Apa hukum bila suami memaksa istri berhubungan?

Selasa, 15 Juni 2021 - 16:57 WIB

VIVA – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) memberikan perluasan definisi perkosaan, termasuk dalam hal perkosaan suami terhadap istrinya atau yang dikenal marital rape.

Sejatinya, ketentuan mengenai marital rape tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), walaupun memang tidak secara eksplisit menyebut siapa pelaku dan korbannya, karena Pasal 8 huruf a hanya menyebut dengan “Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga'”

Ketentuan soal kekerasan seksual ini kemudian diatur lagi dalam pasal 46
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. 

Kemudian di pasal 53
“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan”

Namun dalam RUU KUHP pasal 479, tindak perkosaan suami kepada istri dipertegas kembali, bahkan secara konkret menjelaskan siapa pelaku dan korban tindak pidana perkosaan. 

(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan Anak; atau
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya

Jakarta - Hakim yustisial Mahkamah Agung (MA) Andi Akram menyatakan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) membuka peluang suami dipidana karena memaksa istri bercinta. Aturan ini bersinggungan dengan keyakinan beragama yang hidup di Indonesia, termasuk Islam.

"Tidak ada aturan tegas dalam Alquran apakah istri dapat dipidana jika menolak ajakan suami berhubungan badan," kata pengamat hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr Nurul Irfan, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (29/8/2012).

Menurut Irfan, dalam Alquran hanya ada satu ayat yang berbicara masalah hubungan suami istri di ranjang. yaitu 'Istrimu adalah (seperti) tanah (sawah dan ladang), tempat kamu bercocok tanam (tempat kamu menabur bibit anak), maka datangilah (campuran) tanah tempat bercocok tanamanmu (istrimu ), bagaimana saja kamu hendaki'.

"Kalimat terakhir bisa multitafsir. Ini yang menjadi perdebatan. Bagaimana jika istri menolak ajakan suami, lalu suami memaksa, tidak diatur," ujar Dosen Fakultas Syariah dan Hukum ini.

Nurul membenarkan jika terdapat hadis yang berbunyi 'Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk tidur bersama kemudian ia tidak mau memenuhinya lantas suaminya marah terhadap istrinya pada malam itu, maka istrinya akan mendapat kutukan malaikat sampai pagi hari'. Namun hadis ini tidak sahih, masih diragukan kebenarannya.

"Hadis di atas tidak sampai tingkatan sahih," ujar lrfan.

Meski Islam tidak berbicara secara khusus tata cara hubungan seks suami istri, tetapi secara umum Islam berbicara banyak tentang hubungan sosial antar suami istri. Dalam Islam, relasi keduanya lebih dominan suami. "Dalam Islam, ketaatan istri terhadap suami sagat mutlak," terang Irfan.

Seiring perkembangan zaman, hubungan suami istri terus mengalami perubahan. Dalam satu dasawarsa terakhir, Islam di Indonesia terpengaruh pemikiran pengarusutamaan gender. Sehingga memicu perubahan pola pikir, sosial hingga peraturan perundang-undangan.

"Peluang suami dipidana karena memperkosa istrinya sedikit banyak dipengaruhi pemikiran feminisme barat, pengarusutamaan gender dan sebagainya," ujar Irfan yang menjadi saksi ahli kasus Machica Mochtar di Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Seperti diketahui, Andi Akram dalam disertasi doktor yang diuji di UIN Sunan Gunung Jati, Bandung, menyatakan UU PKDRT membuka peluang suami dimejahijaukan karena memaksa istri berhubungan badan.

"Berpegangan dengan ketentuan itu, seorang istri bisa saja menolak setiap ajakan suami untuk berhubungan dengan alasan macam-macam atau tidak sesuai hukum agama. Jika suami memaksa istri dan istri tak berkenan, maka seorang istri berdasarkan UU ini bisa mengajukan suaminya ke meja hijau," terang Andi.

(asp/vta)

Gugatan cerai bisa dipilih sebagai langkah non pidana. UU tentang KDRT dan Pemerkosaan bisa digunakan sebagai langkah pidana. Tentunya, korban harus berani dan jangan diam.

Kolase foto Istri Siri Ayah Taqy Malik. Foto: Instagram.com/fatihmalik_, istimewa

Marlina Octoria Kawuwung, dan suaminya Mansyardin Malik yang merupakan ayah Taqy Malik tiba-tiba menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Hal itu lantaran Marlina mengungkapkan kepada publik bahwa suaminya memaksa dia untuk berhubungan intim dengan cara kurang wajar, yakni memaksanya untuk tetap berhubungan meski sedang haid serta memaksanya berhubungan badan melalui anal.

Kasus seperti itu sebenarnya seringkali terjadi, yang dialami Marlina dan Mansyardin hanya satu yang tersorot oleh media. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perempuan jika pasangannya memaksa untuk melakukan hubungan intim dengan cara-cara yang dianggap menyimpang?

Dosen Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan bahwa sangat mungkin korban, dalam konteks ini pihak perempuan, mengambil tindakan hukum. Jika kasus tersebut terjadi di antara suami istri yang sah baik secara agama maupun hukum negara, korban bisa menuntut pasangannya dengan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Dalam UU tersebut, diatur tentang kekerasan seksual terhadap pasangan, yakni antara suami dan istri. Kekerasan seksual dalam UU ini dapat diartikan sebagai hubungan atau penetrasi yang tidak diinginkan, baik secara vaginal, anal, maupun oral, atau ketika istri sedang berhalangan seperti haid.

Namun jika pihak korban enggan melaporkan kasus tersebut sebagai tindak pidana, istri bisa memilih jalan lain yakni dengan mengajukan gugatan cerai.

“Antara dua langkah itu yang bisa dilakukan,” kata Yiyik, sapaan Sri Wiyanti, Selasa (14/9).

Namun pengambilan proses hukum akan berbeda jika pasangan tersebut tidak terikat dalam pernikahan yang sah sesuai hukum negara. Pasalnya, UU PKDRT merujuk pada UU Perkawinan yang mengatur tentang hubungan suami istri yang tercatat oleh negara. Sementara nikah siri, meskipun sah menurut hukum agama namun tak tercatat dalam hukum negara.

Karena itu, UU PKDRT sulit jika digunakan untuk menuntut pasangan atas kasus tersebut. Namun, pihak korban bisa mengambil langkah hukum menggunakan UU lain, yakni Pasal 285 KUHP tentang Tindak Pidana Perkosaan. Namun, istilah perkosaan dalam pasal ini menurut Yiyik merujuk pada kekerasan seksual dimana telah terjadi penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan perempuan.

Jika kasusnya adalah pemaksaan hubungan seksual melalui anal, maka korban bisa melaporkan pelaku dengan pasal pencabulan. Kedua pasal ini menurut Yiyik juga bisa digunakan jika kasus itu terjadi di antara pasangan yang belum menikah atau masih pacaran.

“Jadi kalau konteksnya adalah masuknya penis ke dalam vagina, berarti bisa digunakan pasal 285, di luar itu masuknya ke percabulan,” ujarnya.

Delik Perkosaan dalam Rumah Tangga

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Istimewa

Konselor Hukum Rifka Annisa Woman’s Crisis Center, sebuah organsasi non-pemerintah yang aktif dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Nurul Kurniati, melihat masalah pemaksaan anal bisa masuk dalam delik perkosaan dengan kaya kunci pemaksaan persetubuhan. Sebab, anal menurutnya juga bagian dari alat kelamin.

“Kalau bicara alat kelamin, itu (anal) kan bagian dari alat kelamin juga sebenarnya. Nanti tinggal dari hasil penyidikannya seperti apa, apakah bisa mengarahkan ke percobaan perkosaan atau sudah masuk ke perkosaan,” kata Nurul Kurniati.

Sementara itu, jika umur korban ternyata masih di bawah 18 tahun, maka pelaku bisa dijerat dengan UU 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dia juga mengatakan jika kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga yang sah secara hukum negara tetap bisa dilaporkan menggunakan UU PKDRT.

Apa yang Harus Korban Lakukan Pertama?

Ilustrasi korban KDRT. Foto: Pexels

Nurul Kurniati mengatakan bahwa korban mesti berani untuk bercerita ketika dia mengalami kekerasan seksual, baik yang dia alami di luar maupun di dalam ikatan pernikahan. Sebab, banyak korban yang enggan melaporkan kasus yang dia alami karena takut atau malu sehingga dia simpan sendiri masalahnya yang akhirnya malah memperburuk kondisinya.

Namun, korban harus benar-benar selektif kepada siapa dia menceritkan kasusnya, yakni kepada orang-orang terdekat seperti keluarga atau orang yang bisa dipercaya. Namun jika enggan bercerita dengan keluarga, korban bisa langsung bercerita kepada lembaga tertentu yang fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual. Misalnya di Jogja ada Rifka Annisa, Rekso Dyah Utami, atau Unit Pelayanan Terpadi Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) yang tersedia di tiap kabupaten dan kota.

“Yang terpenting dia harus berani bicara kepada orang atau lembaga yang tepat untuk bisa mengambil langkah yang bisa dilakukan,” kata Nurul.

Dengan korban berani bercerita, maka dapat diketahui langkah apa yang mesti dilakukan setelah itu. Di Rifka Annisa misalnya, ketika korban yang mengadukan kasusnya ternyata mengalami luka fisik, maka korban harus diobati dulu dan menjalani pemeriksaan medis. Baru setelah mendapatkan penanganan medis, korban akan mendapatkan konseling.

Dari proses konseling itu nanti akan diketahui apa yang dibutuhkan korban, jika dia ingin menempuh proses hukum maka akan diasesmen terkait saksi dan alat bukti yang dimiliki. Korban juga akan diberi informasi sebanyak-banyaknya tentang semua kemungkinan jika dia memilih untuk menempuh jalur hukum.

“Supaya dia bisa memahami bahwa proses hukum tidak bisa cepat, butuh waktu, dan banyak yang perlu disiapkan,” ujarnya.

Jangan sampai ketika proses hukum sudah berjalan, namun di tengah jalan korban merasa tertekan dan tidak nyaman sehingga mencabut laporannya. Selain itu, orangtua atau keluarga juga perlu diberi tahu, terutama jika korban masih di bawah umur sehingga dia bisa mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya.

“Jangan sampai korban mengambil langkah yang tidak strategis, ketika mengambil proses hukum korban harus sudah siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi,” kat Nurul Kurniati.

Bolehkah suami memaksa berhubungan?

Buya Yahya menegaskan, suami sejatinya tidak boleh egois dan melakukan paksaan dalam urusan hubungan intim dengan istri.

Bolehkah istri menolak ajakan suami berhubungan intim?

Seorang istri yang menolak permintaan suami untuk berhubungan intim disebut berdosa.

Bagaimana jika suami memaksa berhubungan saat haid?

Menggauli isteri saat dia sedang haid hukumnya haram. Anda wajib untuk tidak memberinya kesempatan dari perbuatan tersebut tersebut dan mencegahnya. Jika anda rela dengan perbuatan tersebut maka anda ikut berdosa. Jika dia memaksa anda, maka tidak ada dosa bagi anda.

Berapa lama suami tidak menggauli istri?

Dikutip dari buku Fikih Keluarga Terlengkap karya Rizen Aizid, suami tidak boleh mendiamkan istri lebih dari tiga hari. Khusus untuk jima', para ulama membolehkannya sampai batas satu bulan saja. Namun dengan syarat sang istri durhaka atau melakukan kesalahan besar terhadap suaminya (nusyuz).