Alat yang digunakan untuk mengetahui adanya tsunami disebut

BADAN Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bangkalan kini memiliki alat pendeteksi dini untuk gempa bumi dan tsunami. Nama alatnya adalah Ina TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) Newgen.

Alat tersebut merupakan bantuan Pemerintah Pusat melalui Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) yang memiliki perangkat Warning Receiver System atau sistem penerima peringatan dini informasi gempa bumi dan tsunami.

Kepala Pelaksana BPBD Bangkalan Rizal Morris mengatakan, alat itu baru diterima sekitar enam bulan yang lalu. Menurutnya, tidak semua daerah mendapat alat canggih itu, sementara Bangkalan mendapatkan itu karena tercatat daerah yang banyak pesisir.

"Alat ini baru enam bulan kami dapat, karena Bangkalan banyak daerah pesisir dan tidak semua BPBD dapat alat ini," kata Rizal, Kamis (1/10/2020).

Rizal mengungkapkan, alat itu merupakan peringatan dini gempa bumi dan tsunami, yang terhubung langsung dengan BMKG. Kata dia setiap hitungan detik ada gempa yang terekam pasti akan muncul.

"Misal ada gempa di wilayah perairan Madura khususnya Bangkalan maka tidak sampai tiga menit setelah ada gempa kami langsung infokan ke stakeholder terutama TNI dan Polri," ujar Rizal.

Ditambahkan Rizal, alat pendeteksi dini itu akan merespon dalam hitungan detik, ketika ada gempa di daerah maupun daerah lain maka akan muncul magnitudo dan episentrum. Sehingga segala kemungkinan sudah bisa terdeteksi sejak dini.

"Jadi ini terhubung dengan BMKG pusat, di semua daerah kalau memang terjadi gempa magnitudo berapa, episentrum berapa itu muncul disini, ketika itu masuk di wilayah Bangkalan maka di perangkat ini sudah terhubung peringatan dini," pungkasnya. (eko/igo)

Buoy, alat pendeteksi datangnya gelombang tsunami. (Foto: Pixabay)

Gempa bumi berkekuatan 7,4 magnitudo yang bertitik di Kabupaten Donggala mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/9). Gempa yang menghancurkan bangunan dan infrastruktur itu juga menimbulkan gelombang tsunami yang menerjang kawasan bibir pantai kota Palu setinggi 1,5 meter sesaat setelahnya.

Sistem pendeteksi tsunami di Indonesia menjadi pertanyaan setelah berlangsungnya kejadian ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberitahukan jika gempa yang terjadi di Donggala itu berpotensi tsunami, tapi nyatanya masih banyak warga yang tidak bergegas untuk pergi ke tempat aman setelah peringatan tersebut.

Selain Indonesia, Jepang juga dikenal sebagai negara yang tergolong sering mengalami gempa dan tsunami. Oleh karena itu, Jepang telah mengembangkan teknologinya untuk menerapkan sistem yang semakin canggih untuk mendeteksi terjadinya tsunami.

Sistem pendeteksi tsunami canggih ala Jepang

Sejak tahun 2011, Jepang sudah memperbarui sistem pendeteksi tsunami miliknya. Mereka telah meningkatkan kecepatan dan presisi dalam memprediksi tsunami setelah terjadinya gempa besar.

Jepang menghabiskan dana besar dalam mengembangkan perangkat berbentuk bundar yang berfungsi untuk mengukur Broadband Strong Motion Meters, yang terpasang di 80 titik di Jepang. Perangkat ini akan mendeteksi gelombang seismik dalam cakupan yang luas yang diakibatkan gempa bumi.

Perangkat canggih lainnya yang dihadirkan Jepang untuk mendeteksi tsunami adalah memasang tiga alat di laut yang disebut sebagai DART. Alat ini dipasang di bawah laut sekitar Samudra Pasifik yang terdiri dari sensor tekanan dan dapat mengirimkan pesan ke buoy yang mengambang di permukaan terkait informasi tsunami.

Ilustrasi tsunami (Foto: Pixabay)

Sistem baru tersebut juga termasuk perluasan jaringan dari stasiun seismik di Jepang yang tersebar di berbagai wilayah Jepang. Alat pendeteksi tsunami Jepang juga sudah didukung sistem daya baterai baru yang lebih tahan lama. Ini dilakukan untuk menghindari masalah tak berfungsinya alat tersebut jika terjadi mati listrik akibat gempa.

Teknologi ini didukung operasional berskala besar untuk memastikan warga yang tinggal di area paling berisiko dapat menerima peringatan tsunami serius dalam waktu 3 menit. Pembaruan ini dilakukan Jepang sebagai pembelajaran dari sejumlah insiden tsunami yang menelan korban di Negeri Sakura.

Melihat bagaimana Jepang belajar dari insiden yang pernah dialaminya, Indonesia juga seharusnya bisa belajar dari bencana mematikan yang terjadi pada tahun 2004 silam di Aceh. Saat itu, gempa dan tsunami menyapu Aceh dan negara-negara lain di sekitar Samudra Hindia hingga menelan korban mencapai 200 ribu jiwa.

Sistem deteksi tsunami di Indonesia tidak pakai buoy

Diketahui, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan alat pendeteksi tsunami atau yang disebut buoy tsunami di Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012. Buoy tsunami ini berfungsi sebagai pendeteksi adanya kenaikan ombak di area-area yang dikenal rawan gempa dan tsunami.

Alat buoy berupa pemancar yang dipasang di tengah laut dan akan memancarkan sinyal bila terdeteksi ada gelombang tinggi. Pendanaan disebut menjadi penyebab tidak berfungsinya buoy di Indonesia sejak 2012.

Walau begitu, Kepala BMKG Dr. Dwikorita menuturkan sistem peringatan dini tsunami telah bekerja dengan sangat baik meski tanpa alat buoy. Menurutnya, buoy dapat membantu mengkonfirmasi terjadinya tsunami karena Indonesia sangat rentan dengan tsunami lokal, tetapi tidak akan menjadi komponen utama faktor penentu dari sistem peringatan.

Dwikorita Karnawati (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko)

“BMKG dalam memberikan informasi peringatan dini tsunami didukung dengan Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) dengan 170.000 skenario dan saat ini BMKG telah menggunakan TOAST sebagai bagian dari sistem peringatan dini tsunami, “ ujar Dwikorita, dalam siaran pers yang diterima kumparan.

Sistem buoy tidak terhubung secara langsung dengan sistem peringatan dini. Namun, lanjutnya, Dwikorita menjelaskan BMKG pun dapat memantau informasi ketinggian laut ini (baik dari buoy maupun dari tide gauge (alat pengukur pasang surut)).

Selain itu, terungkap pula jika Indonesia sebenarnya sedang bekerja sama dengan Yayasan Sains Nasional Amerika Serikat untuk mengembangkan sistem teknologi canggih yang terdiri dari sensor bawah laut, pengumpulan data lewat gelombang suara, serta kabel optik.

Sistem ini diyakini dapat mendeteksi tsunami lebih cepat. Namun, menurut laporan The Telegraph, proyek itu kemudian terbengkalai dan urung diselesaikan karena keterbatasan dana.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA