Aktivitas manusia yang mengganggu keseimbangan dinamis sebuah ekosistem

Ilustrasi keseimbangan lingkungan. Foto: iStock

Makhluk hidup dan lingkungannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik. Lingkungan yang mampu menjaga hubungan tersebut disebut dengan lingkungan yang seimbang.

Keseimbangan lingkungan adalah lingkungan yang bisa menjamin kelangsungan sistem ekologi. Yang dimaksud dengan sistem ekologi ialah berfungsinya perpindahan energi dan daur biogeokimia pada suatu ekosistem.

Mengutip buku Biologi Kelas X oleh Moch Anshori dan Djoko Martono, keseimbangan lingkungan dapat terjadi jika faktor biotik dalam rantai makanan, jaring-jaring makanan, dan piramida makanan berada dalam komposisi yang seimbang. Kondisi lingkungan seperti itu yang akan menjamin terbentuknya lingkungan yang sehat.

Keseimbangan lingkungan akan stabil dan terjaga jika jumlah individu produsen lebih besar daripada jumlah konsumen I. Demikian pula dengan jumlah konsumen I lebih besar daripada jumlah konsumen II, dan jumlah konsumen II harus lebih besar dari jumlah konsumen III.

Misalnya, semakin banyak variasi jenis tumbuhan, maka saat satu tumbuhan berkurang masih ada jenis tumbuhan yang lain sebagai produsen yang menjadi sumber makanan bagi hewan herbivora.

Demikian pula jika hewan herbivora tertentu jumlahnya berkurang, masih ada jenis herbivora lainnya yang dapat dimakan hewan karnivora dan begitu seterusnya.

Faktor Penyebab Gangguan Keseimbangan Lingkungan

Ilustrasi keseimbangan lingkungan. Foto: iStock

Keseimbangan lingkungan dapat terwujud apabila ada keselarasan antara faktor biotik dan abiotik. Jika terjadi gangguan pada kedua faktor tersebut, keseimbangan lingkungan pun menjadi terganggu. Adapun faktor penyebab gangguan keseimbangan lingkungan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

Faktor alami seperti letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, rusaknya pantai, hilangnya terumbu karang dan tumbuhan alga, badai, hingga tsunami dapat menyebabkan perubahan keseimbangan komponen biotik dan abiotik. Berbagai fenomena alam tersebut dapat menyebabkan terputusnya rantai makanan yang menunjukkan bahwa keseimbangan lingkungan sudah terganggu.

Dibanding komponen biotik lainnya, manusia merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap sistem ekologi dan keseimbangan lingkungan di bumi ini.

Dengan kemampuannya untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, manusia mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk meningkatkan ekosistem maupun memusnahkan ekosistem tertentu.

Demi memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mampu mengubah lingkungan sesuai yang diinginkan. Misalnya dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampaknya.

Ilustrasi kebakaran hutan sebagai contoh gangguan keseimbangan lingkungan. Foto: iStock

Sebagai contoh, membakar hutan demi kepentingan pribadi. Padahal, pembabatan hutan seperti itu dapat menyebabkan dampak yang sangat luas bagi lingkungan. Mulai dari hilangnya humus tanah, ketandusan tanah, berkurangnya sumber air, hingga rusaknya tatanan ekosistem.

Rusaknya tatanan ekosistem akan mengakibatkan hewan-hewan buas bermigrasi dari hutan ke desa untuk memangsa hewan ternak bahkan manusia. Begitu pula dengan gajah, babi hutan, dan hewan herbivora lainnya tidak dapat mempertahankan hidup di hutan yang rusak lalu bermigrasi ke perkampungan penduduk.

Contoh lainnya dari aktivitas manusia yang bisa mengganggu keseimbangan lingkungan antara lain penggunaan pestisida lingkungan, pembangunan permukiman, pencemaran sampah, dan limbah industri.

PENTINGNYA KESEIMBANGAN EKOSISTEM PADA

TANAMAN PERKEBUNAN

Oleh:

Rudi Hartono 

ULPPTP Kabupaten Pasuruan

PENDAHULUAN

Fenomena alam yang berupa perubahan iklim menjadikan bebagai jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) mengalami adaptasi terhadap fenomena tersebut yang diindikasikan diantaranya: munculnya hama baru dari proses adaptasi yang pada mulanya statusnya hama sekunder menjadi hama penting, yang pada mulanya sebagai hama laten menjadi eksplosi menimbulkan kerusakan dengan eskalasi yang luas, hama-hama baru yang meruapak hasil introduksi baik itu disengaja maupun tidak harus diwaspadai, eksplosi suatu OPT juga dapat diakibatkan oleh pengaruh fenomena seperti tersebut diatas, seperti pada hama-hama pengihisap buah Helopelthis Spp, penggerek  buah Conophomorpha Spp. dan lain sebagainya.

OPT merupakan salah satu komponen ekosistem pertanian, oleh karena berpotensi tinggi sebagai hama, penyakit, atau gulma tanaman maka penting dikelola dan dikendalikan. Serangan OPT pada suatu saat dan pada suatu tempat dapat diprediksi berdasarkan pengalaman dalam waktu silam. Demikian juga kegagalan maupun keberhasilan pengendalian OPT di masa lampau menjadi pengalaman sangat berharga untuk mengelola dan mengendalikan OPT yang arif. Komoditas perkebunan dipilih sebagai fokus pembahasan pengelolaan ekosistem pertanian karena bahan baku gula sangat sensitif. Kecukupan pangan terutama gula dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian. Kekurangan gula dan pangan lainnya bisa menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional (Wagiman, 2013; BBOPT Jatisari, 2013).

 Masalah substansial OPT adalah terletak pada kepadatan populasinya yang selalu dinamis, meningkat karena faktor imigrasi dan natalitas, menurun karena faktor emigrasi, mortalitas dan pengelolaan oleh manusia. Pada saat ini tanam tebu sistem Reynoso jarang dilakukan kebanyakan tanaman tebu dilakukan dengan cara keprasan dengan mengolah bonggol tanaman tebu yang telah ditebang, Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tebu diikuti dengan pemngelolaan yang kurang bijak OPT datang berkolonisasi, makan, dan berkembangbiak. Jika OPT yang berkolonisasi itu bebas dari faktor mortalitas akan terjadi pertumbuhan populasi eksponensial sampai mencapai daya dukung akhirnya berhenti dan populasi turun drastis karena tanaman inang mati total. Bersyukur alam membantu petani sehingga fenomena pertumbuhan populasi ekspenensial ini jarang terjadi karena adanya faktor mortalitas alami (musuh alami) atara lain agens hayati yang tidak henti-hentinya bekerja sepanjang musim. Tetapi kenapa di daerah serangan kronis dan endemis OPT padi tak henti-hentinya memusingkan seperti hama uret Lepidiota stigma, Anomala Viridis, Hollotricia halleri dan ulat bulu?. Hal itu dapat kita lihat kembali dengan analisis ekosistem yang komplit akan menjawab pertanyaan ini.

Pada saat ini total luas areal tanaman  kopi  nasional mencapai 1.308.000 ha, produksi mencapai 709.000  ton (arabika 155.333 ton; Robusta 553.617 ton, data AEKI tahun2011 menunjukkan bahwa nilai ekspor mencapai US$ 1.06 (Ditjenbun 2012). Sementara itu luas areal tanaman kopi di Jember saja mencapai 5.601.24 han, dengan produksi 22.080,47 kw, dengan produktivitas 6,83 kw/ha (BPS Kabupaten jember 2011). Revitalisasi ekonomi kopi diperlukan  dengan berbagai usaha, proses, kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup perkebunan dalam kontek agribisnis kopi (Wibowo, 2013).

Teknologi budidaya yang belum sesuai anjuran juga diklaim sebagai kendala peningkatan produksi komoditas perkebunan termasuk beras. Disadari maupun tidak revolusi hijau yang berkembang pesat sejak akhir tahun 1960-an termasuk di Indonesia, mensisakan dampak negatif luar biasa pada OPT dan lingkungan. Teknologi budidaya yang kini dianjurkan adalah yang ramah lingkungan seperti pertanian organik. Teknologi budidaya yang ramah lingkungan ini mengkondisikan ekosistem yang mendukung kinerja atau peran agens hayati. Bagaimana memaksimalkan peran agens hayati di bawah kondisi ekosistem pertanian yang ada sekarang ini?. Eksplosi OPT mengindikasikan lemahnya pengendalian alami antara lain oleh agens hayati. Memaksimalkan peran agens hayati pada kondisi populasi OPT terkendali diduga kuat sebagai strategi yang tepat untuk pencegahan.

EKOSISTEM

Ekosistem adalah suatu unit fungsional yang tersusun dari komponen-komponen biotik dan nonbiotik yang saling mempengaruhi dan melibatkan berbagai sistem dalam aliran energi dan siklus materi (Begon et al., 2006). Aliran energi berlangsung dalam bentuk rantai dan jejaring makanan. Sumber energi berasal dari matahari. Energi fisik matahari ditangkap tumbuh-tumbuhan hijau melalui proses fotosintesa diubah menjadi energi biokimia, dan disimpan dalam ikatan kimia zat organik tanaman. Tanaman menjadi sumber energi bagi herbivora. Herbivora menjadi sumber energi karnivora. Selanjutnya tanaman, herbivora, dan karnivora mati menjadi sumber energi organime pengurai atau detritivora. Siklus materi terjadi melalui proses penguraian oleh makro dan mikroorganisme.

Bila ada satu atau dua jenis organisme mengalami kepunahan tidak akan ada alternatif jalur yang dapat dilalui oleh zat dan energi, sehingga bila ada perubahan lingkungan maka akan ada yang mengalami kepunahan atau bahkan ada pertumbuhan populasi (booming) yang tidak seimbang. Keseimbangan lingkungan akan stabil dan akan tetap terjaga apabila jumlah individu produsen lebih besar daripada jumlah konsumen I, demikian juga jumlah konsumen I harus lebih besar dari jumlah konsumen II, dan seterusnya jumlah konsumen II harus lebih besar dari jumlah konsumen III. Apabila faktor biotik dan abiotik mengalami perubahan maka keseimbangan lingkungan menjadi terganggu, misalnya akibat penggundulan hutan, bencana alam adan perburuan liar (Tamba, B. 2013). Ekosistem ada dua macam yaitu ekosistem alami (natural ecosystem) seperti di hutan tropis dan ekosistem buatan manusia (man made ecosystem). Ekosistem pertanian merupakan ekosistem buatan manusia dan berbeda dengan ekosistem alami (natural ecosystem). Ekosistem pertanian kurang stabil dibanding dengan ekosistem alami karena keanekaragaman hayatinya lebih rendah. Eksplosi hama seperti wereng dan tikus pada padi mengindikasikan ekosistem yang tidak stabil. Untuk mencapai produktifitas tanaman yang tinggi - khususnya tanaman pangan – dan berkelanjutan serta ramah lingkungan, dalam mengelola ekosistem pertanian diperlukan sikap yang arif dan bijaksana.

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan salah satu komponen ekosistem pertanian, oleh karena berpotensi tinggi sebagai hama, penyakit, atau gulma tanaman maka penting dikelola dan dikendalikan. Serangan OPT pada suatu saat dan pada suatu tempat dapat diprediksi berdasarkan pengalaman dalam waktu silam. Demikian juga kegagalan maupun keberhasilan pengendalian OPT di masa lampau menjadi pengalaman sangat berharga untuk mengelola dan mengendalikan OPT yang arif. Komoditas perkebunan dipilih sebagai fokus pembahasan pengelolaan ekosistem pertanian karenamempunyai nilai yang signifikan dalam mensejahterakan rakyat. Kecukupan pangan  dan komoditi lainnya  terutama beras dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian. Kekurangan pangan bisa menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional (Wagiman, 2013; BBPOPT, Jatisari 2013).

PENGELOLAAN EKOSISTEM

Sistem produksi pertanian meliputi kegiatan pra-panen di lahan tanam (on farm) dan pasca panen di gudang (off farm). Pengelolaan ekosistem pertanian merupakan kegiatan budidaya tanaman berdasarkan konsep Good Agricultural Practices (GAP) yaitu budidaya tanaman sehat. Benih yang unggul dan sehat. Media tanam yang baik. Saat tanam yang tepat. Pola tanam yang baik; monokultur, tumpangsari, atau tumpang gilir. Cara tanam yang baik termasuk jarak tanam yang tepat, di tempat terbuka atau terlindung. Pengairan cukup. Pemupukan berimbang. Monitoring intensif OPT dan kondisi lahan. Perawatan tanaman intensif temasuk melindungi tanaman dari acaman serangan OPT, pembentukan pohon, pruning, weeding. Panen dilakukan pada saat dan umur tanaman yang tepat serta cara yang baik untuk mencegah kehilangan pasca panen. Hasil panen diolah dan sebelum dikonsumsi atau dijual lalu disimpan di gudang dengan cara yang benar agar awet baik kuantitas maupun kualitasnya.

Pengelolaan ekosistem yang tidak benar tentunya  akan mengakibatkan banyak hal yang tidak diinginkan, perburuan burung- burung yang sebagai predator hama tanaman, perburuan telur semut merah (kroto) dan pemakaian pestisida yang berlebihan atau kurang bijaksana, sehingga cendawan parasitoid hama bertindak sebagai musuh alami hama atau penyeimbang ekosistem juga ikut musnah yang mengakibatkan eksplosif hama di beberapa daerah, sudah banyak contoh kejadian yang dialami akibat dari ketidak seimbangan ekosistem misalnya eksplosif hama ulat bulu pada tanaman mangga yang beberapa tahun yang lalu di Probolinggo dan beberapa daerah lainnya dan dibulan Juni 2019 ini di Pasuruan tepatnya di dusun Semambung Desa Capang Kecamatan Purwodadi Kabupaten Pasuruan terjadi lagi eksplosif hama ulat bulu pada tanaman Perkebunan (Kenanga) yang sampai-sampai tanaman kenanga hanya tinggal batang, cabang dan rantint-rantingnya saja, setelah daun kenanga habis beberapa ulat makan daun yang ada di sekitarnya seperti daun tanaman kopi, daun ketela pohon, daun nangka bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah warga, sehingga warga merasa risih dan sempat viral di beberapa stasiun televisi.

 

 

 

 

Kondisi tanaman Kenanga di desa Capang Kec.Purwodadi Kab.Pasuruan (Daun sudah habis total, populasi ulat memenuhi batang tanaman kenanga, bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah warga

KESIMPULAN

Dalam menjaga keseimbangan ekosistem tanaman perkebunan peranan agens hayati adalah mengendalikan populasi OPT baik secara alami maupun sengaja dimanipulasi sebagai agens pengendalian hayati. Dalam ekosistem tanaman pangan peran agens hayati sebaiknya lebih ditekankan pada kondisi populasi OPT terkendali, sebagai stabilisator dan dinamisator, untuk mencegah populasi meningkat menuju eksplosi. Dalam kondisi populasi OPT di atas ambang ekonomi dan peluang tanaman masih dapat diselamatkan, peran agens hayati sebagai supresor untuk menekan populasi OPT sampai pada posisi di bawah ambang ekonomi. Peran agens hayati dapat ditingkatkan secara kuantiatif dengan augmentasi, introduksi, dan konservasi. Jadi Keseimbangan ekosistem dalam tanaman perkebunan sangatlah penting.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tanaman, Jatisari 2013. Pekan Peramalan OPT, dan Gelar Teknologi Perlindungan Tanaman, 25 -27 Agustus 2013.

Marwoto & N. Saleh. 2003. Peningkatan Peran Parasitoid Telur Trichogrammatoidea bactrae-bactrae dalam Pengendalian Penggerek Polong Kedelai Etiella spp. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4): 141-149

Tamba, B. 2013. Respon Fungsional Paederus fuscipes terhadap nilaparvata lugens. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. 30 pp.

Wagiman, FX. 2013, Meningkatkan Peran agens Hayati dalam Pengelolaan Ekosistem secara Kuantitatif. Makalah Pada Pekan Peramalan OPT, BBOPT, Jatisari, 27 Agustus 2013.

Wibowo, R. 2013. Bunga Rampai Ekonomi Kopi. UPT Penerbit UNEJ.

Yanto, H. 2013. Perubahan Ekosistem pada Lahan Pertanian. //heryantos.blogspot.com/2013/04/perubahan-ekosistem-pada-lahan-pertanian.html akses 13 Agustus 2013

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA