Apa hukumnya jika membatalkan perjanjian sepihak, jelaskan disertai dengan dasar hukumnya!

Sumber Foto: blog.ipleaders.in

Pertanyaan:

Pengasuh Rubrik Tanya Jawab yang saya hormati. Saat ini saya sedang terlibat kerjasama bisnis dengan seorang teman. Tanpa diduga sebelumnya perjanijan kerjasama tersebut dibatalkan secara sepihak, sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi saya. Setelah membaca tulisan-tulisan hukum di media internet dan mempertimbangkan untung rugi kedepan, saya berencana akan mengajukan gugatan ke teman tersebut.  Pertanyaan saya, termasuk kategori apakah gugatan yang akan saya ajukan, Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum?

Jawaban:

Penandatangan perjanjian diantara pihak yang membuatnya tentu saja patut diduga berlandaskan itikad baik dengan tujuan memberikan keuntungan dan hal positif lainnya. Namun dalam praktik, terjadinya pemutusan perjanjian oleh salah satu pihak tetap saja di mungkinkan terjadi. Pemutusan perjanjian secara sepihak tentu memberikan kerugian bagi pihak lain yang terlibat dalam perjanjian itu.

Bila para pihak telah mencoba menyelesaikan secara baik-baik melalui penyelesaian di luar pengadilan dan tetap saja tidak tercapai kesepakatan, pengajuan gugatan ke pengadilan dapat menjadi pilihan. Lalu termasuk kategori apakah gugatan atas pemutusan perjanjian secara sepihak? Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum?.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2018 yang di terbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, gugatan yang diajukan terhadap pihak yang telah membatalkan perjanjian secara sepihak di kategorikan sebagai Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

Mahkamah Agung berpendapat dalam putusan nomor 1051 K/Pdt/2014 tanggal 12 November 2014: “  Bahwa perbuatan Tergugat/ Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/ Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepekatan kedua belah pihak”.

Pada putusan Peninjauan Kembali nomor 580 PK/Pdt/2015, Mahkamah Agung menegaskan dalam pertimbangannya: “ Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Tergugat.

Kembali Mahkamah Agung mempertegas sikap hukum nya dalam putusan nomor 28 K/Pdt/2016 tanggal 17 November 2016, dengan berpendapat “ Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum”.

Mendasarkan sikap hukum Mahkamah Agung yang telah konsisten tersebut, maka kami berpendapat gugatan yang diajukan terhadap pihak yang telah membatalkan perjanjian secara sepihak adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.

Demikian jawaban yang kami berikan, semoga bermanfaat.

Irawan Harahap

Founder & Owner www.yuridis.id

Founder & Owner Harahap Legal Training

Advokat – Konsultan HKI – Mediator Bersertifikat – Auditor Hukum

WA (only): 081266753056

Gerry Weydekamp


Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pembatalan perjanjian secara sepihak dalam suatu perjanjian dan apa akibat-akibat jika kita membatalkan perjanjian secara sepihak dalam suatu perjanjian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dapat disimpulkan, bahwa:  1. Dalam suatu perjanjian kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus di laksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan dulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan di perkenankan oleh hukum untuk di sepakati oleh para pihak. 2. Syarat batal suatu perjanjiandiatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang menyebutkan syarat agar suatuperjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak adalah perjanjian harustimbal balik, terdapat wanprestasi, dan pembatalannya harus dimintakankepada hakim. jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarattersebut, maka dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebutmelanggar undang-undang, yakni pasal 1266 KUH Perdata tadi. Selain itu,pendapatpertimbangan lain dapatdilihat dari alasan pembatalan perjanjian, jika pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan posisidominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan, maka hal tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan dari pihak lawan di luar dari pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi, namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam perjanjian.

Kata kunci: Pembatalan perjanjian, sepihak


Pada dasarnya Perjanjian dapat dibatalkan sepihak namun harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 1266 KUHPerdata yang intinya menyatakan perjanjian antar pihak harus memuat klausul “apabila salah satu pihak/pihak tertentu lalai melakukan kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam perjanjian, maka perjanjian dapat dibatalkan”. Namun keadaan tersebut juga harus tetap meminta penetapan pada pengadilan dan secara nyata ada salah satu pihak yang wanprestasi (ingkar janji).

Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menyatakan ” Suatu Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Lantas bagaimana jika salah satu pihak membatalkan perjanjian tanpa ada memenuhi syarat yang ditentukan?

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/Yur/Pdt/2018, menyatakan:

“Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum”.

Atas perbuatan melawan hukum tersebut, seseorang dapat mengajukan Gugatan perbuatan melawan hukum untuk meminta ganti rugi atas tindakan salah satu pihak yang membatalkan perjanjian secara sepihak.

Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUHperdata yang menyatakan:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Dari ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan jika permintaan ganti rugi atas pembatalan perjanjian secara sepihak harus memenuhi adanya pelanggaran hukum  dan kerugian yang nyata.

Apabila masih ada yang ingin ditanyakan atau dikonsultasikan lebih lanjut dan/atau Pendampingan Hukum, silahkan hubungi ke 0811-9351-804 atau klik kontak kami dibawah ini.

Kami asumsikan bahwa perjanjian terbaru yang diajukan oleh pihak B belum dibuat maupun dilaksanakan, sehingga pada uraian di bawah ini, kami sekadar menerangkan aspek hukum pembatalan perjanjian yang berlaku di antara para pihak secara sepihak oleh pihak B.

Keabsahan Perjanjian Lisan

Berdasarkan keterangan Anda, akan ada perjanjian tidak tertulis yang berlaku selama 2 bulan dan ada perjanjian terdahulu yang tidak diketahui apakah ditandatangani atau tidak oleh pihak B yang (semestinya) masih berjalan selama 2 tahun.

Namun karena perjanjian terdahulu itu telah berlaku dan dilaksanakan, maka kami asumsikan perjanjian terdahulu itu setidak-tidaknya disepakati secara lisan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  3. suatu pokok persoalan tertentu;

  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Oleh karena syarat sahnya perjanjian tidak mencakup keharusan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis, maka suatu perjanjian meskipun dibuat secara lisan, perjanjian itu tetap sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata.

Mengenai keabsahan dan pembuktian perjanjian lisan dapat disimak lebih lanjut dalam artikel Tentang Pembuktian Perjanjian Tidak Tertulis.

Pembatalan Perjanjian Lisan Sepihak

Syarat batal sendiri diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata, yang berbunyi:

Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.

Sehingga, pada dasarnya, pembatalan perjanjian, baik perjanjian tertulis maupun lisan, harus dimintakan ke pengadilan.

Namun, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata dapat dikesampingkan melalui kesepakatan para pihak sebagaimana diterangkan dalam Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPer dalam Perjanjian, sehingga tidak semua pembatalan perjanjian harus lewat pengadilan.

Kemudian, patut diperhatikan pula ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, yang menyatakan:

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Berdasarkan artikel Hukumnya Pembatalan Perjanjian Sepihak oleh Klien Wedding Organizer, apabila merujuk pada Pasal 1267 KUH Perdata di atas, maka Anda dapat melakukan tindakan berupa:

  1. Memaksa pihak B untuk memenuhi persetujuan yang ada, seperti tetap memenuhi perjanjian atau melakukan seluruh pembayaran sesuai perjanjian; atau

  2. Anda dapat melakukan pembatalan dan meminta ganti kerugian dan bahkan bunga atas seluruh kerugian yang Anda alami atas tidak dilaksanakannya perjanjian.

Maka, pembatalan perjanjian secara sepihak tidak diperkenankan dan Anda pun dapat meminta ganti kerugian atas pembatalan sepihak oleh pihak B tersebut.

Penipuan

Berdasarkan keterangan Anda, ada dugaan perbuatan penipuan yang dilakukan pihak B untuk membatalkan perjanjian dan membuat perjanjian baru atas dasar wabah COVID-19 dan keadaan perusahaan yang tidak sehat.

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan penipu itu pekerjaannya (hal. 261):

  1. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;

  2. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

  3. Membujuknya itu dengan memakai:

Nama yang digunakan bukanlah namanya sendiri, sebagai contoh nama ‘saimin’ dikatakan ‘zaimin’, tidak dapat dikatakan menyebut nama palsu, akan tetapi jika ditulis, maka dianggap sebagai menyebut nama palsu.

Misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, pengantar surat pos, dan sebagainya yang sebenarnya ia bukan pejabat itu.

  1. Akal cerdik (tipu muslihat); atau

Suatu tipu yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu.

  1. Karangan perkataan bohong;

Satu kata bohong tidaklah cukup, harus terdapat banyak kata-kata bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.

Maka, sepanjang memenuhi unsur perbuatan di atas, perbuatan pihak B termasuk ke dalam tindak pidana penipuan.

Perbuatan Melawan Hukum

Kami berpendapat bahwa pembatalan secara sepihak juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Hal ini sejalan dengan artikel Perbuatan Melawan Hukum yang menyebutkan, jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan, sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum.

Anda yang merasa dirugikan akibat pembatalan ini, bisa mengajukan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum berupa pembatalan perjanjian secara sepihak tersebut.

Dasar tuntutan ganti kerugian itu diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu:

Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Dalam Mahkamah Agung Nomor 1051 K/PDT/2014, Mahkamah Agung berpendapat pada pertimbangannya bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak (hal. 17).

Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

  2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Putusan:

Mahkamah Agung Nomor 1051 K/PDT/2014

Referensi:

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA