Akhiran atau imbuhan isasi berasal dari bahasa inggris yang menyatakan

Akhiran (sufiks/ sufix) adalah imbuhan yang terletak di akhir kata. Dalam pembentukan kata ini tidak pernah mengalami perubahan bentuk. Proses pembentukannya di sebut safiksasi (suffixation). Akhiran terdiri dari kan, an, i, nya, man, wati, wan, asi, isme, ilainnya dalam contoh.

Contoh: -an + pikir→pikiran, -in + hadir→hadirin, -wan + karya→karyawan, -wati+karya→karyawati, -wi+ manusia→manusiawi. Semua akhiran ini disebut sebagai akhiran untuk kata benda.

Sedangkan akhiran yang berupa kata sifat, seperti: -if→aktif, sportif. -ik→magnetik, elektronik. -is→praktis, anarkis. -er→komplementer, parlementer. -wi→manusiawi, surgawi, duniawi.

Kadang-kadang akhiran yang berupa kata sifat, ada yang berasal dari bahasa inggris dan ada yang berasal dari bahasa arab. Contoh: -al→formal, nasional. -iah→alamiah, batiniah. -i→abadi, alami, hewani, rohani. -nya→melihatnya, mendengarnya, mengalaminya. -in→muslimin, mu’minin. -at→muslimat, mu’minat. -us→politikus. -or→koruptor. -if→produktif, sportif. Untuk lebih lengkap, simak selanjutnya.

Pada kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia kita jumpai akhiran-akhiran seperti berikut:

  • –al misalnya pada aktual, struktural, emosional, intelektual. Kata-kata yang berakhiran –al ini tergolong kata sifat.
  • –asi/isasi misalnya pada afiksasi, konfirmasi, nasionalisasi, kaderisasi, komputerisasi. Akhiran tersebut menyatakan ‘proses menjadikan’ atau ‘penambahan’.
  • –asme misalnya pada pleonasme, aktualisme, sarkasme, antusiasme. Akhiran ini menyatakan kata benda.
  • –er seperti pada primer, sekunder, arbitrer, elementer. Akhiran ini menyatakan sifat.
  • –et seperti pada operet, mayoret, sigaret, novelete. Akhiran ini menyatakan pengertian ‘kecil’. Jadi operet itu ‘opera kecil’, novelet itu ‘novel kecil’.
  • –i/wi/iah misalnya pada hakiki, maknawi, asasi, asali, duniawi, gerejani, insani, harfiah, unsuriyah, wujudiyah. Akhiran-akhiran ini menyatakan sifat.
  • –if misalnya pada aktif, transitif, obyektif, agentif, naratif. Akhiran ini menyatakan sifat.
  • –ik (1) seperti pada linguistik, statistik, semantic, dedaktik. Akhiran ini menyatakan ‘benda’ dalam arti ‘bidang ilmu’.
  • -ik (2) seperti pada spesifik, unik, karakteristik, fanatik, otentik. Akhiran ini menyatakan sifat.
  • –il seperti pada idiil, materiil, moril. Akhiran ini menyatakan sifat. Pada kata-kata lain kata-kata ini diganti dengan –al.
  • –is (1) pada kata praktis, ekonomis, yuridis, praktis, legendaries, apatis. Akhiran ini menyatakan sifat.
  • –is (2) pada kata ateis, novelis, sukarnois, marxis, prosaic, esei. Akhiran ini menyatakan orang yang mempunyai faham seperti disebut dalam kata dasar, atau orang yang ahli menulis dalam bentuk seperti yang disebut di dalam kata dasar.
  • –isme seperti pada nasionalisme, patriotisme, Hinduisme, bapakisme. Isme artinya ‘faham’.
  • –logi seperti pada filologi, sosiologi, etimologi, kelirumologi, -logiartinya ‘ilmu’.
  • –ir seperti pada mariner, avonturir, banker. Akhiran ini menyatakan orang yang bekerja pada bidang atau orang yang mempunyai kegemaran ber-.
  • –or seperti pada editor, operator, deklamator, noderator. Akhiran ini artinya orang yang bertindak sebagai orang yang mempunyai kepandaian seperti yang tersebut pada kata dasar.
  • –ur seperti pada donator, redaktur, kondektur, debitur, direktur. Akhiran ini seperti yang di atas menyatakan agentif atau pelaku;
  • –itas seperti pada aktualitas, objektivitas, universitas, produktivitas. Akhiran ini menyatakan benda.

Pada teks laporan hasil observasi seringkali muncul istilah-istilah asing atau unsur asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk penggunaan imbuhan asing. Berikut ini contoh penggunaan imbuhan asing yang sudah mengalami pembakuan ke dalam bahasa.

Akhiran –is memiliki makna ‘bersangkutan dengan’. Akhiran –is merupakan adaptasi dari bahasa Belanda dan bahasa Inggris berikut.

Belanda

technisch

practisch

chronologis

Inggris

technical

practical

chchronological

Indonesia

teknis

praktis

kronologis

Contoh

teknis : bersifat atau mengenai (menurut) teknik.

praktis : berdasarkan praktik; mudah dan senang memakainya.

kronologis : berkenaan dengan kronologi; menurut urutan waktu.

Biologis : berkenaan dengan biologi

Akhiran –isasi menyatakan ‘proses atau menjadikan sesuatu’. Akhiran –isasi adaptasi dari bahasa Inggris berikut.

Belanda

specialisatie

globalisatie

naturalisatie

Inggris

specialization

globalization

naturalization

Indonesia

spesialisasi

globalisasi

naturalisasi

Awalan asing banyak digunakan pada istilah-istilah bahasa Indonesia terutama untuk laporan hasil observasi (kajian pengetahuan). Kata yang menggunakan awalan asing dicontohkan berikut.

Contoh

antioksidan, antikomunis, antiklimaks, antikarat yang artinya ‘melawan’ atau ‘bertentangan dengan’.bi- misalnya pada bilateral, bilingual, bikonveks. Awalan ini artinya ‘dua’.de- seperti pada dehidrasi, devaluasi, dehumanisasi, deregulasi. Awalan ini artinya meniadakan’ atau ‘menghilangkan’.ekstra- seperti pada ekstrakurikuler, ekstralinguistik, kadang juga dipakai pada kata-kata bahasa Indonesia sendiri. Contoh: ekstraketat, ekstrahati-hati. Awalan ini artinya ‘tambah’, diluar’, atau ‘sangat’.hiper- misalnya pada hipertensi, hipersensitif. Awalan ini artinya ‘lebih’ atau ‘sangat’.in- misalnya pada kata inkonvensional, inaktif, ilegal. Awalan ini artinya ‘tidak’.

infra- misalnya pada infrastruktur, inframerah, infrasonik. Awalan ini artinya ‘di tengah’.maaf ya kalo salahsemoga membantu : D

Akhiran atau imbuhan isasi berasal dari bahasa inggris yang menyatakan

Dimuat pada Mimbar Rakyat, Rabu/29 Juni 2016

Oleh: Harlin, S.S.

(Peneliti Kantor Bahasa Maluku)

Kita sering membaca tulisan di media cetak dan mendengar orang menyampaikan sambutannya baik dalam acara resmi maupun tidak resmi menggunakan kata moderenisasi, normalisasi, dan legalisasi. Penggunaan kata tersebut mungkin dirasa lebih baik atau lebih modern. Namun tahukah kita unsur –isasi yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari –isatie bahasa Belanda atau –ization bahasa Inggris yang penyerapan ke dalam bahasa Indonesia harus secara utuh.

Meskipun demikian, unsur ini ada dalam pemakaian Bahasa Indonesia karena diserap bersama-sama dengan bentuk dasarnya secara utuh. Sebagai gambaran, perhatikan contoh berikut.

moderenisatie, modernization menjadi modernisasi

normalisasi, normalization menjadi normalisasi

legalisatie, legalization menjadi legalisasi

Contoh ini memperlihatkan bahwa dalam Bahasa Indonesia kata modernisasi tidak dibentuk dari kata modern dan unsur –isasi, tetapi kata itu diserap secara utuh dari kata bahasa Inggris yaitu modernization. Begitu juga halnya kedua kata, normalisasi dan legalisasi.

Mengingat bahwa kata-kata asing berakhiran –isatie atau –ization diserap secara utuh ke dalam bahasa Indonesia menjadi –isasi, sebaiknya akhiran itu pun tidak digunakan dalam pembentukan kata baru bahasa Indonesia. Sungguhpun demikian, para pemakai bahasa tampaknya kurang menyadari aturan itu.  Pada umumnya pemakai bahasa tetap beranggapan bahwa –isasi merupakan akhiran yang dapat digunakan dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, muncul bentukan baru yang menggunakan unsur itu, seperti turinisasi, lelenisasi, lamtoronisasi, dan hibridanisasi.

Sejalan dengan kebijakan bahasa Indonesia yang kita anut, unsur asing yang ada padanannya di dalam bahasa Indonesia tidak diserap karena hal itu dapat mengganggu upaya pengembangan bahasa Indonesia. Sebenarnya unsur asing seperti unsur –isasi dapat diganti dengan afiks atau imbuhan pe- … -an atau per- … -an. Dengan demikian kata modernisasi, normalisasi, dan legalisasi dapat diindonesiakan menjadi pemodernan, penormalan, dan pelegalan.

Dengan cara yang serupa, bentuk kata turinisasi, lelenisasi, lamtoronisasi, dan hibridanisasi dapat diubah menjadi penturian, perlamtoroan, perlelean, dan perhibridaan. Jika pengimbuhan dengan per- … –an itu menurut rasa berbahasa kurang sesuai, kita pun dapat memanfaatkan kosakata Bahasa Indonesia yang lain untuk menyatakan pengertian yang sama, misalnya dengan istilah pembudidayaan. Istilah ini sudah sering digunakan, dengan arti ‘proses atau tindakan membudidayakan’. Sejalan dengan itu, kita dapat membentuk istilah penganti kata penturian, perlamtoroan, perlelean, perhibridaan, menjadi pembudidayaan turi, pembudidayaan lamtoro, pembudidayaan lele, pembudidayaan hibrida.

Akhiran atau imbuhan isasi berasal dari bahasa inggris yang menyatakan

Ilustrasi: Massa Menentang swastanisasi dan liberalisasi. | Wira Suryantala/kye/18 / ANTARA FOTO

Dalam tulisan “Standarisasi dan Standardisasi” (Beritagar.id, 3 Agustus 2019) saya berutang satu jawaban kepada pembaca atas pertanyaan yang saya buat: Apakah semua kata yang mengandung –isasi dalam bahasa Indonesia dihitung satu morfem?

Bagaimana dengan kata yang dibentuk dari analogi? Karena utang harus dilunasi, saya lunasi utang jawaban tersebut melalui tulisan ini.

Pada tulisan pekan lalu itu saya menyatakan bahwa –isasi dalam standardisasi bukanlah morfem. Standardisasi dihitung satu morfem dalam bahasa Indonesia karena diserap utuh dari bahasa asing. Sementara itu, standardization dalam bahasa Inggris dan standaardisatie dalam bahasa Belanda dihitung dua morfem karena –ization dan -isatie merupakan akhiran.

Sebagai informasi, morfem adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Kamus Linguistik susunan Harimurti Kridalaksana, 2009).

Bagaimana dengan kata lain dalam bahasa Indonesia yang mengandung –isasi yang tidak diserap dari bahasa asing, seperti kuningisasi, betonisasi, deparpolisasi? Terlepas dari betul atau tidaknya dan berterima atau tidaknya, kata-kata tersebut dihitung dua morfem dalam bahasa Indonesia karena merupakan kata bentukan.

Dengan begitu, apakah –isasi telah menjadi akhiran dalam bahasa Indonesia? Setahu saya baru Harimurti Kridalaksana yang melegitimasi -isasi sebagai akhiran pembentuk kata benda, yakni dalam bukunya Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (2007).

Namun, ia gagal mencontohkan kata bahasa Indonesia yang dibentuk dari imbuhan isasi itu. Kata yang dicontohkannya ialah kata serapan, bukan kata bentukan, yaitu inventarisasi, spesialisasi, dan organisasi.

Menurutnya, -isasi dalam ketiga kata tersebut berarti ‘proses’. Padahal, organisasi dalam bahasa Indonesia tidak berarti ‘proses’. Selain itu, inventarisasi, spesialisasi, dan organisasi merupakan kata yang diserap utuh. Oleh karena itu, -isasi dalam ketiga kata tersebut bukanlah akhiran.

Inventarisasi, spesialisasi, dan organisasi dalam bahasa Indonesia merupakan bentuk dasar sekaligus bentuk asal karena tidak dibentuk dari kata inventaris, spesial, dan organ.

Sebagai informasi, bentuk asal adalah satuan dasar hipotesis yang dianggap merupakan titik landasan untuk menguraikan atau menurunkan seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan, sedangkan bentuk dasar adalah bentuk dari sebuah morfem yang dianggap paling umum dan paling tidak terbatas (Kamus Linguistik, 2009).

Sebagai contoh, bangsa merupakan bentuk asal dari berbangsa dan berkebangsaan. Namun, bangsa hanya merupakan bentuk dasar dari berbangsa, tetapi bukan bentuk dasar dari berkebangsaan. Bentuk dasar dari berkebangsaan ialah kebangsaan, sedangkan bentuk dasar dari kebangsaan ialah bangsa.

Meskipun demikian, -isasi memiliki peluang menjadi akhiran dalam bahasa Indonesia apabila banyak kata bentukan dalam bahasa Indonesia yang dibentuk dari imbuhan tersebut. Akhiran –isasi akan “sah” menjadi imbuhan dalam bahasa Indonesia apabila banyaknya kata yang dibentuk dari imbuhan tersebut.

Jadi, legitimasi terhadap –isasi sebagai akhiran dalam bahasa Indonesia tidak dilakukan oleh ahli bahasa seperti Kridalaksana atau lembaga seperti Badan Bahasa, tetapi oleh penutur bahasa Indonesia. Penuturlah yang menentukan masa depan –isasi dalam bahasa Indonesia.

Saat ini –isasi belum bisa disebut sebagai akhiran “resmi” dalam bahasa Indonesia karena belum banyak kata yang dibentuk dari –isasi. Selain belum banyak, kata-kata tersebut pun belum dipakai secara intens dan juga belum berterima pada sebagian kalangan.

Kalangan yang tak menerima kata-kata yang dibentuk dari –isasi, seperti kuningisasi dan betonisasi, berpendapat bahwa –isasi dalam kata-kata tersebut bisa diganti dengan konfiks pe-an sehingga menjadi penguningan dan pembetonan. Benarkah –isasi sepadan dengan pe-an? Saya akan menjelaskannya dalam tulisan lain.

Prinsip penerimaan akhiran asing sebagai akhiran bahasa Indonesia seperti yang saya jelaskan tersebut (ditentukan oleh penutur berdasarkan tingginya frekuensi pembentukan kata berdasarkan akhiran tersebut) terjadi pada banyak akhiran asing dalam bahasa Indonesia, seperti –isme (misalnya, bapakisme), -is (contohnya, agamais, pancasilais) dari bahasa Inggris/Belanda, dan –wan (seperti ilmuwan, wartawan) dari bahasa Sanskerta.

Dulu –isme belum dianggap sebagai akhiran dalam bahasa Indonesia karena belum sering dipakai untuk membentuk kata. Hal itu terjadi sekitar 1980-an, seperti yang dicatat J.S. Badudu. Dalam bukunya Inilah Bahasa Indonesia yang Benar (1983) halaman 80, Badudu mengatakan, “... akhiran –isme pun dalam bahasa Indonesia mulai keluar dari batas bahasa asalnya karena akhiran itu sering dilekatkan orang pada bentuk dasar yang bukan kata Belanda atau Inggris.”

Jadi, pada masa itu –isme belum dianggap sebagai akhiran dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kata yang mengandung –isme dalam bahasa Indonesia ketika itu diserap utuh dari bahasa asing.

Karena menyadari bahwa –isme dipakai sebagai pembentuk kata dalam bahasa Indonesia, Badudu pun mengambil sikap, “Kalau akhiran –isme itu makin tinggi frekuensi pemakainnya pada bentuk-bentuk dasar yang bukan bahasa Belanda atau Inggris, maka akhiran itu tentulah harus kita masukkan pula ke dalam golongan akhiran (sufiks) bahasa Indonesia.

Hal itu akan ditentukan oleh perkembangan bahasa Indonesia selanjutnya.” Saat ini –isme sudah menjadi akhiran dalam bahasa Indonesia karena banyak kata yang dibuat dengan menambahkan –isme.

Saya menyikapi –isasi saat ini seperti dulu Badudu menyikapi –isme. Mungkin saja nanti dalam perkembangan bahasa Indonesia banyak kata yang dibentuk dari –isasi. Bahwa dianjurkan untuk memakai konfiks pe-an sebagai padanan –isasi, itu bagus. Namun, jangan menutup habis kemungkinan –isasi sebagai imbuhan bahasa Indonesia.

Kembali ke pertanyaan tadi: Apakah semua kata yang mengandung –isasi dalam bahasa Indonesia dihitung satu morfem? Tidak. Tidak semua kata yang mengandung imbuhan asing dihitung satu morfem.

Saya berpendapat bahwa imbuhan asing bisa dianggap sebagai morfem dalam bahasa Indonesia apabila imbuhan tersebut dipakai untuk membentuk kata baru. Apabila hanya terdapat dalam kata serapan, imbuhan asing tersebut bukanlah morfem dalam bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, kata yang mengandung –isasi yang diserap utuh dihitung satu morfem. Sementara itu, kata yang mengandung –isasi yang bukan kata serapan, seperti kuningisasi dan betonisasi, dihitung dua morfem.

Begitu juga dengan kata yang mengandung –isme dan -wan dalam bahasa Indonesia. Kata liberalisme dihitung satu morfem karena diserap utuh, sedangkan bapakisme dihitung dua morfem karena merupakan kata bentukan.

Kata hartawan dihitung satu morfem karena diserap dari bahasa Sanskerta, arthavan, (menurut buku Loan- Words in Indonesian and Malay, 2008). Adapun kata ilmuwan dihitung dua morfem karena dibentuk dari ilmu (serapan bahasa Arab) dan –wan (akhiran serapan Sanskerta).