Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama formal di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu untuk agama klasik Indonesia.[butuh rujukan]Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang berada di dunia. Agama buddha bersumber dari India, akuratnya Nepal sejak ratus tahun ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup berpihak kepada yang benar di kawasan Asia dan telah dijadikan agama mayoritas di sebagian negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha selanjutnya juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan dijadikan salah satu agama tertua yang berada di Indonesia ketika ini.

Show

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awal mulanya adalah suatu kepercayaan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam babaknya, kebutuhan politik, dan kehendak emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, adalah semua individu, berpihak kepada yang benar pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun dapat bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak berada pendeta yang diperlukan untuk bertindak untuk perantara. Warga menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka akal yang akurat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melaksanakan pendekatan pada petuah Buddha dengan cara-cara yang selisih, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Luhur" dan "Perlintasan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Luhur melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah kehendak untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada ketika kehendak berhenti; dan Perlintasan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Perlintasan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) lebih kurang pada ratus tahun ke-5 Masehi jika diamati dari penginggalan prasasti-prasasti yang berada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada ratus tahun ke-7 hingga ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah dijadikan salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melaksanakan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang bersumber dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha adalah Kerajaan Syailendra, akuratnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa sebagian candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang selang lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang berada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak beradanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada kawasan tsb merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada kawasan Nusantara anggota Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, banyak pemeluk agama Buddha lebih susut karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di kawasan pesisir. Banyak umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia lebih susut karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-8.

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan suatu kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya bersumber dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri lebih kurang tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang selanjutnya dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an[2][3]. George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya sesuai penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes selanjutnya dimuat dalam koran bercakap Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak ketika itu kerajaan sriwijaya mulai diketahui kembali oleh warga. Hilangnya kabar tentang keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya banyak peninggalan yang dihindarkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Sebagian penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

  • Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017&1025)[4]

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan selanjutnya Dinasti Chola dijadikan berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Kesudahan suatu peristiwa dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

  • Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya[5]

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, selanjutnya muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

  • Kekalahan perang dari kerajaan lain[6]

Gagasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain untuk penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama sebagian ratus tahun.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui sesuai laporan I-Tsing. Sebelum melaksanakan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melaksanakan lawatan ke kerajaan Sriwijaya. Sesuai catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah untuk sarjana Buddha, dan dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang dikata Hinayana) dan Mahayana. Dan selanjutnya lebih lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.[7] Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, adalah Sakyakirti, nama Sakyakirti ini bersumber dari I-tsing yang berkenalan ketika singgah di sriwijaya.[8] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan berada perguruan buddhis yang memiliki hubungan berpihak kepada yang benar dengan Universitas Nalanda, India, sehingga berada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.[9] Dalam catatannya, I-tsing juga menulis berada lebih dari 1000 pendeta yang berupaya bisa buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Peta wilayah kekuasaan Majapahit sesuai Kakawin Nagarakretagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[10]

Majapahit adalah suatu kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari lebih kurang tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap untuk salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa fasilitas ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini diketahui dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini banyakan agamawi Siwa, dan sedikit yang agamawi Buddha, selang lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang dihindarkan, relief candi, dan data tekstual, contohnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Sesuai sumber tertulis, raja-raja Majapahit biasanya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap dijadikan agama formal kerajaan hingga belakang tahun 1447. Pejabat formal keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) berada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, adalah Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, selanjutnya lima pejabat Siwa di bawahnya yang dikata Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit berada dua buku yang menguraikan petuah Buddhisme Mahayana adalah Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi tentang petuah yang ditujukan kepada bhiksu yang masih ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi tentang kelompok pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Isi petuah dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa susunan yang bermacam-macam dari susunan pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya untuk "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha untuk satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang untuk susunan yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan untuk "Harihara" adalah rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular contohnya dipercakapkan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru dunia yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki jabatan tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki jabatan timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki jabatan selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki jabatan barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki jabatan utara. Oleh karena itu para bhikkhu tsb mengatakan tidak berada perbedaan selang Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna dipercakapkan bahwa tiada seorang pun, berpihak kepada yang benar pengikut Siwa maupun Buddha yang dapat mendapat kelepasan jika beliau memisahkan yang sebenarnya satu, adalah Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, selang lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang selisih sifat keagamaannya. Hal ini dapat diamati pada raja pertama Majapahit, adalah Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) untuk susunan Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura untuk Buddha; atau raja kedua Majapahit, adalah Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) untuk Wisnu dan di Sukhalila untuk Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak selisih.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan warga. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang bermodel batu megalit, yang diletakkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa belakang pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia modern

Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 beliau mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) untuk bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan petuah Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara. [11] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini selanjutnya diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai diketahui kembali.

Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap beradanya petuah penyimpangan dari petuah monoteistik Pancasila dianggap untuk pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan beradanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, adalah beradanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Beliau mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari susunan kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tsb, ketika semua berkebangsaan Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai untuk simpatisan komunis, banyak umat yang terdaftar untuk penggikut Buddhisme naik tajam, sebagian puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 berada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut lebih kurang tahun 1987, berada lebih kurang 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari banyak tsb berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan lebih kurang 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang dibangun oleh Jinarakkhita. Lebih kurang lainnya menempatkan umat Buddha hanya lebih kurang 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme ketika itu memperoleh banyak tsb karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme formal ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya untuk suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diganti dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks selang ideologi-ideologi agama Timur, budaya hukum budaya etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia sesuai data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%[12]. Sesuai data tsb, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun adalah, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi banyak penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, adalah lebih kurang 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, lebih kurang 1,8 juta orang. Banyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun berada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, banyak tsb bukanlah banyak yang sebenarnya karena pada ketika itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap untuk agama formal di Indonesia sehingga mereka disensuskan untuk penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.6%. Pada tahun 2010, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.4%.[13]

Sesuai data tsb, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak balik dengan pertumbuhan banyak penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia sangat banyak dianut oleh warga Tionghoa dan sebagian kelompok asli Indonesia, dengan persentase banyak 1% (Buddhisme saja) hingga 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. [14][15]

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan sejak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, disediakan cara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Luhur Indonesia yang bersumber dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 untuk organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang bersumber dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan untuknya.

Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di selang ratus tahun 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru diketahui secara jelas pada kira – kira ratus tahun ke 2 M, ketika petuah Mahayana dikemukakan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan petuah Mahayana di Indonesia biasanya terbagi atas dua adalah Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang berada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), adalah budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya selang lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan petuah Buddha Mahayana di Indonesia dengan memanfaatkan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga dikata Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang dikata Kasogatan. Kasogatan dibuat susunan karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha supaya dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki guna dan sejarah penting diamati dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan bersumber dari kata "sugata", salah satu gelar maha luhur Sang Buddha yang berfaedah “yang berbahagia”. Petuah agama Buddha yang berkembang pada masa itu diperoleh pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada ketika itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang dibangun pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Ketika itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Berakhir dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan suatu vihara di kawasan Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta untuk tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar menempuh agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berpandangan kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha dijadikan sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha dijadikan anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada ketika perkembangan agama Buddha yang masih pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak menempuh Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berfaedah apabila garis keturunan selisih, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan beradanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives berakhir memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia berakhir bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah dijadikan Sangha Luhur Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Luhur Indonesia dan membangun Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di nusantara

Dua teks Buddhis Jawa penting adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur

Sutra Lalitavistara banyak diketahui oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian akbar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuna, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuna, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992). [16]

Faktor-faktor susutnya umat Buddha di Indonesia

Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan banyak penduduk yang beragama Buddha di Indonesia selang lain :

  • Petuah Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita mesti melaksanakan ehipassiko, adalah datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal petuah agama Buddha karena mereka tidak kenal kapan mereka dapat mempelajarinya.
  • Banyak yang menganggap bahwa petuah agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin, dan untuknya yang menciptakan orang-orang berpikir tentang modal cukup akbar yang akan dikeluarkan.
  • Dalam agama Buddha tidak berada suatu kontrak yang mengikat seseorang untuk tetap menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis beralih agama karena mesti mengikuti agama pasangannya.
  • Banyak orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan jaminan bahwa mereka akan masuk surga.
  • Kurangnya petuah agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya yang menyebabkan mereka terpengaruh.
  • Faktor-faktor dari orang tuanya yang tidak terlalu memahami petuah agama Buddha sehingga berada orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan berada juga yang hanya berstatus agama Buddha, tetapi tidak kenal apa-apa tentang agama Buddha. Hal ini juga diakibatkan oleh Kurangnya kepercayaan akan agama Buddha.

Lihat juga

  • Candi di Indonesia
  • Buddha Vajrayana di Asia Tenggara
  • Sanghyang Adi Buddha

Referensi

  1. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB
  2. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  3. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  4. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  5. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  6. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  7. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB
  8. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  9. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  10. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359. 
  11. ^ Martin Ramstedt. Hinduism in modern Indonesia: a minority religion between local, national, and global interests. Routledge, 2004. Pages 49ff.
  12. ^ Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000, diakses 18 Maret 2011 - 22.23 WIB
  13. ^ Tabel Populasi sesuai Agama 2005, diakses 18 Maret 2011 - 22.41 WIB
  14. ^ http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17
  15. ^ http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html
  16. ^ Ishii, Kazuko (1992). "The Correlation of Verses of the 'Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya' with Vajrabodhi's 'Japa-sutra'". Lahan and Culture Studies Vol. 44. Source: [1] (accessed: Monday February 1, 2010)

Agama Buddha di Asia

 
Negara
berdaulat

  • Afganistan
  • Arab Saudi
  • Armenia1
  • Azerbaijan1
  • Bahrain
  • Bangladesh
  • Bhutan
  • Brunei
  • Filipina
  • Georgia1
  • India
  • Indonesia
  • Irak
  • Iran
  • Israel
  • Jepang
  • Kamboja
  • Kazakhstan3
  • Kirgizstan
  • Korea Selatan
  • Korea Utara
  • Kuwait
  • Laos
  • Lebanon
  • Maladewa
  • Malaysia
  • Mesir3
  • Mongolia
  • Myanmar
  • Nepal
  • Oman
  • Pakistan
  • Qatar
  • Rusia3
  • Singapura
  • Siprus1
  • Sri Lanka
  • Suriah
  • Tajikistan
  • Thailand
  • Timor Leste2
  • Republik Rakyat Tiongkok
  • Turki3
  • Turkmenistan
  • Uni Emirat Arab
  • Uzbekistan
  • Vietnam
  • Yaman
  • Yordania

 
Negara dengan
pengakuan terbatas

  • Abkhazia1
  • Republik Nagorno-Karabakh1
  • Ossetia Selatan1
  • Palestina
  • Siprus Utara1
  • Republik Tiongkok

 
Dependensi dan
wilayah lain

  • Kepulauan Cocos (Keeling)
  • Hong Kong
  • Makau
  • Pulau Natal
  • Wilayah Samudra Hindia Britania

 

1 Terkadang dibawa masuk ke Eropa, tergantung definisi perbatasan. 2 Terkadang dibawa masuk ke Oseania. 3 Negara lintas benua.


edunitas.com


Page 2

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama formal di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu untuk agama klasik Indonesia.[butuh rujukan]Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang berada di dunia. Agama buddha bersumber dari India, akuratnya Nepal sejak ratus tahun ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup berpihak kepada yang benar di kawasan Asia dan telah dijadikan agama mayoritas di sebagian negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha selanjutnya juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan dijadikan salah satu agama tertua yang berada di Indonesia ketika ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awal mulanya adalah suatu kepercayaan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam babaknya, kebutuhan politik, dan kehendak emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, adalah semua individu, berpihak kepada yang benar pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun dapat bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak berada pendeta yang diperlukan untuk bertindak untuk perantara. Warga menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka akal yang akurat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melaksanakan pendekatan pada petuah Buddha dengan cara-cara yang selisih, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Luhur" dan "Perlintasan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Luhur melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah kehendak untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada ketika kehendak berhenti; dan Perlintasan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Perlintasan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) lebih kurang pada ratus tahun ke-5 Masehi jika diamati dari penginggalan prasasti-prasasti yang berada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada ratus tahun ke-7 hingga ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah dijadikan salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melaksanakan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang bersumber dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha adalah Kerajaan Syailendra, akuratnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa sebagian candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang selang lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang berada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak beradanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada kawasan tsb merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada kawasan Nusantara anggota Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, banyak pemeluk agama Buddha lebih susut karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di kawasan pesisir. Banyak umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia lebih susut karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-8.

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan suatu kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya bersumber dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri lebih kurang tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang selanjutnya dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an[2][3]. George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya sesuai penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes selanjutnya dimuat dalam koran bercakap Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak ketika itu kerajaan sriwijaya mulai diketahui kembali oleh warga. Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya banyak peninggalan yang dihindarkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Sebagian penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

  • Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017&1025)[4]

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan selanjutnya Dinasti Chola dijadikan berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Kesudahan suatu peristiwa dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

  • Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya[5]

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, selanjutnya muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

  • Kekalahan perang dari kerajaan lain[6]

Gagasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain untuk penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama sebagian ratus tahun.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui sesuai laporan I-Tsing. Sebelum melaksanakan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melaksanakan lawatan ke kerajaan Sriwijaya. Sesuai catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah untuk sarjana Buddha, dan dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang dikata Hinayana) dan Mahayana. Dan selanjutnya lebih lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.[7] Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, adalah Sakyakirti, nama Sakyakirti ini bersumber dari I-tsing yang berkenalan ketika singgah di sriwijaya.[8] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan berada perguruan buddhis yang memiliki hubungan berpihak kepada yang benar dengan Universitas Nalanda, India, sehingga berada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.[9] Dalam catatannya, I-tsing juga menulis berada lebih dari 1000 pendeta yang berupaya bisa buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Peta wilayah kekuasaan Majapahit sesuai Kakawin Nagarakretagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[10]

Majapahit adalah suatu kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari lebih kurang tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap untuk salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa fasilitas ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini diketahui dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini banyakan agamawi Siwa, dan sedikit yang agamawi Buddha, selang lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang dihindarkan, relief candi, dan data tekstual, contohnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Sesuai sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap dijadikan agama formal kerajaan hingga belakang tahun 1447. Pejabat formal keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) berada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, adalah Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, selanjutnya lima pejabat Siwa di bawahnya yang dikata Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit berada dua buku yang menguraikan petuah Buddhisme Mahayana adalah Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai petuah yang ditujukan kepada bhiksu yang masih ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kelompok pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Isi petuah dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa susunan yang bermacam-macam dari susunan pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya untuk "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha untuk satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang untuk susunan yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan untuk "Harihara" adalah rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular contohnya dipercakapkan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru dunia yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki jabatan tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki jabatan timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki jabatan selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki jabatan barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki jabatan utara. Oleh karena itu para bhikkhu tsb mengatakan tidak berada perbedaan selang Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna dipercakapkan bahwa tiada seorang pun, berpihak kepada yang benar pengikut Siwa maupun Buddha yang dapat mendapat kelepasan jika beliau memisahkan yang sebenarnya satu, adalah Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, selang lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang selisih sifat keagamaannya. Hal ini dapat diamati pada raja pertama Majapahit, adalah Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) untuk susunan Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura untuk Buddha; atau raja kedua Majapahit, adalah Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) untuk Wisnu dan di Sukhalila untuk Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak selisih.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan warga. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang bermodel batu megalit, yang diletakkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa belakang pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia modern

Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 beliau mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) untuk bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan petuah Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara. [11] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini selanjutnya diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai diketahui kembali.

Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap beradanya petuah penyimpangan dari petuah monoteistik Pancasila dianggap untuk pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan beradanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, adalah beradanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Beliau mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari susunan kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tsb, ketika semua berkebangsaan Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai untuk simpatisan komunis, banyak umat yang terdaftar untuk penggikut Buddhisme naik tajam, sebagian puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 berada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut lebih kurang tahun 1987, berada lebih kurang 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari banyak tsb berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan lebih kurang 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang dibangun oleh Jinarakkhita. Lebih kurang lainnya menempatkan umat Buddha hanya lebih kurang 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme ketika itu memperoleh banyak tsb karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme formal ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya untuk suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diganti dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks selang ideologi-ideologi agama Timur, budaya hukum budaya etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia sesuai data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%[12]. Sesuai data tsb, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun adalah, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi banyak penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, adalah lebih kurang 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, lebih kurang 1,8 juta orang. Banyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun berada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, banyak tsb bukanlah banyak yang sebenarnya karena pada ketika itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap untuk agama formal di Indonesia sehingga mereka disensuskan untuk penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.6%. Pada tahun 2010, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.4%.[13]

Sesuai data tsb, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak balik dengan pertumbuhan banyak penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia sangat banyak dianut oleh warga Tionghoa dan sebagian kelompok asli Indonesia, dengan persentase banyak 1% (Buddhisme saja) hingga 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. [14][15]

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan sejak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, disediakan cara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Luhur Indonesia yang bersumber dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 untuk organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang bersumber dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan untuknya.

Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di selang ratus tahun 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru diketahui secara jelas pada kira – kira ratus tahun ke 2 M, ketika petuah Mahayana dikemukakan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan petuah Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua adalah Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang berada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), adalah budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya selang lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan petuah Buddha Mahayana di Indonesia dengan memanfaatkan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga dikata Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang dikata Kasogatan. Kasogatan dibuat susunan karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha supaya dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki guna dan sejarah penting diamati dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan bersumber dari kata "sugata", salah satu gelar maha luhur Sang Buddha yang berfaedah “yang berbahagia”. Petuah agama Buddha yang berkembang pada masa itu diperoleh pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada ketika itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang dibangun pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Ketika itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Berakhir dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan suatu vihara di kawasan Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta untuk tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar menempuh agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berpandangan kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha dijadikan sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha dijadikan anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada ketika perkembangan agama Buddha yang masih pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak menempuh Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berfaedah apabila garis keturunan selisih, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan beradanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives berakhir memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia berakhir bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah dijadikan Sangha Luhur Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Luhur Indonesia dan membangun Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di nusantara

Dua teks Buddhis Jawa penting adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur

Sutra Lalitavistara banyak diketahui oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian akbar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuna, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuna, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992). [16]

Faktor-faktor susutnya umat Buddha di Indonesia

Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan banyak penduduk yang beragama Buddha di Indonesia selang lain :

  • Petuah Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus melaksanakan ehipassiko, adalah datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal petuah agama Buddha karena mereka tidak kenal kapan mereka dapat mempelajarinya.
  • Banyak yang menganggap bahwa petuah agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin, dan untuknya yang menciptakan orang-orang berpikir mengenai modal cukup akbar yang akan dikeluarkan.
  • Dalam agama Buddha tidak berada suatu kontrak yang mengikat seseorang untuk tetap menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis beralih agama karena harus mengikuti agama pasangannya.
  • Banyak orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan jaminan bahwa mereka akan masuk surga.
  • Kurangnya petuah agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya yang menyebabkan mereka terpengaruh.
  • Faktor-faktor dari orang tuanya yang tidak terlalu memahami petuah agama Buddha sehingga berada orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan berada juga yang hanya berstatus agama Buddha, tetapi tidak kenal apa-apa mengenai agama Buddha. Hal ini juga diakibatkan oleh Kurangnya kepercayaan akan agama Buddha.

Lihat juga

  • Candi di Indonesia
  • Buddha Vajrayana di Asia Tenggara
  • Sanghyang Adi Buddha

Referensi

  1. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB
  2. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  3. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  4. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  5. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  6. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  7. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB
  8. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  9. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  10. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359. 
  11. ^ Martin Ramstedt. Hinduism in modern Indonesia: a minority religion between local, national, and global interests. Routledge, 2004. Pages 49ff.
  12. ^ Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000, diakses 18 Maret 2011 - 22.23 WIB
  13. ^ Tabel Populasi sesuai Agama 2005, diakses 18 Maret 2011 - 22.41 WIB
  14. ^ http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17
  15. ^ http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html
  16. ^ Ishii, Kazuko (1992). "The Correlation of Verses of the 'Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya' with Vajrabodhi's 'Japa-sutra'". Lahan and Culture Studies Vol. 44. Source: [1] (accessed: Monday February 1, 2010)

Agama Buddha di Asia

 
Negara
berdaulat

  • Afganistan
  • Arab Saudi
  • Armenia1
  • Azerbaijan1
  • Bahrain
  • Bangladesh
  • Bhutan
  • Brunei
  • Filipina
  • Georgia1
  • India
  • Indonesia
  • Irak
  • Iran
  • Israel
  • Jepang
  • Kamboja
  • Kazakhstan3
  • Kirgizstan
  • Korea Selatan
  • Korea Utara
  • Kuwait
  • Laos
  • Lebanon
  • Maladewa
  • Malaysia
  • Mesir3
  • Mongolia
  • Myanmar
  • Nepal
  • Oman
  • Pakistan
  • Qatar
  • Rusia3
  • Singapura
  • Siprus1
  • Sri Lanka
  • Suriah
  • Tajikistan
  • Thailand
  • Timor Leste2
  • Republik Rakyat Tiongkok
  • Turki3
  • Turkmenistan
  • Uni Emirat Arab
  • Uzbekistan
  • Vietnam
  • Yaman
  • Yordania

 
Negara dengan
pengakuan terbatas

  • Abkhazia1
  • Republik Nagorno-Karabakh1
  • Ossetia Selatan1
  • Palestina
  • Siprus Utara1
  • Republik Tiongkok

 
Dependensi dan
wilayah lain

  • Kepulauan Cocos (Keeling)
  • Hong Kong
  • Makau
  • Pulau Natal
  • Wilayah Samudra Hindia Britania

 

1 Terkadang dibawa masuk ke Eropa, tergantung definisi perbatasan. 2 Terkadang dibawa masuk ke Oseania. 3 Negara lintas benua.


edunitas.com


Page 3

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama formal di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu untuk agama klasik Indonesia.[butuh rujukan]Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang berada di dunia. Agama buddha bersumber dari India, akuratnya Nepal sejak ratus tahun ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup berpihak kepada yang benar di kawasan Asia dan telah dijadikan agama mayoritas di sebagian negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha selanjutnya juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan dijadikan salah satu agama tertua yang berada di Indonesia ketika ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awal mulanya adalah suatu kepercayaan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam babaknya, kebutuhan politik, dan kehendak emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, adalah semua individu, berpihak kepada yang benar pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun dapat bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak berada pendeta yang diperlukan untuk bertindak untuk perantara. Warga menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka akal yang akurat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melaksanakan pendekatan pada petuah Buddha dengan cara-cara yang selisih, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Luhur" dan "Perlintasan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Luhur melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah kehendak untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada ketika kehendak berhenti; dan Perlintasan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Perlintasan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) lebih kurang pada ratus tahun ke-5 Masehi jika diamati dari penginggalan prasasti-prasasti yang berada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada ratus tahun ke-7 hingga ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah dijadikan salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melaksanakan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang bersumber dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha adalah Kerajaan Syailendra, akuratnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa sebagian candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang selang lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang berada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak beradanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada kawasan tsb merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada kawasan Nusantara anggota Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, banyak pemeluk agama Buddha lebih susut karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di kawasan pesisir. Banyak umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia lebih susut karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-8.

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan suatu kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya bersumber dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri lebih kurang tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang selanjutnya dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an[2][3]. George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya sesuai penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes selanjutnya dimuat dalam koran bercakap Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak ketika itu kerajaan sriwijaya mulai diketahui kembali oleh warga. Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya banyak peninggalan yang dihindarkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Sebagian penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

  • Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017&1025)[4]

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan selanjutnya Dinasti Chola dijadikan berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Kesudahan suatu peristiwa dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

  • Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya[5]

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, selanjutnya muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

  • Kekalahan perang dari kerajaan lain[6]

Gagasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain untuk penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama sebagian ratus tahun.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui sesuai laporan I-Tsing. Sebelum melaksanakan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melaksanakan lawatan ke kerajaan Sriwijaya. Sesuai catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah untuk sarjana Buddha, dan dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang dikata Hinayana) dan Mahayana. Dan selanjutnya lebih lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.[7] Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, adalah Sakyakirti, nama Sakyakirti ini bersumber dari I-tsing yang berkenalan ketika singgah di sriwijaya.[8] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan berada perguruan buddhis yang memiliki hubungan berpihak kepada yang benar dengan Universitas Nalanda, India, sehingga berada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.[9] Dalam catatannya, I-tsing juga menulis berada lebih dari 1000 pendeta yang berupaya bisa buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Peta wilayah kekuasaan Majapahit sesuai Kakawin Nagarakretagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[10]

Majapahit adalah suatu kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari lebih kurang tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap untuk salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa fasilitas ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini diketahui dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini banyakan agamawi Siwa, dan sedikit yang agamawi Buddha, selang lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang dihindarkan, relief candi, dan data tekstual, contohnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Sesuai sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap dijadikan agama formal kerajaan hingga belakang tahun 1447. Pejabat formal keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) berada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, adalah Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, selanjutnya lima pejabat Siwa di bawahnya yang dikata Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit berada dua buku yang menguraikan petuah Buddhisme Mahayana adalah Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai petuah yang ditujukan kepada bhiksu yang masih ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kelompok pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Isi petuah dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa susunan yang bermacam-macam dari susunan pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya untuk "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha untuk satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang untuk susunan yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan untuk "Harihara" adalah rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular contohnya dipercakapkan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru dunia yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki jabatan tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki jabatan timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki jabatan selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki jabatan barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki jabatan utara. Oleh karena itu para bhikkhu tsb mengatakan tidak berada perbedaan selang Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna dipercakapkan bahwa tiada seorang pun, berpihak kepada yang benar pengikut Siwa maupun Buddha yang dapat mendapat kelepasan jika beliau memisahkan yang sebenarnya satu, adalah Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, selang lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang selisih sifat keagamaannya. Hal ini dapat diamati pada raja pertama Majapahit, adalah Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) untuk susunan Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura untuk Buddha; atau raja kedua Majapahit, adalah Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) untuk Wisnu dan di Sukhalila untuk Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak selisih.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan warga. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang bermodel batu megalit, yang diletakkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa belakang pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia modern

Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 beliau mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) untuk bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan petuah Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara. [11] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini selanjutnya diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai diketahui kembali.

Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap beradanya petuah penyimpangan dari petuah monoteistik Pancasila dianggap untuk pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan beradanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, adalah beradanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Beliau mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari susunan kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tsb, ketika semua berkebangsaan Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai untuk simpatisan komunis, banyak umat yang terdaftar untuk penggikut Buddhisme naik tajam, sebagian puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 berada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut lebih kurang tahun 1987, berada lebih kurang 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari banyak tsb berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan lebih kurang 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang dibangun oleh Jinarakkhita. Lebih kurang lainnya menempatkan umat Buddha hanya lebih kurang 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme ketika itu memperoleh banyak tsb karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme formal ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya untuk suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diganti dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks selang ideologi-ideologi agama Timur, budaya hukum budaya etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia sesuai data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%[12]. Sesuai data tsb, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun adalah, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi banyak penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, adalah lebih kurang 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, lebih kurang 1,8 juta orang. Banyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun berada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, banyak tsb bukanlah banyak yang sebenarnya karena pada ketika itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap untuk agama formal di Indonesia sehingga mereka disensuskan untuk penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.6%. Pada tahun 2010, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.4%.[13]

Sesuai data tsb, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak balik dengan pertumbuhan banyak penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia sangat banyak dianut oleh warga Tionghoa dan sebagian kelompok asli Indonesia, dengan persentase banyak 1% (Buddhisme saja) hingga 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. [14][15]

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan sejak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, disediakan cara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Luhur Indonesia yang bersumber dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 untuk organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang bersumber dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan untuknya.

Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di selang ratus tahun 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru diketahui secara jelas pada kira – kira ratus tahun ke 2 M, ketika petuah Mahayana dikemukakan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan petuah Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua adalah Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang berada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), adalah budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya selang lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan petuah Buddha Mahayana di Indonesia dengan memanfaatkan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga dikata Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang dikata Kasogatan. Kasogatan dibuat susunan karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha supaya dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki guna dan sejarah penting diamati dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan bersumber dari kata "sugata", salah satu gelar maha luhur Sang Buddha yang berfaedah “yang berbahagia”. Petuah agama Buddha yang berkembang pada masa itu diperoleh pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada ketika itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang dibangun pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Ketika itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Berakhir dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan suatu vihara di kawasan Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta untuk tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar menempuh agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berpandangan kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha dijadikan sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha dijadikan anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada ketika perkembangan agama Buddha yang masih pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak menempuh Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berfaedah apabila garis keturunan selisih, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan beradanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives berakhir memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia berakhir bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah dijadikan Sangha Luhur Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Luhur Indonesia dan membangun Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di nusantara

Dua teks Buddhis Jawa penting adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur

Sutra Lalitavistara banyak diketahui oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian akbar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuna, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuna, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992). [16]

Faktor-faktor susutnya umat Buddha di Indonesia

Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan banyak penduduk yang beragama Buddha di Indonesia selang lain :

  • Petuah Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus melaksanakan ehipassiko, adalah datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal petuah agama Buddha karena mereka tidak kenal kapan mereka dapat mempelajarinya.
  • Banyak yang menganggap bahwa petuah agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin, dan untuknya yang menciptakan orang-orang berpikir mengenai modal cukup akbar yang akan dikeluarkan.
  • Dalam agama Buddha tidak berada suatu kontrak yang mengikat seseorang untuk tetap menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis beralih agama karena harus mengikuti agama pasangannya.
  • Banyak orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan jaminan bahwa mereka akan masuk surga.
  • Kurangnya petuah agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya yang menyebabkan mereka terpengaruh.
  • Faktor-faktor dari orang tuanya yang tidak terlalu memahami petuah agama Buddha sehingga berada orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan berada juga yang hanya berstatus agama Buddha, tetapi tidak kenal apa-apa mengenai agama Buddha. Hal ini juga diakibatkan oleh Kurangnya kepercayaan akan agama Buddha.

Lihat juga

  • Candi di Indonesia
  • Buddha Vajrayana di Asia Tenggara
  • Sanghyang Adi Buddha

Referensi

  1. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB
  2. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  3. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  4. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  5. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  6. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  7. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB
  8. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  9. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  10. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359. 
  11. ^ Martin Ramstedt. Hinduism in modern Indonesia: a minority religion between local, national, and global interests. Routledge, 2004. Pages 49ff.
  12. ^ Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000, diakses 18 Maret 2011 - 22.23 WIB
  13. ^ Tabel Populasi sesuai Agama 2005, diakses 18 Maret 2011 - 22.41 WIB
  14. ^ http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17
  15. ^ http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html
  16. ^ Ishii, Kazuko (1992). "The Correlation of Verses of the 'Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya' with Vajrabodhi's 'Japa-sutra'". Lahan and Culture Studies Vol. 44. Source: [1] (accessed: Monday February 1, 2010)

Agama Buddha di Asia

 
Negara
berdaulat

  • Afganistan
  • Arab Saudi
  • Armenia1
  • Azerbaijan1
  • Bahrain
  • Bangladesh
  • Bhutan
  • Brunei
  • Filipina
  • Georgia1
  • India
  • Indonesia
  • Irak
  • Iran
  • Israel
  • Jepang
  • Kamboja
  • Kazakhstan3
  • Kirgizstan
  • Korea Selatan
  • Korea Utara
  • Kuwait
  • Laos
  • Lebanon
  • Maladewa
  • Malaysia
  • Mesir3
  • Mongolia
  • Myanmar
  • Nepal
  • Oman
  • Pakistan
  • Qatar
  • Rusia3
  • Singapura
  • Siprus1
  • Sri Lanka
  • Suriah
  • Tajikistan
  • Thailand
  • Timor Leste2
  • Republik Rakyat Tiongkok
  • Turki3
  • Turkmenistan
  • Uni Emirat Arab
  • Uzbekistan
  • Vietnam
  • Yaman
  • Yordania

 
Negara dengan
pengakuan terbatas

  • Abkhazia1
  • Republik Nagorno-Karabakh1
  • Ossetia Selatan1
  • Palestina
  • Siprus Utara1
  • Republik Tiongkok

 
Dependensi dan
wilayah lain

  • Kepulauan Cocos (Keeling)
  • Hong Kong
  • Makau
  • Pulau Natal
  • Wilayah Samudra Hindia Britania

 

1 Terkadang dibawa masuk ke Eropa, tergantung definisi perbatasan. 2 Terkadang dibawa masuk ke Oseania. 3 Negara lintas benua.


edunitas.com


Page 4

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama formal di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu untuk agama klasik Indonesia.[butuh rujukan]Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang berada di dunia. Agama buddha bersumber dari India, akuratnya Nepal sejak ratus tahun ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup berpihak kepada yang benar di kawasan Asia dan telah dijadikan agama mayoritas di sebagian negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha selanjutnya juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan dijadikan salah satu agama tertua yang berada di Indonesia ketika ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awal mulanya adalah suatu kepercayaan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam babaknya, kebutuhan politik, dan kehendak emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, adalah semua individu, berpihak kepada yang benar pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun dapat bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak berada pendeta yang diperlukan untuk bertindak untuk perantara. Warga menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka akal yang akurat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melaksanakan pendekatan pada petuah Buddha dengan cara-cara yang selisih, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Luhur" dan "Perlintasan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Luhur melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah kehendak untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada ketika kehendak berhenti; dan Perlintasan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Perlintasan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) lebih kurang pada ratus tahun ke-5 Masehi jika diamati dari penginggalan prasasti-prasasti yang berada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada ratus tahun ke-7 hingga ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah dijadikan salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melaksanakan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang bersumber dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha adalah Kerajaan Syailendra, akuratnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa sebagian candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang selang lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang berada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak beradanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada kawasan tsb merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada kawasan Nusantara anggota Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, banyak pemeluk agama Buddha lebih susut karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di kawasan pesisir. Banyak umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia lebih susut karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-8.

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan suatu kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya bersumber dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri lebih kurang tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang selanjutnya dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an[2][3]. George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya sesuai penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes selanjutnya dimuat dalam koran bercakap Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak ketika itu kerajaan sriwijaya mulai diketahui kembali oleh warga. Hilangnya kabar tentang keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya banyak peninggalan yang dihindarkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Sebagian penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

  • Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017&1025)[4]

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan selanjutnya Dinasti Chola dijadikan berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Kesudahan suatu peristiwa dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

  • Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya[5]

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, selanjutnya muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

  • Kekalahan perang dari kerajaan lain[6]

Gagasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya adalah perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain untuk penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama sebagian ratus tahun.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui sesuai laporan I-Tsing. Sebelum melaksanakan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melaksanakan lawatan ke kerajaan Sriwijaya. Sesuai catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah untuk sarjana Buddha, dan dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang dikata Hinayana) dan Mahayana. Dan selanjutnya lebih lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.[7] Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, adalah Sakyakirti, nama Sakyakirti ini bersumber dari I-tsing yang berkenalan ketika singgah di sriwijaya.[8] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan berada perguruan buddhis yang memiliki hubungan berpihak kepada yang benar dengan Universitas Nalanda, India, sehingga berada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.[9] Dalam catatannya, I-tsing juga menulis berada lebih dari 1000 pendeta yang berupaya bisa buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit

Aliran budha yang banyak dianut masyarakat Indonesia

Peta wilayah kekuasaan Majapahit sesuai Kakawin Nagarakretagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[10]

Majapahit adalah suatu kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari lebih kurang tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap untuk salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa fasilitas ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini diketahui dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini banyakan agamawi Siwa, dan sedikit yang agamawi Buddha, selang lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang dihindarkan, relief candi, dan data tekstual, contohnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Sesuai sumber tertulis, raja-raja Majapahit biasanya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap dijadikan agama formal kerajaan hingga belakang tahun 1447. Pejabat formal keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) berada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, adalah Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, selanjutnya lima pejabat Siwa di bawahnya yang dikata Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit berada dua buku yang menguraikan petuah Buddhisme Mahayana adalah Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi tentang petuah yang ditujukan kepada bhiksu yang masih ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi tentang kelompok pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Isi petuah dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa susunan yang bermacam-macam dari susunan pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya untuk "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha untuk satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang untuk susunan yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan untuk "Harihara" adalah rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular contohnya dipercakapkan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru dunia yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki jabatan tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki jabatan timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki jabatan selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki jabatan barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki jabatan utara. Oleh karena itu para bhikkhu tsb mengatakan tidak berada perbedaan selang Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna dipercakapkan bahwa tiada seorang pun, berpihak kepada yang benar pengikut Siwa maupun Buddha yang dapat mendapat kelepasan jika beliau memisahkan yang sebenarnya satu, adalah Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, selang lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang selisih sifat keagamaannya. Hal ini dapat diamati pada raja pertama Majapahit, adalah Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) untuk susunan Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura untuk Buddha; atau raja kedua Majapahit, adalah Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) untuk Wisnu dan di Sukhalila untuk Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak selisih.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan warga. Hal ini diperlihatkan dengan bentuk candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang bermodel batu megalit, yang diletakkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa belakang pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia modern

Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 beliau mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) untuk bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan petuah Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara. [11] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini selanjutnya diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai diketahui kembali.

Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap beradanya petuah penyimpangan dari petuah monoteistik Pancasila dianggap untuk pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan beradanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, adalah beradanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Beliau mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari susunan kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tsb, ketika semua berkebangsaan Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai untuk simpatisan komunis, banyak umat yang terdaftar untuk penggikut Buddhisme naik tajam, sebagian puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 berada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut lebih kurang tahun 1987, berada lebih kurang 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari banyak tsb berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan lebih kurang 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang dibangun oleh Jinarakkhita. Lebih kurang lainnya menempatkan umat Buddha hanya lebih kurang 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme ketika itu memperoleh banyak tsb karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme formal ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya untuk suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diganti dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks selang ideologi-ideologi agama Timur, budaya hukum budaya etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.

Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia sesuai data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%[12]. Sesuai data tsb, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun adalah, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi banyak penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, adalah lebih kurang 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, lebih kurang 1,8 juta orang. Banyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun berada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, banyak tsb bukanlah banyak yang sebenarnya karena pada ketika itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap untuk agama formal di Indonesia sehingga mereka disensuskan untuk penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.6%. Pada tahun 2010, banyak penganut agama Buddha lebih kurang 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau lebih kurang 0.4%.[13]

Sesuai data tsb, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak balik dengan pertumbuhan banyak penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia sangat banyak dianut oleh warga Tionghoa dan sebagian kelompok asli Indonesia, dengan persentase banyak 1% (Buddhisme saja) hingga 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. [14][15]

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia

Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan sejak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, disediakan cara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Luhur Indonesia yang bersumber dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 untuk organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang bersumber dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan untuknya.

Perkembangan Mahayana

Aliran Buddha Mahayana diduga datang di selang ratus tahun 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru diketahui secara jelas pada kira – kira ratus tahun ke 2 M, ketika petuah Mahayana dikemukakan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan petuah Mahayana di Indonesia biasanya terbagi atas dua adalah Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang berada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), adalah budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya selang lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan petuah Buddha Mahayana di Indonesia dengan memanfaatkan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana atau juga dikata Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang dikata Kasogatan. Kasogatan dibuat susunan karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha supaya dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki guna dan sejarah penting diamati dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan bersumber dari kata "sugata", salah satu gelar maha luhur Sang Buddha yang berfaedah “yang berbahagia”. Petuah agama Buddha yang berkembang pada masa itu diperoleh pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada ketika itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang dibangun pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Ketika itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Berakhir dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan suatu vihara di kawasan Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta untuk tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar menempuh agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berpandangan kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha dijadikan sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha dijadikan anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah dijadikan Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada

Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada ketika perkembangan agama Buddha yang masih pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak menempuh Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berfaedah apabila garis keturunan selisih, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan beradanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives berakhir memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia berakhir bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah dijadikan Sangha Luhur Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Luhur Indonesia dan membangun Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di nusantara

Dua teks Buddhis Jawa penting adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur

Sutra Lalitavistara banyak diketahui oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian akbar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuna, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuna, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992). [16]

Faktor-faktor susutnya umat Buddha di Indonesia

Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan banyak penduduk yang beragama Buddha di Indonesia selang lain :

  • Petuah Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita mesti melaksanakan ehipassiko, adalah datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal petuah agama Buddha karena mereka tidak kenal kapan mereka dapat mempelajarinya.
  • Banyak yang menganggap bahwa petuah agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin, dan untuknya yang menciptakan orang-orang berpikir tentang modal cukup akbar yang akan dikeluarkan.
  • Dalam agama Buddha tidak berada suatu kontrak yang mengikat seseorang untuk tetap menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis beralih agama karena mesti mengikuti agama pasangannya.
  • Banyak orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan jaminan bahwa mereka akan masuk surga.
  • Kurangnya petuah agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya yang menyebabkan mereka terpengaruh.
  • Faktor-faktor dari orang tuanya yang tidak terlalu memahami petuah agama Buddha sehingga berada orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan berada juga yang hanya berstatus agama Buddha, tetapi tidak kenal apa-apa tentang agama Buddha. Hal ini juga diakibatkan oleh Kurangnya kepercayaan akan agama Buddha.

Lihat juga

  • Candi di Indonesia
  • Buddha Vajrayana di Asia Tenggara
  • Sanghyang Adi Buddha

Referensi

  1. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB
  2. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  3. ^ a b Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5. 
  4. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  5. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  6. ^ Kerajaan Sriwijaya, diakses 8 April 2011 21.28 WIB
  7. ^ Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia, diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB
  8. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  9. ^ Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha, diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB
  10. ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs 38 (3/4): 353—359. 
  11. ^ Martin Ramstedt. Hinduism in modern Indonesia: a minority religion between local, national, and global interests. Routledge, 2004. Pages 49ff.
  12. ^ Data Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971-2000, diakses 18 Maret 2011 - 22.23 WIB
  13. ^ Tabel Populasi sesuai Agama 2005, diakses 18 Maret 2011 - 22.41 WIB
  14. ^ http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17
  15. ^ http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html
  16. ^ Ishii, Kazuko (1992). "The Correlation of Verses of the 'Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya' with Vajrabodhi's 'Japa-sutra'". Lahan and Culture Studies Vol. 44. Source: [1] (accessed: Monday February 1, 2010)

Agama Buddha di Asia

 
Negara
berdaulat

  • Afganistan
  • Arab Saudi
  • Armenia1
  • Azerbaijan1
  • Bahrain
  • Bangladesh
  • Bhutan
  • Brunei
  • Filipina
  • Georgia1
  • India
  • Indonesia
  • Irak
  • Iran
  • Israel
  • Jepang
  • Kamboja
  • Kazakhstan3
  • Kirgizstan
  • Korea Selatan
  • Korea Utara
  • Kuwait
  • Laos
  • Lebanon
  • Maladewa
  • Malaysia
  • Mesir3
  • Mongolia
  • Myanmar
  • Nepal
  • Oman
  • Pakistan
  • Qatar
  • Rusia3
  • Singapura
  • Siprus1
  • Sri Lanka
  • Suriah
  • Tajikistan
  • Thailand
  • Timor Leste2
  • Republik Rakyat Tiongkok
  • Turki3
  • Turkmenistan
  • Uni Emirat Arab
  • Uzbekistan
  • Vietnam
  • Yaman
  • Yordania

 
Negara dengan
pengakuan terbatas

  • Abkhazia1
  • Republik Nagorno-Karabakh1
  • Ossetia Selatan1
  • Palestina
  • Siprus Utara1
  • Republik Tiongkok

 
Dependensi dan
wilayah lain

  • Kepulauan Cocos (Keeling)
  • Hong Kong
  • Makau
  • Pulau Natal
  • Wilayah Samudra Hindia Britania

 

1 Terkadang dibawa masuk ke Eropa, tergantung definisi perbatasan. 2 Terkadang dibawa masuk ke Oseania. 3 Negara lintas benua.


edunitas.com