bersekutu dengan VOC.

Peristiwa Perjanjian Salatiga

Awal dari terjadinya perjanjian Salatiga adalah ketika terjalinnya hubungan keluarga kembali dari Sunan Pakubuwono III dan Raden Mas Said yang merupakan saudara sepupu. Pihak kompeni pun sebenarnya ikut andil dalam mengusulkan hal tersebut kepada PB III, karena mereka sudah kewalahan dalam menghadapi pemberontakan yang dilakukan R.M Said. Setelah R.M Said berhasil dibujuk untuk tinggal di Surakarta, Hartingh pun mengundang PB III dan R.M Said untuk mengadakan perundingan di Salatiga.

Perundingan ini dilakukan di kota Salatiga, pada tanggal 16-17 maret 1757. Di hari pertama, tidak ditemukan kesepakatan antara mereka. Dalam sumber Babad Tutur dikatakan bahwa di hari pertama ini, R.M Said hanya meminta daerah nya sendiri yang pernah diberikan oleh PB III yaitu Laroh, Matesih, Gunung Kidul, Kaduwang, dan Tanah di Sukowati. Namun ternyata Hartingh tidak setuju jika daerah Sukowati sebelah barat diambil juga oleh R.M Said. Selain itu, dalam perundingan Hartingh banyak memuji HB I dan menyindir R.M Said, ia pun tersulut emosinya.

Karena kondisi sudah tidak aman, Sunan mengajak R.M Said untuk meninggalkan pertemuan. Namun, dalam sumber catatan laporan dari Hartingh, dikatakan bahwa di hari pertama ini R.M said tidak menyampaikan tuntutan, ia terlihat sangat gelisah sehingga harus meminum satu gelas air. Hingga pada malam harinya, Sunan membujuk R.M Said untuk menyampaikan tuntutannya. Akan tetapi pada hari berikutnya pun ia tidak juga mau mengajukan tuntutan, kecuali jika PB memintanya.

Pada 17 maret 1757 M, disepakatilah perjanjian penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said. Isi perjanjian tersebut adalah : (1) R.M Said diangkat menjadi Pangeran Miji (Pangeran istimewa), yang mana berhak menggunakan atribut raja, serta mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara. (2) ia berhak atas tanah seluas 4000 karya dengan status precario. (3) Mas Said harus tinggal di Surakarta dan pada hari pisowanan yakni senin dan kamis, ia harus hadir dan menerima perintah Sunan. Setalah perjanjian Salatiga ini, maka di Jawa Tengah terdapat 3 kekuatan politik yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegaran.

Kondisi Mataram Setelah Terjadinya Perjanjian Salatiga

Perjanjian Salatiga membuat 3 kekuatan politik yang nyata di bawah kepemimpinan Hamengkubuwono, Pakubuwono, dan Mangkunegaran. Sedangkan ada pula pihak VOC yang secara tidak langsung mempengaruhi pemerintahan di ketiga wilayah tersebut. Setelah perjanjian tersebut pun kondisi politik tidak terlalu memanas karena masing-masing sibuk dengan urusan intra kerajaannya.

Mangkunegaran

Bagi pihak Belanda, munculnya Mangkunegaran dianggap sebagai kutub kekuatan politik ketiga yang berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Sedangkan bagi Mas Said, sebenarnya hal ini merupakan kegagalan dirinya yang memiliki cita-cita menjadi Raja yang menguasai seluruh tanah jawa. Namun akhirnya ia berpikiran bahwa Perjanjian Salatiga ini akan menjadi tonggak nya dalam membangun kembali Mataram seperti trahnya kembali. Sedangkan bagi Susuhunan dan Kasultanan hal tersebut tidak masalah karena bagaimanapun mangkunegaran merupakan bagian dari keluarga, dan toh statusnya masih di bawah Kasunanan.

Sunan Pakubuwono III

Setelah Sunan Pakubuwono III wafat pada tahun 1788, beliau digantikan oleh Sunan PB IV yang piawai dalam berpolitik. Ia memberikan gelar Pangeran Mangkubumi kepada saudaranya. Hal ini membuat Sultan Hamengkubuwono kebakaran jenggot karena merasa gelarnya dahulu tersebut berlaku selama hidupnya. Namun Sunan tetap pada pendiriannya, hal ini sempat menimbulkan ketegangan kembali, ditambah dengan tuntutan Mangkunegara I kepada yang menagih janji kepada VOC yang menjanjikan bahwa jika Pangeran Mangkubumi wafat maka Mangkunegara I berhak menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta.

Tuntutan Mangkunegara

Pertikaian tersebut berhasil tidak menimbulkan peperangan. Tuntutan Mangkunegara akhirnya digantikan dengan 4000 real upeti yang diberikan VOC kepada Mangkunegaran agar tidak terjadi pemberontakan kembali, karena diketahui bahwa Mangkunegaran mempunyai pasukan kaveleri dan artileri yang handal. Babak selanjutnya dalam politik Mataram kemudian dilanjutkan oleh pewaris kedua dari masing-masing kerajaan.

Demikianlah pembahasan mengenai Perjanjian Salatiga : Pengertian, Isi, Sejarah, Latar Belakang, Dampak & Gambarnya semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua,, terima kasih banyak atas kunjungannya.

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Butuhkan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA